Kasus di RS Ummi Pidana Murni, Polda Jabar Beberkan Aturan Ini
loading...
A
A
A
BANDUNG - Polda Jabar menyatakan dugaan menghalang-halangi penanganan COVID-19 oleh RS Ummi Kota Bogor yang tertuang dalam laporan kepolisian sebagai tindakan pidana murni.
Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jabar, Kombes CH Patoppoi membeberkan aturan dalam undang-undang terkait kesehatan dan wabah penyakit menular dalam menyikapi kasus tersebut. (Baca juga: Ragukan Bima Arya Cabut Laporan, Kapolda Jabar Sebut Kasus di RS Ummi Pidana Murni)
Patoppoi menyebutkan, salah satu aturan tersebut, yakni Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta."
(Baca juga: Menko Polhukam Tegaskan Habib Rizieq, RS Ummi, dan Mer-C akan Diperiksa)
"Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp500.000."
Polisi juga berbicara soal terlapor, yakni Direktur Utama (Dirut) RS Ummi, Andi Tatat dan menjelaskan soal pasal yang memuat pertanggung jawaban seorang kepala perusahaan.
Dia juga menyebutkan, Pasal 11 undang-undang tersebut berbunyi, "Barang siapa yang mempunyai tanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib melaporkan kepada Kepala Desa atau Lurah dan/atau Kepala Unit Kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya."
"Kepala Unit Kesehatan dan/atau Kepala Desa atau Lurah setempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing segera melaporkan kepada atasan langsung dan instansi lain yang bersangkutan."
"Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta tata cara penyampaian laporan adanya penyakit yang dapat menimbulkan wabah bagi nakhoda kendaraan air dan udara diatur dengan peraturan perundang-undangan."
Dirreskrimum menjelaskan alasan Dirut RS Ummi yang dilaporkan. "Karena dia yang bertanggung jawab dalam rumah sakit. Jadi yang bersangkutan bisa dimintai pertanggungjawaban," jelasnya di Mapolda Jabar, Bandung, Senin (30/11/2020).
"Kalau mengacu pada aturan ini, clear semua. Siapa yang bertanggung jawab kejadian di rumah sakit di Bogor ketahuan dari unsur barang siapa," sambung Patoppoi.
Lebih lanjut Patoppoi mengatakan, pihaknya juga sudah mulai menyelidiki laporan polisi terhadap Dirut RS Ummi, Andi Tatat dengan memanggil 10 saksi, termasuk menantu Habib Rizieq Shihab.
"Satu menantu MR alias HMR, kemudian dua dari Mer-C yang katanya melakukan swab dan tujuh dari rumah sakit," sebut Patoppoi.
Ketujuh orang dari RS Ummi yang dipanggil tersebut, mulai dari dirut hingga perawat. Pemanggilan ini dalam kapasitas klarifikasi atas laporan polisi bernomor LP/650/XI/2020/JBR/POLRESTA BOGOR KOTA dengan terlapor Dirut RS Ummi, Andi Tatat.
"Kita secepatnya melakukan penyelidikan. Setelah selesai akan ditingkatkan melalui mekanisme gelar, apakah bisa ditingkatkan. Kita mencari tadi, barang siapa," jelasnya.
Pemanggilan ke-10 orang saksi ini telah dilayangkan sejak Sabtu (28/11/2020) lalu. Mereka diundang datang ke Mapolresta Bogor untuk dimintai klarifikasinya hari ini, Senin (30/11/2020).
"Yang sepuluh (orang) Sabtu sudah diundang klarifikasi hari ini. Kita harap kooperatif. Kita ingin secepatnya sama-sama mengetahui siapa yang bertanggung jawab," tandasnya.
Diketahui, Dirut RS Ummi, Andi Tatat dilaporkan Satgas Penanganan COVID-19 Kota Bogor karena dinilai menghalang-halangi upaya satgas untuk melakukan tes swab terhadap Habib Rizieq yang dirawat di rumah sakit tersebut.
Sebelumnya diberitakan, Kapolda Jabar, Irjen Pol Ahmad Dofiri menegaskan bahwa dugaan manajemen RS Ummi yang berupaya menghalangi atau menghambat penanganan atau penanggulangan wabah COVID-19 seperti yang tercantum dalam laporan sebagai delik pidana murni.
"Ini bukan delik aduan, tapi pidana murni. Kalau pidana murni, kewajiban negara melalui aparatnya, yakni kepolisian untuk menghandle langsung dan mengusut perkara ini," tegas Dofiri.
Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jabar, Kombes CH Patoppoi membeberkan aturan dalam undang-undang terkait kesehatan dan wabah penyakit menular dalam menyikapi kasus tersebut. (Baca juga: Ragukan Bima Arya Cabut Laporan, Kapolda Jabar Sebut Kasus di RS Ummi Pidana Murni)
Patoppoi menyebutkan, salah satu aturan tersebut, yakni Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta."
(Baca juga: Menko Polhukam Tegaskan Habib Rizieq, RS Ummi, dan Mer-C akan Diperiksa)
"Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp500.000."
Polisi juga berbicara soal terlapor, yakni Direktur Utama (Dirut) RS Ummi, Andi Tatat dan menjelaskan soal pasal yang memuat pertanggung jawaban seorang kepala perusahaan.
Dia juga menyebutkan, Pasal 11 undang-undang tersebut berbunyi, "Barang siapa yang mempunyai tanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, wajib melaporkan kepada Kepala Desa atau Lurah dan/atau Kepala Unit Kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya."
"Kepala Unit Kesehatan dan/atau Kepala Desa atau Lurah setempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing segera melaporkan kepada atasan langsung dan instansi lain yang bersangkutan."
"Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta tata cara penyampaian laporan adanya penyakit yang dapat menimbulkan wabah bagi nakhoda kendaraan air dan udara diatur dengan peraturan perundang-undangan."
Dirreskrimum menjelaskan alasan Dirut RS Ummi yang dilaporkan. "Karena dia yang bertanggung jawab dalam rumah sakit. Jadi yang bersangkutan bisa dimintai pertanggungjawaban," jelasnya di Mapolda Jabar, Bandung, Senin (30/11/2020).
"Kalau mengacu pada aturan ini, clear semua. Siapa yang bertanggung jawab kejadian di rumah sakit di Bogor ketahuan dari unsur barang siapa," sambung Patoppoi.
Lebih lanjut Patoppoi mengatakan, pihaknya juga sudah mulai menyelidiki laporan polisi terhadap Dirut RS Ummi, Andi Tatat dengan memanggil 10 saksi, termasuk menantu Habib Rizieq Shihab.
"Satu menantu MR alias HMR, kemudian dua dari Mer-C yang katanya melakukan swab dan tujuh dari rumah sakit," sebut Patoppoi.
Ketujuh orang dari RS Ummi yang dipanggil tersebut, mulai dari dirut hingga perawat. Pemanggilan ini dalam kapasitas klarifikasi atas laporan polisi bernomor LP/650/XI/2020/JBR/POLRESTA BOGOR KOTA dengan terlapor Dirut RS Ummi, Andi Tatat.
"Kita secepatnya melakukan penyelidikan. Setelah selesai akan ditingkatkan melalui mekanisme gelar, apakah bisa ditingkatkan. Kita mencari tadi, barang siapa," jelasnya.
Pemanggilan ke-10 orang saksi ini telah dilayangkan sejak Sabtu (28/11/2020) lalu. Mereka diundang datang ke Mapolresta Bogor untuk dimintai klarifikasinya hari ini, Senin (30/11/2020).
"Yang sepuluh (orang) Sabtu sudah diundang klarifikasi hari ini. Kita harap kooperatif. Kita ingin secepatnya sama-sama mengetahui siapa yang bertanggung jawab," tandasnya.
Diketahui, Dirut RS Ummi, Andi Tatat dilaporkan Satgas Penanganan COVID-19 Kota Bogor karena dinilai menghalang-halangi upaya satgas untuk melakukan tes swab terhadap Habib Rizieq yang dirawat di rumah sakit tersebut.
Sebelumnya diberitakan, Kapolda Jabar, Irjen Pol Ahmad Dofiri menegaskan bahwa dugaan manajemen RS Ummi yang berupaya menghalangi atau menghambat penanganan atau penanggulangan wabah COVID-19 seperti yang tercantum dalam laporan sebagai delik pidana murni.
"Ini bukan delik aduan, tapi pidana murni. Kalau pidana murni, kewajiban negara melalui aparatnya, yakni kepolisian untuk menghandle langsung dan mengusut perkara ini," tegas Dofiri.
(shf)