Jejak Abadi RSJ Lawang Melintasi Zaman, Melayani yang Termarjinalkan
loading...
A
A
A
Musim hujan yang basah, hadirkan gerimis beku bercampur angin gunung yang dengan lembut meluncur penuh kedamaian menyapa lembah Lawang yang begitu tenang. Di antara udara yang sejuk, langkah-langkah kaki begitu tenang melintasi lorong-lorong bangunan bercat putih.
(Baca juga: Hentikan Pidana Pelanggar PSBB, Pakar: Publik Geram Lihat Penanganan Habib Rizieq )
Langkah-langkah penuh semangat para tenaga medis, penuh kesabaran merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang . Langkah-langkah yang terus bergerak menghadirkan jejak keabadian untuk melayani yang termarjinalkan.
Rumah sakit ini miliki sejarah panjang dalam membangun nilai kemanusiaan, melalui karya di bidang kesehatan jiwa. Bahkan jauh sebelum republik ini diproklamasikan, rumah sakit jiwa ini telah melayani manusia-manusia di tanah nusantara, tanpa melihat dari mana dia berasal.
Berdasarkan catatan sejarah yang tersimpan di Museum Jiwa RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang , pelayanan rumah sakit jiwa ini dimulai sekitar tahun 1884. Di mana rumah sakit jiwa ini mulai proses pembangunan fisik, dan diresmikan pengoperasiannya pada 23 Juni 1902.
Jauh sebelumnya, sekitar tahun 1831, orang-orang Eropa yang berada di wilayah Nusantara, dan mengalami gangguan mental, akan mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Militer di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Sementara, jauh sebelum masa Hindia Belanda, belum diperoleh catatan akurat tentang perawatan pada penyandang angguan mental di Indonesia. Ada dugaan, pada masa itu gangguan mental dianggap akibat hal gaib dan ditangani sesuai perkiraan tersebut.
(Baca juga: Bandar Laut Besar Itu Bernama Pasuruan )
Pemerintah Belanda, dalam massa penjajahannya di Indonesia, mulai menyadari bahwa penyandang gangguan mental membutuhkan perawaran khusus. Langkah ke arah tersebut dimulai dengan pembangunan rumah sakit Tionghoa di Jakarta, tahun 1824, dimana disediakan tempat untuk merawat 100 bangsa Tionghoa, penyandang gangguan mental.
Selanjutnya dibangun pula Rumah Sakit Jiwa Tionghoa Paceringan Semarang, yang dapat merawat 40 penyandang gangguan mental. Karena wilayah Jawa Timur, tidak ada tempat semacam itu, maka penduduk pribumi penyandang gangguan mental diopname di Stadsverband atau dilembaga miskin Pegirian, dimana mereka dirawat bersama penyandang penyakit kusta. Selebihnya, baik di Jawa maupun di luar Jawa, kelompok ini dibawa ke penjara atau dirawat oleh keluarga mereka sendiri.
Lama-kelamaan dirasakanbahwa kebutuhan akan tempat perawatan gangguan mental terus meningkat. Sensus penyandang gangguan mental di Jawa, dan Madura, pada tahun 1862 berujung pada pemikiran bahwa ada kebutuhan untuk membangun dua RSJ di Pulau Jawa.
Hal ini diwujudkan dalam Keputusan Kerajaan Belanda (Koninklijk Besluit) pada tanggal 30 Desember 1865 No. 100, Dr. F.H. Bouwer (seorang psikiater) dan Dr. A. M. Smith (seorang dokter Angkatan Laut) diutus ke Hindia Belanda, untuk mendapat keterangan mengenai kondisi di Hindia Belanda. Setelah melalui proses yang panjang, maka didirikanlah satu RSJ di Bogor yang diresmikan tahun 1882, menyusul kemudian RSJ di Sumber Porong Lawang
Sebelum Rumah Sakit Jiwa Lawang dibuka, perawatan pasien mental diserahkan kepada Dinas kesehatan Tentara (Militaire Gezondheids Dienst).Dalam rangka memperlancar penyaluran pasien ke masyarakat Hulshoff Pol mengajukan rencana perluasan Rumah Sakit Jiwa kepada Departemen Van Onderwijs en Eeredienst. Dimana pada tahun 1909 jumlah pasien mencapai 1.171 dan usaha-usaha perluasan rumah sakit untuk dapat menampung pasien amat mendesak.
(Baca juga: Mas-mas TRIP Berjuang Hingga Akhir Zaman... )
Pada waktu itu beratus-ratus pasien mental masih dititipkan di beberapa penjara sebelum dikirim ke rumah sakit jiwa. Dalam kurun waktu 1905-1906 tercatat salah seorang dokter pribumi pertama yang bekerja di RSJ Lawang adalah Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat, yang bersama-sama Dr. Soetomo melancarkan pergerakan bangsa pertama yaitu Boedi Oetomo.
Di masa itu, Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat telah mengembangkan pendekatan terapi alternatif dengan pendekatan "Rassen Psychologie". Dan RSJ Lawang mendapatkan izin dari Pemerintah Hindia Belanda, utuk membangun Anex di desa Suko, terletak lebih kurang 1 km ke arah timur di lereng Pegunungan Tengger.
Antara tahun 1929-1935 RSJ Lawang, dan Anex Suko ditangani oleh tujuh orang dokter dan seorang profesor wanita, dengan kapasitas tempat tidur masing-masing 1.200 tempat tidur. Pada waktu itu RSJ Lawang juga dikembangkan menjadi pusat penelitian otak.
Jumlah pasien gangguan jiwa ini terus meningkat. Tahun 1940 jumlah pasien mencapai 3.400, dan pada tahun 1941 meningkat menjadi 4.200 oleh karena harus menampung pengungsian pasien dari koloni di Jawa Timur.
Bahkan, pasien berkebangsaan Eropa, yang telah dirawat sejak tahun 1941 tersebut, masih sempat ditangani hingga meninggal dunia pada tahun 2002-an. Dia merupakan pasien terlama yang menjalani perawatan di RSJ Lawang , yakni sekitar 64 tahun lamanya.
Pada awalnya RSJ ini berada di daerah yang terpisah jauh dari permukiman penduduk. Menempati lahan yang sangat luas, yakni sekitar 299 hektar. Dilengkapi berbagai fasilitas untuk terapi penyembuhan gangguan jiwa.
Para pasien, diajak untuk berkegiatan sehari-hari, seperti bertani, beternak, dan membuat keterampilan. Bahkan, di lingkungan RSJ ini juga ada tempat pemakaman, karena banyak pasien yang dirawat dan tidak pulang ke tempat asalnya hingga meninggal dunia.
(Baca juga: Dwarapala Saksi Bisu Ketangguhan Desa Menjaga Arjuna )
Dari catatan sejarah RSJ Lawang , usaha pengadaan fasilitas rumah sakit dan rumah perawatan (Doorganghuizen) merupakan suatu perkembangan yang penting dalam dunia psikiatri. Untuk meningkatkan pelayanan perawatan pasien di RSJ Lawang, pada waktu itu mulai diadakan kegiatan terapi kerja dan bermacam-macam persiapan untuk usaha hiburan.
Untuk upaya memperlancar penyaluran pasien mental ke masyarakat, sejak tahun 1926 RSJ Lawang mengantarkan kembali pasien yang sudah tenang ke desanya. Disusul dengan konsep Doorganghuizen yang diajukan oleh Travaglino. Bagi pasien yang mengalami defek/kronis dan sudah tenang, ditampung pada koloni pertanian (Werkenrichtingen).
Dalam kurun waktu 1942-1945, RSJ Lawang mengalami penurunan pelayanan, karena kurangnya sarana perawatan dan adanya penyakit menular, jumlah pasien menurun sampai 800 orang. Tahun 1947 jumlah pasien sebanyak 1.200 orang, gabungan antara Anex Suko, dan RSJ Lawang . Pada tahun 1950-1966 RSJ Lawang menerima pengungsian pasien dari RSJ Pulau Laut, Kalimantan Selatan, sebanyak 120 pasien dan 40 orang pegawai.
Kurun waktu 1966 sampai dengan sekarang, mulai terjadi beberapa pengembangan pengobatan dan perawatan pasien gangguan jiwa, baik pada Unit Rawat Inap, maupun Rawat Jalan dan Keswamas. Pengembangan unit penunjang medik berupa pemeriksaan laboratorium (drug monitoring), radio diagnostik, dan elektromedik.
Konsep RSJ Lawang yang awalnya menjadi tempat pengasingan bagi para ODGJ, secara perlahan mulai terbuka. Bahkan, mulai banyak melibatkan komunitas di masyarakat untuk terlibat melakukan penanganan gangguan jiwa.
Pasien yang dirawat di RSJ Lawang tinggal mereka yang memiliki gangguan jiwa berat. Contohnya, ODGJ yang sering mengamuk dan mengganggu masyarakat. Target pengobatannya, sampai pasien tersebut tidak suka mengamuk lagi, atau berubah menjadi normal.
Demi menjawab tantangan zaman yang terus berubah, RSJ Lawang juga terus bergerak melakukan pembelajaran di masyarakat tentang penyakit jiwa. Penyakit jiwa bisa diobati dan tidak beda dengan penyakit lainnya, yakni penyakit yang diakibatkan gangguan biologis.
(Baca juga: Di Patirtan Ini, Cinta Pandangan Pertama Arok-Dedes Bersemi )
Gerakan terbuka di masyarakat terus dilakukan RSJ Lawang , salah satunya dilakukan dengan upaya mengevakuasi para ODGJ yang terpasung. Telah ratusan ODGJ yang berhasil diselamatkan dari pemasungan. Bahkan, mereka juga telah dilatih dengan berbagai keterampilan hingga mampu berdaya.
Salah satu upaya pendampingan yang dilakukan RSJ Lawang , di tengah masyarakat, adalah dengan berkembangnya Posyandu Jiwa. RSJ Lawang , hadir di tengah masyarakat untuk melakukan deteksi dini gangguan kejiwaan, mengedukasi masyarakat tentang penyakit jiwa, hingga memberdayakan para ODGJ.
Di wilayah Dusun Blandit, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, ada sejumlah ODGJ yang sebelumnya dipasung dan disembunyikan oleh keluarganya. Berkat pendampingan dan pengobatan yang dilakukan oleh RSJ Lawang , kini bisa lepas dari pasung, hidup normal, dan mampu mandiri secara ekonomi dengan kegiatan usaha membuat keset serta sandal.
Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono menyebutkan, wilayah Lawang , merupakan kawasan lintas zaman yang selalu menjadi salah satu wilayah penting sejak era sebelum masa Singhasari, dan Majapahit.
Lokasinya yang berada di utara Malang, menjadi pintu akses Malang, dengan dunia luar. "Sesuai namanya, Lawang bisa diartikan pintu. Mengingat wilayah Lawang , menjadi daerah celah terbuka bagi pedalaman Malang, yang dikitari pegunungan, dengan wilayah luar seperti Surabaya, dan Pasuruan," tuturnya.
(Baca juga: Mengintip Petilasan Ken Dedes, Ibu Para Raja Nusantara )
Lawang , yang di sisi barat berada di lereng Gunung Arjuna, dan lereng Pegunungan Tengger di sisi timur, dibelah jalan besar penghubung antara Pasuruan, dengan Surabaya, yang sejak dahulu menjadi pusat aktivitas ekonomi, dan pemerintahan.
Tempatnya yang sejuk, dan lebih tinggi dari pusat Malang. Menurut Dwi, menjadikan di massa kolonial Belanda, wilayah ini juga sebagai tempat peristirahatan. "Posisinya sangat penting di massa Belanda, buktinya banyak bangunan penting berdiri di sini, seperti Stasiun Lawang yang usianya hampir sama dengan Stasiun Kota Lama," tuturnya.
Bahkan, di sisi timur jalan utama, juga berdiri markas militer Belanda, yang sangat besar. Terdapat Hotel Niagara yang berdiri setinggi delapan lantai. Tentunya ini menjadi bukti pentingnya Lawang di setiap zaman.
Lawang bukan hanya sebagai tempat peristirahatan, tetapi juga sebagai pusat kegiatan ekonomi. Di mana terdapat banyak perkebunan di massa Belanda, yang berkembang di sisi barat dan timur. Industri berbasis pertanian, juga berkembang di wilayah ini.
(Baca juga: Jejak Bhatara Katong, Putra Brawijaya V Raja Terakhir Majapahit )
Hadirnya rumah sakit jiwa, menurut Dwi juga sebagai bukti bagaimana majunya kawasan Lawang , karena penyakit kejiwaan sudah ditangani secara medis sejak akhir tahun 1884-an.
"Satu sisi lokasinya yang sejuk dan tenang, menjadi tempat yang pas untuk penyembuhan kejiwaan. Selain itu, kemajuan kegiatan ekonomi di kawasan ini, juga menjadi pertimbangan untuk mendukung kemudahan pelayanan medis di rumah sakit jiwa tersebut," tururnya.
Lawang dengan sejarah pentingnya, telah melintasi zaman yang terus berubah. Demikian juga dengan RSJ Lawang , yang sejak beberapa puluh tahun silam menyandang nama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat, telah mengabdikan diri selama 118 tahun lamanya, terus berbenah untuk melayani mereka yang masih saja termarjinalkan di tengah perubahan zaman.
(Baca juga: Hentikan Pidana Pelanggar PSBB, Pakar: Publik Geram Lihat Penanganan Habib Rizieq )
Langkah-langkah penuh semangat para tenaga medis, penuh kesabaran merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang . Langkah-langkah yang terus bergerak menghadirkan jejak keabadian untuk melayani yang termarjinalkan.
Rumah sakit ini miliki sejarah panjang dalam membangun nilai kemanusiaan, melalui karya di bidang kesehatan jiwa. Bahkan jauh sebelum republik ini diproklamasikan, rumah sakit jiwa ini telah melayani manusia-manusia di tanah nusantara, tanpa melihat dari mana dia berasal.
Berdasarkan catatan sejarah yang tersimpan di Museum Jiwa RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang , pelayanan rumah sakit jiwa ini dimulai sekitar tahun 1884. Di mana rumah sakit jiwa ini mulai proses pembangunan fisik, dan diresmikan pengoperasiannya pada 23 Juni 1902.
Jauh sebelumnya, sekitar tahun 1831, orang-orang Eropa yang berada di wilayah Nusantara, dan mengalami gangguan mental, akan mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Militer di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Sementara, jauh sebelum masa Hindia Belanda, belum diperoleh catatan akurat tentang perawatan pada penyandang angguan mental di Indonesia. Ada dugaan, pada masa itu gangguan mental dianggap akibat hal gaib dan ditangani sesuai perkiraan tersebut.
(Baca juga: Bandar Laut Besar Itu Bernama Pasuruan )
Pemerintah Belanda, dalam massa penjajahannya di Indonesia, mulai menyadari bahwa penyandang gangguan mental membutuhkan perawaran khusus. Langkah ke arah tersebut dimulai dengan pembangunan rumah sakit Tionghoa di Jakarta, tahun 1824, dimana disediakan tempat untuk merawat 100 bangsa Tionghoa, penyandang gangguan mental.
Selanjutnya dibangun pula Rumah Sakit Jiwa Tionghoa Paceringan Semarang, yang dapat merawat 40 penyandang gangguan mental. Karena wilayah Jawa Timur, tidak ada tempat semacam itu, maka penduduk pribumi penyandang gangguan mental diopname di Stadsverband atau dilembaga miskin Pegirian, dimana mereka dirawat bersama penyandang penyakit kusta. Selebihnya, baik di Jawa maupun di luar Jawa, kelompok ini dibawa ke penjara atau dirawat oleh keluarga mereka sendiri.
Lama-kelamaan dirasakanbahwa kebutuhan akan tempat perawatan gangguan mental terus meningkat. Sensus penyandang gangguan mental di Jawa, dan Madura, pada tahun 1862 berujung pada pemikiran bahwa ada kebutuhan untuk membangun dua RSJ di Pulau Jawa.
Hal ini diwujudkan dalam Keputusan Kerajaan Belanda (Koninklijk Besluit) pada tanggal 30 Desember 1865 No. 100, Dr. F.H. Bouwer (seorang psikiater) dan Dr. A. M. Smith (seorang dokter Angkatan Laut) diutus ke Hindia Belanda, untuk mendapat keterangan mengenai kondisi di Hindia Belanda. Setelah melalui proses yang panjang, maka didirikanlah satu RSJ di Bogor yang diresmikan tahun 1882, menyusul kemudian RSJ di Sumber Porong Lawang
Sebelum Rumah Sakit Jiwa Lawang dibuka, perawatan pasien mental diserahkan kepada Dinas kesehatan Tentara (Militaire Gezondheids Dienst).Dalam rangka memperlancar penyaluran pasien ke masyarakat Hulshoff Pol mengajukan rencana perluasan Rumah Sakit Jiwa kepada Departemen Van Onderwijs en Eeredienst. Dimana pada tahun 1909 jumlah pasien mencapai 1.171 dan usaha-usaha perluasan rumah sakit untuk dapat menampung pasien amat mendesak.
(Baca juga: Mas-mas TRIP Berjuang Hingga Akhir Zaman... )
Pada waktu itu beratus-ratus pasien mental masih dititipkan di beberapa penjara sebelum dikirim ke rumah sakit jiwa. Dalam kurun waktu 1905-1906 tercatat salah seorang dokter pribumi pertama yang bekerja di RSJ Lawang adalah Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat, yang bersama-sama Dr. Soetomo melancarkan pergerakan bangsa pertama yaitu Boedi Oetomo.
Di masa itu, Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat telah mengembangkan pendekatan terapi alternatif dengan pendekatan "Rassen Psychologie". Dan RSJ Lawang mendapatkan izin dari Pemerintah Hindia Belanda, utuk membangun Anex di desa Suko, terletak lebih kurang 1 km ke arah timur di lereng Pegunungan Tengger.
Antara tahun 1929-1935 RSJ Lawang, dan Anex Suko ditangani oleh tujuh orang dokter dan seorang profesor wanita, dengan kapasitas tempat tidur masing-masing 1.200 tempat tidur. Pada waktu itu RSJ Lawang juga dikembangkan menjadi pusat penelitian otak.
Jumlah pasien gangguan jiwa ini terus meningkat. Tahun 1940 jumlah pasien mencapai 3.400, dan pada tahun 1941 meningkat menjadi 4.200 oleh karena harus menampung pengungsian pasien dari koloni di Jawa Timur.
Bahkan, pasien berkebangsaan Eropa, yang telah dirawat sejak tahun 1941 tersebut, masih sempat ditangani hingga meninggal dunia pada tahun 2002-an. Dia merupakan pasien terlama yang menjalani perawatan di RSJ Lawang , yakni sekitar 64 tahun lamanya.
Pada awalnya RSJ ini berada di daerah yang terpisah jauh dari permukiman penduduk. Menempati lahan yang sangat luas, yakni sekitar 299 hektar. Dilengkapi berbagai fasilitas untuk terapi penyembuhan gangguan jiwa.
Para pasien, diajak untuk berkegiatan sehari-hari, seperti bertani, beternak, dan membuat keterampilan. Bahkan, di lingkungan RSJ ini juga ada tempat pemakaman, karena banyak pasien yang dirawat dan tidak pulang ke tempat asalnya hingga meninggal dunia.
(Baca juga: Dwarapala Saksi Bisu Ketangguhan Desa Menjaga Arjuna )
Dari catatan sejarah RSJ Lawang , usaha pengadaan fasilitas rumah sakit dan rumah perawatan (Doorganghuizen) merupakan suatu perkembangan yang penting dalam dunia psikiatri. Untuk meningkatkan pelayanan perawatan pasien di RSJ Lawang, pada waktu itu mulai diadakan kegiatan terapi kerja dan bermacam-macam persiapan untuk usaha hiburan.
Untuk upaya memperlancar penyaluran pasien mental ke masyarakat, sejak tahun 1926 RSJ Lawang mengantarkan kembali pasien yang sudah tenang ke desanya. Disusul dengan konsep Doorganghuizen yang diajukan oleh Travaglino. Bagi pasien yang mengalami defek/kronis dan sudah tenang, ditampung pada koloni pertanian (Werkenrichtingen).
Dalam kurun waktu 1942-1945, RSJ Lawang mengalami penurunan pelayanan, karena kurangnya sarana perawatan dan adanya penyakit menular, jumlah pasien menurun sampai 800 orang. Tahun 1947 jumlah pasien sebanyak 1.200 orang, gabungan antara Anex Suko, dan RSJ Lawang . Pada tahun 1950-1966 RSJ Lawang menerima pengungsian pasien dari RSJ Pulau Laut, Kalimantan Selatan, sebanyak 120 pasien dan 40 orang pegawai.
Kurun waktu 1966 sampai dengan sekarang, mulai terjadi beberapa pengembangan pengobatan dan perawatan pasien gangguan jiwa, baik pada Unit Rawat Inap, maupun Rawat Jalan dan Keswamas. Pengembangan unit penunjang medik berupa pemeriksaan laboratorium (drug monitoring), radio diagnostik, dan elektromedik.
Konsep RSJ Lawang yang awalnya menjadi tempat pengasingan bagi para ODGJ, secara perlahan mulai terbuka. Bahkan, mulai banyak melibatkan komunitas di masyarakat untuk terlibat melakukan penanganan gangguan jiwa.
Pasien yang dirawat di RSJ Lawang tinggal mereka yang memiliki gangguan jiwa berat. Contohnya, ODGJ yang sering mengamuk dan mengganggu masyarakat. Target pengobatannya, sampai pasien tersebut tidak suka mengamuk lagi, atau berubah menjadi normal.
Demi menjawab tantangan zaman yang terus berubah, RSJ Lawang juga terus bergerak melakukan pembelajaran di masyarakat tentang penyakit jiwa. Penyakit jiwa bisa diobati dan tidak beda dengan penyakit lainnya, yakni penyakit yang diakibatkan gangguan biologis.
(Baca juga: Di Patirtan Ini, Cinta Pandangan Pertama Arok-Dedes Bersemi )
Gerakan terbuka di masyarakat terus dilakukan RSJ Lawang , salah satunya dilakukan dengan upaya mengevakuasi para ODGJ yang terpasung. Telah ratusan ODGJ yang berhasil diselamatkan dari pemasungan. Bahkan, mereka juga telah dilatih dengan berbagai keterampilan hingga mampu berdaya.
Salah satu upaya pendampingan yang dilakukan RSJ Lawang , di tengah masyarakat, adalah dengan berkembangnya Posyandu Jiwa. RSJ Lawang , hadir di tengah masyarakat untuk melakukan deteksi dini gangguan kejiwaan, mengedukasi masyarakat tentang penyakit jiwa, hingga memberdayakan para ODGJ.
Di wilayah Dusun Blandit, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, ada sejumlah ODGJ yang sebelumnya dipasung dan disembunyikan oleh keluarganya. Berkat pendampingan dan pengobatan yang dilakukan oleh RSJ Lawang , kini bisa lepas dari pasung, hidup normal, dan mampu mandiri secara ekonomi dengan kegiatan usaha membuat keset serta sandal.
Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono menyebutkan, wilayah Lawang , merupakan kawasan lintas zaman yang selalu menjadi salah satu wilayah penting sejak era sebelum masa Singhasari, dan Majapahit.
Lokasinya yang berada di utara Malang, menjadi pintu akses Malang, dengan dunia luar. "Sesuai namanya, Lawang bisa diartikan pintu. Mengingat wilayah Lawang , menjadi daerah celah terbuka bagi pedalaman Malang, yang dikitari pegunungan, dengan wilayah luar seperti Surabaya, dan Pasuruan," tuturnya.
(Baca juga: Mengintip Petilasan Ken Dedes, Ibu Para Raja Nusantara )
Lawang , yang di sisi barat berada di lereng Gunung Arjuna, dan lereng Pegunungan Tengger di sisi timur, dibelah jalan besar penghubung antara Pasuruan, dengan Surabaya, yang sejak dahulu menjadi pusat aktivitas ekonomi, dan pemerintahan.
Tempatnya yang sejuk, dan lebih tinggi dari pusat Malang. Menurut Dwi, menjadikan di massa kolonial Belanda, wilayah ini juga sebagai tempat peristirahatan. "Posisinya sangat penting di massa Belanda, buktinya banyak bangunan penting berdiri di sini, seperti Stasiun Lawang yang usianya hampir sama dengan Stasiun Kota Lama," tuturnya.
Bahkan, di sisi timur jalan utama, juga berdiri markas militer Belanda, yang sangat besar. Terdapat Hotel Niagara yang berdiri setinggi delapan lantai. Tentunya ini menjadi bukti pentingnya Lawang di setiap zaman.
Lawang bukan hanya sebagai tempat peristirahatan, tetapi juga sebagai pusat kegiatan ekonomi. Di mana terdapat banyak perkebunan di massa Belanda, yang berkembang di sisi barat dan timur. Industri berbasis pertanian, juga berkembang di wilayah ini.
(Baca juga: Jejak Bhatara Katong, Putra Brawijaya V Raja Terakhir Majapahit )
Hadirnya rumah sakit jiwa, menurut Dwi juga sebagai bukti bagaimana majunya kawasan Lawang , karena penyakit kejiwaan sudah ditangani secara medis sejak akhir tahun 1884-an.
"Satu sisi lokasinya yang sejuk dan tenang, menjadi tempat yang pas untuk penyembuhan kejiwaan. Selain itu, kemajuan kegiatan ekonomi di kawasan ini, juga menjadi pertimbangan untuk mendukung kemudahan pelayanan medis di rumah sakit jiwa tersebut," tururnya.
Lawang dengan sejarah pentingnya, telah melintasi zaman yang terus berubah. Demikian juga dengan RSJ Lawang , yang sejak beberapa puluh tahun silam menyandang nama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat, telah mengabdikan diri selama 118 tahun lamanya, terus berbenah untuk melayani mereka yang masih saja termarjinalkan di tengah perubahan zaman.
(eyt)