Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah Dinilai Kangkangi Putusan MA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah seperti mengangkangi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada akhir Februari 2020 lalu.
Sebab Pemerintah kembali menaikkan dan mendekati nilai iuran yang dibatalkan oleh MA. Kenaikan iuran baru ini akan berlaku pada 1 Juli 2020. Besaran iuran yang harus dibayar peserta adalah Kelas I Rp150.000, Kelas II Rp100.000, dan Kelas III Rp16.500. Untuk Kelas III akan menjadi Rp35.000 pada 1 Januari 2021.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, iuran Kelas I Rp160.000, Kelas II Rp110.000, dan Kelas III Rp42.000. MA sudah membatalkan kenaikan itu. Kini, pemerintah hanya mematuhi putusan itu selama April hingga Juni.
Setelah itu, BPJS Kesehatan kembali menaikkan tarif yang tidak jauh berbeda dengan nilai iuran pada awal tahun ini. Menurut Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar, pertimbangan hukum MA dalam membatalkan kenaikan iuran adalah daya beli masyarakat masih rendah dan pelayanan BPJS kesehatan belum baik.(Baca juga: Perpres 64/2020 Diteken, Ini Rincian Kenaikan Iuran BPJS Per 1 Juli 2020 ).
"Dengan pertimbangan hukum ini seharusnya pemerintah berusaha untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan pelayanan BPJS Kesehatan. Baru melakukan kenaikan iuran JKN," kata dia kepada SINDOnews, Rabu (13/5/2020).
Perpres 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan sepertinya menunjukkan pemerintah tidak melihat putusan MA dan kondisi masyarakat saat ini. Pandemi COVID-19 telah berimbas pada menurunkan perputaran ekonomi.
Daya beli masyarakat, terutama peserta mandiri, yang didominasi pekerja informal, merosot tajam. Pekerja informal seperti tukang ojek, buruh bangunan, tukang dagang, tidak bisa bekerja dan berusaha seperti biasa karena adanya penyebaran virus Sars Cov-II.
Timboel menyebut pelayanan BPJS Kesehatan pada masa pandemi COVID-19 cenderung turun. Dia mencontohkan ada pasien yang harus rawat inap di rumah sakit diminta untuk tes COVID-19. Maka yang bersangkutan mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp750.000.
Ada pula yang tidak mampu membayar Rp750.000 untuk tes COVID-19, akhirnya memilih pulang ke rumah. Timboel mengatakan, pasien JKN itu tidak boleh diminta biaya lagi. Aturan itu tertera dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
BPJS Watch menilai masih banyak jalan bagi BPJS Kesehatan agar tidak defisit. Tentu saja, tidak perlu menaikkan iuran dengan nilai yang sangat tinggi. Dalam rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan 2020, penerimaan ditargetkan mencapai Rp137 triliun.
Setelah putusan MA, BPJS Kesehatan melakukan revisi menjadi Rp132 triliun. Pemerintah sudah menyuntikkan Rp3 triliun. Dana itu berasal dari Rp75 triliun yang dialokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk penanganan Covid-19. Maka, penerimaan masih Rp135 triliun. BPJS akan mendapatkan pendapatan dari pajak rokok sebesar Rp5 triliun.
Pengeluaran BPJS Kesehatan tahun lalu mencapai Rp108 triliun. Jika tahun ini naik 10%, beban biayanya sekitar Rp118,8 triliun. Itu ditambah utang BPJS ke rumah sakit pada 2019 sebesar Rp15 triliun. Secara total biaya BPJS Kesehatan tahun ini mencapai Rp133,3 triliun. Itu artnya ada surplus Rp1,7 triliun.
"Bisa lebih besar jika BPJS mau serius mengawasi fraud di rumah sakit. Juga mengawasi puskesmas dan klinik yang suka merujuk pasien ke rumah sakit sehingga biaya muncul di rumah sakit. Belum lagi, kalau BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilanya Rp3,4 triliun," pungkas dia.
Sebab Pemerintah kembali menaikkan dan mendekati nilai iuran yang dibatalkan oleh MA. Kenaikan iuran baru ini akan berlaku pada 1 Juli 2020. Besaran iuran yang harus dibayar peserta adalah Kelas I Rp150.000, Kelas II Rp100.000, dan Kelas III Rp16.500. Untuk Kelas III akan menjadi Rp35.000 pada 1 Januari 2021.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, iuran Kelas I Rp160.000, Kelas II Rp110.000, dan Kelas III Rp42.000. MA sudah membatalkan kenaikan itu. Kini, pemerintah hanya mematuhi putusan itu selama April hingga Juni.
Setelah itu, BPJS Kesehatan kembali menaikkan tarif yang tidak jauh berbeda dengan nilai iuran pada awal tahun ini. Menurut Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar, pertimbangan hukum MA dalam membatalkan kenaikan iuran adalah daya beli masyarakat masih rendah dan pelayanan BPJS kesehatan belum baik.(Baca juga: Perpres 64/2020 Diteken, Ini Rincian Kenaikan Iuran BPJS Per 1 Juli 2020 ).
"Dengan pertimbangan hukum ini seharusnya pemerintah berusaha untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan pelayanan BPJS Kesehatan. Baru melakukan kenaikan iuran JKN," kata dia kepada SINDOnews, Rabu (13/5/2020).
Perpres 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan sepertinya menunjukkan pemerintah tidak melihat putusan MA dan kondisi masyarakat saat ini. Pandemi COVID-19 telah berimbas pada menurunkan perputaran ekonomi.
Daya beli masyarakat, terutama peserta mandiri, yang didominasi pekerja informal, merosot tajam. Pekerja informal seperti tukang ojek, buruh bangunan, tukang dagang, tidak bisa bekerja dan berusaha seperti biasa karena adanya penyebaran virus Sars Cov-II.
Timboel menyebut pelayanan BPJS Kesehatan pada masa pandemi COVID-19 cenderung turun. Dia mencontohkan ada pasien yang harus rawat inap di rumah sakit diminta untuk tes COVID-19. Maka yang bersangkutan mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp750.000.
Ada pula yang tidak mampu membayar Rp750.000 untuk tes COVID-19, akhirnya memilih pulang ke rumah. Timboel mengatakan, pasien JKN itu tidak boleh diminta biaya lagi. Aturan itu tertera dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
BPJS Watch menilai masih banyak jalan bagi BPJS Kesehatan agar tidak defisit. Tentu saja, tidak perlu menaikkan iuran dengan nilai yang sangat tinggi. Dalam rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan 2020, penerimaan ditargetkan mencapai Rp137 triliun.
Setelah putusan MA, BPJS Kesehatan melakukan revisi menjadi Rp132 triliun. Pemerintah sudah menyuntikkan Rp3 triliun. Dana itu berasal dari Rp75 triliun yang dialokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk penanganan Covid-19. Maka, penerimaan masih Rp135 triliun. BPJS akan mendapatkan pendapatan dari pajak rokok sebesar Rp5 triliun.
Pengeluaran BPJS Kesehatan tahun lalu mencapai Rp108 triliun. Jika tahun ini naik 10%, beban biayanya sekitar Rp118,8 triliun. Itu ditambah utang BPJS ke rumah sakit pada 2019 sebesar Rp15 triliun. Secara total biaya BPJS Kesehatan tahun ini mencapai Rp133,3 triliun. Itu artnya ada surplus Rp1,7 triliun.
"Bisa lebih besar jika BPJS mau serius mengawasi fraud di rumah sakit. Juga mengawasi puskesmas dan klinik yang suka merujuk pasien ke rumah sakit sehingga biaya muncul di rumah sakit. Belum lagi, kalau BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilanya Rp3,4 triliun," pungkas dia.
(nth)