17 Daerah Deteksi Udara Gunakan Nuklir, Hasilnya Banyak Temuan Mengejutkan
loading...
A
A
A
BANDUNG - Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup melakukan pengecekan polusi udara menggunakan teknologi nuklir di 17 kota dan kabupaten di Indonesia. Hasilnya, banyak temuan partikel yang sebelumnya tak terdeteksi dan dihirup oleh masyarakat.
Peneliti senior Batan di bidang lingkungan, Muhayatun mengatakan, melalui teknik analisis nuklir, pihaknya mengetahui karakteristik polutan udara yang tidak bisa ditemukan bila menggunakan analisis yang lain. Teknik ini telah diterapkan di 17 daerah di Indonesia untuk menganalis udara yang dihirup manusia di suatu daerah.
(Baca juga: Selama Pandemi, Ada 85 Kasus Positif COVID-19 Meninggal Dunia di Majalengka )
"Dengan teknik ini kami mendapatkan banyak temuan partikel-partikel polutan yang selama ini tidak diketahui dengan teknik yang lainnya," ujar Muhayatun di Bandung, Selasa (15/12/2020).
Kendati begitu, pihaknya belum bisa memberikan penjelasan lebih lanjut terkait hasil temuan itu. Namun Plt Kepala Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) Batan, Eva Maria Widyasari menjelaskan, pihaknya telah mengantongi data polisi udara di 17 kota tersebut.
"Sudah tujuh belas perkotaan di Indonesia yang telah dilakukan pengukuran kualitas udara dan sudah ada datanya," kata dia.
(Baca juga: Wali Kota Bandung Oded: Natal Akan Digelar Virtual atau Dibatasi Maksimal 30% )
Menurut dia, pemantauan kualitas udara ini ditekankan pada partikel-partikel yang berukuran sangat kecil yang berukuran 2,5 mikro. Bila digambarkan, ukurannya sama dengan rambut yang dibelah 40, sehingga sangat kecil.
Dengan ukuran yang sangat kecil ini dapat membahayakan kesehatan. Karena ketika dihirup dapat masuk kesaluran pernafasan manusia yang paling dalam yang dapat mengganggu pernafasan dan menyebabkan kanker.
Menurut Eva, polusi udara yang terjadi di sekitar kita dapat memberikan dampak yang kurang baik pada lingkungan. "Polusi udara itu sangat berdampak buruk pada kesehatan dan lingkungan," jelas Eva.
Menurutnya, data kematian di dunia ini akibat pencemaran udara cukup tinggi sekitar 100 ribu orang di tahun 2020. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpedulian terhadap nilai baku mutu kualitas udara.
Peneliti senior Batan di bidang lingkungan, Muhayatun mengatakan, melalui teknik analisis nuklir, pihaknya mengetahui karakteristik polutan udara yang tidak bisa ditemukan bila menggunakan analisis yang lain. Teknik ini telah diterapkan di 17 daerah di Indonesia untuk menganalis udara yang dihirup manusia di suatu daerah.
(Baca juga: Selama Pandemi, Ada 85 Kasus Positif COVID-19 Meninggal Dunia di Majalengka )
"Dengan teknik ini kami mendapatkan banyak temuan partikel-partikel polutan yang selama ini tidak diketahui dengan teknik yang lainnya," ujar Muhayatun di Bandung, Selasa (15/12/2020).
Kendati begitu, pihaknya belum bisa memberikan penjelasan lebih lanjut terkait hasil temuan itu. Namun Plt Kepala Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) Batan, Eva Maria Widyasari menjelaskan, pihaknya telah mengantongi data polisi udara di 17 kota tersebut.
"Sudah tujuh belas perkotaan di Indonesia yang telah dilakukan pengukuran kualitas udara dan sudah ada datanya," kata dia.
(Baca juga: Wali Kota Bandung Oded: Natal Akan Digelar Virtual atau Dibatasi Maksimal 30% )
Menurut dia, pemantauan kualitas udara ini ditekankan pada partikel-partikel yang berukuran sangat kecil yang berukuran 2,5 mikro. Bila digambarkan, ukurannya sama dengan rambut yang dibelah 40, sehingga sangat kecil.
Dengan ukuran yang sangat kecil ini dapat membahayakan kesehatan. Karena ketika dihirup dapat masuk kesaluran pernafasan manusia yang paling dalam yang dapat mengganggu pernafasan dan menyebabkan kanker.
Menurut Eva, polusi udara yang terjadi di sekitar kita dapat memberikan dampak yang kurang baik pada lingkungan. "Polusi udara itu sangat berdampak buruk pada kesehatan dan lingkungan," jelas Eva.
Menurutnya, data kematian di dunia ini akibat pencemaran udara cukup tinggi sekitar 100 ribu orang di tahun 2020. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpedulian terhadap nilai baku mutu kualitas udara.
(msd)