Imam Besar Perjuangan Salawat Wahidiyah Kedunglo Kediri Mangkat, Seperti Apa Sosoknya?
loading...
A
A
A
KEDIRI - Di tangan pengasuh Perjuangan Salawat Wahidiyah KH Abdul Latif Madjid, wajah Pondok Pesantren Kedunglo, Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri , Jawa Timur, banyak berbenah. Untuk pertama kalinya di tahun 1998, Pondok Pesantren Kedunglo memiliki Sekolah Ilmu Ekonomi Wahidiyah. Hanya selisih empat tahun kemudian (2002), menyusul berdiri Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. (Baca juga: KH Abdul Latif Madjid, Imam Besar Salawat Wahidiyah Kediri Wafat )
Sebagaimana pesantren salafiyah yang hanya mengajarkan kitab kuning, sejak itu Pondok Pesantren Kedunglo praktis mempunyai kampus yang diberi nama Universitas Wahidiyah. Sebelumnya pada tahun 1990, Kiai Abdul Latif Madjid juga memprakarsai berdirinya pembangunan gedung baru SMP dan SMA. Hebatnya, biaya pembangunan yang tembus Rp1 miliar berasal dari sukarela jamaah pengamal salawat Wahidiyah.
Di era kepemimpinan Kiai Abdul Latif, pembangunan infrastruktur pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo nyaris tidak berhenti. Pada tahun 1996 berdiri sekolah dasar (SD). Menyusul dua tahun kemudian atau 1998, pembukaan pesantren khusus anak-anak. Pada Senin (23/11/2020) sekitar pukul 06.30 WIB, Imam Besar Salawat Wahidiyah yang sejak tahun 1989 mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo tersebut, tutup usia.
"Meninggal dunia pada usia 68 tahun," tutur Ketua Departemen Urusan Wilayah Perjuangan Wahidiyah, Aminudin kepada wartawan, Senin (23/11/2020). Kiai Abdul Latif merupakan putra almarhum KH Abdul Madjid Ma'roef yang wafat pada tahun 1989. Sebelum wafat di usia 71 tahun, Kiai Abdul Madjid memimpin Pondok Pesantren Kedunglo selama 34 tahun. (Baca juga: Awal 2021 Dimulai Pembelajaran Tatap Muka, Pemprov Jatim Masih Lakukan Finalisasi )
M. Solahudin dalam "Napak Tilas Masyayikh, Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa dan Madura" menyebut, Pondok Pesantren Kedunglo berdiri pada tahun 1901. Lebih tua dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri , yang berdiri tahun 1910, dan Pondok Pesantren Ploso Kediri tahun 1924. Pendiri Pondok Pesantren Kedunglo adalah KH Mohammad Ma'roef, yakni ayah Kiai Abdul Madjid Ma'roef atau kakek almarhum Kiai Abdul Latif Madjid.
Kiai Mohammad Ma'roef merupakan santri KH Sholeh Darat Semarang. KH Sholeh Darat tidak lain guru Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan dan RA Kartini. Di masa mudanya Kiai Mohammad Ma'roef juga pernah berguru kepada KH Syaikhona Cholil, Bangkalan, Madura dan di Pondok Pesantren Langitan Tuban. Setelah menikahi nyai Umi Hasanah, putri Kiai Sholeh Banjarmlati, Kediri, Kiai Mohamad Ma'roef mendirikan Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri . (Baca juga: 2 Penambang Emas Asal Tasikmalaya Terkubur di Kedalaman 65 Meter, Keluarga Gelar Tahlil )
Nama Kedunglo konon merujuk pada kawasan pondok yang dulunya berupa rawa (Kedung) yang banyak tumbuh tanaman Elo atau Lo atau Ara (Ficus Racemosa) yang berbatang besar. Saudara kandung istri Kiai Ma'roef (Nyai Umi Hasanah), yakni nyai Dlomroh dinikahi Kiai Abdul Karim alias Mbah Manab yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Di masa kepemimpinan Kiai Abdul Madjid Ma'roef, yakni tepatnya tahun 1963 santri Kedunglo mulai mengamalkan salawat Wahidiyah. Salawat Wahidiyah yang isinya ditujukan kepada Nabi Muhammad dan diucapkan dengan suara keras serta cucuran air mata, merupakan hasil karangan Kiai Madjid. Karenanya di lingkungan pengamal salawat Wahidiyah Kiai Abdul Madjid Ma'roef disebut sebagai muallif (pengarang).
Di era Kiai Abdul Madjid Ma'roef juga Pondok Pesantren Kedunglo Kediri mulai menerima banyak santri yang sebelumnya di era Kiai Mohammad Ma'roef maksimal hanya 40 santri. Sepeninggal Kiai Abdul Madjid Ma'roef, kepemimpinan perjuangan mengamalkan salawat Wahidiyah dilanjutkan Kiai Abdul Latif Madjid. Pada tahun 1997, Kiai Abdul Latif melegalkan Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Ponpes Kedunglo.
Sejak itu keberadaan Perjuangan Salawat Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo diakui secara hukum. Kiai Abdul Latif juga mendirikan sebelas departemen yang bertugas menyiarkan salawat Wahidiyah melalui cabang yang tersebar di Indonesia.
Menurut Aminudin, almarhum Kiai Abdul Latif Madjid tidak memiliki penyakit khusus yang menyebabkanya wafat. Satu-satunya yang dikeluhkan hanyalah penyakit syaraf yang sayangnya tidak ada penjelasan lebih jauh. "Beliau tidak ada penyakit yang berat," terang Aminudin. (Baca juga: Keluarga Korban Histeris, Tuntut Pembunuh Janda Kembang Dihukum Mati )
Dalam kesempatan itu Aminudin juga bercerita, pada hari hari menjelang Kiai Abdul Latif Madjid wafat, dirinya kerap dipanggil untuk diajak berbincang. Banyak yang dibicarakan. Salah satunya berbincang mengenai pengganti setelah dirinya wafat nanti. "Banyak hal yang didawuhkan. Terutama mempersiapkan penerus beliau, setelah beliau wafat," kata Aminudin.
Almarhum Kiai Abdul Latif Madjid meninggalkan tiga putra dan satu putri. Dalam kesempatan itu Aminudin juga menyampaikan pesan kepada para pentakziah yang datang untuk mematuhi protokol kesehatan. Bagi jamaah salawat Wahidiyah dari luar kota, diminta menunggu aba-aba dari pengurus. "Kalau memang nanti tidak diizinkan dengan alasan protokol kesehatan, diharapkan juga tidak memaksa datang," pungkas Aminudin.
Sebagaimana pesantren salafiyah yang hanya mengajarkan kitab kuning, sejak itu Pondok Pesantren Kedunglo praktis mempunyai kampus yang diberi nama Universitas Wahidiyah. Sebelumnya pada tahun 1990, Kiai Abdul Latif Madjid juga memprakarsai berdirinya pembangunan gedung baru SMP dan SMA. Hebatnya, biaya pembangunan yang tembus Rp1 miliar berasal dari sukarela jamaah pengamal salawat Wahidiyah.
Di era kepemimpinan Kiai Abdul Latif, pembangunan infrastruktur pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo nyaris tidak berhenti. Pada tahun 1996 berdiri sekolah dasar (SD). Menyusul dua tahun kemudian atau 1998, pembukaan pesantren khusus anak-anak. Pada Senin (23/11/2020) sekitar pukul 06.30 WIB, Imam Besar Salawat Wahidiyah yang sejak tahun 1989 mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo tersebut, tutup usia.
"Meninggal dunia pada usia 68 tahun," tutur Ketua Departemen Urusan Wilayah Perjuangan Wahidiyah, Aminudin kepada wartawan, Senin (23/11/2020). Kiai Abdul Latif merupakan putra almarhum KH Abdul Madjid Ma'roef yang wafat pada tahun 1989. Sebelum wafat di usia 71 tahun, Kiai Abdul Madjid memimpin Pondok Pesantren Kedunglo selama 34 tahun. (Baca juga: Awal 2021 Dimulai Pembelajaran Tatap Muka, Pemprov Jatim Masih Lakukan Finalisasi )
M. Solahudin dalam "Napak Tilas Masyayikh, Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa dan Madura" menyebut, Pondok Pesantren Kedunglo berdiri pada tahun 1901. Lebih tua dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri , yang berdiri tahun 1910, dan Pondok Pesantren Ploso Kediri tahun 1924. Pendiri Pondok Pesantren Kedunglo adalah KH Mohammad Ma'roef, yakni ayah Kiai Abdul Madjid Ma'roef atau kakek almarhum Kiai Abdul Latif Madjid.
Kiai Mohammad Ma'roef merupakan santri KH Sholeh Darat Semarang. KH Sholeh Darat tidak lain guru Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan dan RA Kartini. Di masa mudanya Kiai Mohammad Ma'roef juga pernah berguru kepada KH Syaikhona Cholil, Bangkalan, Madura dan di Pondok Pesantren Langitan Tuban. Setelah menikahi nyai Umi Hasanah, putri Kiai Sholeh Banjarmlati, Kediri, Kiai Mohamad Ma'roef mendirikan Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri . (Baca juga: 2 Penambang Emas Asal Tasikmalaya Terkubur di Kedalaman 65 Meter, Keluarga Gelar Tahlil )
Nama Kedunglo konon merujuk pada kawasan pondok yang dulunya berupa rawa (Kedung) yang banyak tumbuh tanaman Elo atau Lo atau Ara (Ficus Racemosa) yang berbatang besar. Saudara kandung istri Kiai Ma'roef (Nyai Umi Hasanah), yakni nyai Dlomroh dinikahi Kiai Abdul Karim alias Mbah Manab yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Di masa kepemimpinan Kiai Abdul Madjid Ma'roef, yakni tepatnya tahun 1963 santri Kedunglo mulai mengamalkan salawat Wahidiyah. Salawat Wahidiyah yang isinya ditujukan kepada Nabi Muhammad dan diucapkan dengan suara keras serta cucuran air mata, merupakan hasil karangan Kiai Madjid. Karenanya di lingkungan pengamal salawat Wahidiyah Kiai Abdul Madjid Ma'roef disebut sebagai muallif (pengarang).
Di era Kiai Abdul Madjid Ma'roef juga Pondok Pesantren Kedunglo Kediri mulai menerima banyak santri yang sebelumnya di era Kiai Mohammad Ma'roef maksimal hanya 40 santri. Sepeninggal Kiai Abdul Madjid Ma'roef, kepemimpinan perjuangan mengamalkan salawat Wahidiyah dilanjutkan Kiai Abdul Latif Madjid. Pada tahun 1997, Kiai Abdul Latif melegalkan Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Ponpes Kedunglo.
Sejak itu keberadaan Perjuangan Salawat Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo diakui secara hukum. Kiai Abdul Latif juga mendirikan sebelas departemen yang bertugas menyiarkan salawat Wahidiyah melalui cabang yang tersebar di Indonesia.
Menurut Aminudin, almarhum Kiai Abdul Latif Madjid tidak memiliki penyakit khusus yang menyebabkanya wafat. Satu-satunya yang dikeluhkan hanyalah penyakit syaraf yang sayangnya tidak ada penjelasan lebih jauh. "Beliau tidak ada penyakit yang berat," terang Aminudin. (Baca juga: Keluarga Korban Histeris, Tuntut Pembunuh Janda Kembang Dihukum Mati )
Dalam kesempatan itu Aminudin juga bercerita, pada hari hari menjelang Kiai Abdul Latif Madjid wafat, dirinya kerap dipanggil untuk diajak berbincang. Banyak yang dibicarakan. Salah satunya berbincang mengenai pengganti setelah dirinya wafat nanti. "Banyak hal yang didawuhkan. Terutama mempersiapkan penerus beliau, setelah beliau wafat," kata Aminudin.
Almarhum Kiai Abdul Latif Madjid meninggalkan tiga putra dan satu putri. Dalam kesempatan itu Aminudin juga menyampaikan pesan kepada para pentakziah yang datang untuk mematuhi protokol kesehatan. Bagi jamaah salawat Wahidiyah dari luar kota, diminta menunggu aba-aba dari pengurus. "Kalau memang nanti tidak diizinkan dengan alasan protokol kesehatan, diharapkan juga tidak memaksa datang," pungkas Aminudin.
(eyt)