Melihat Untung Rugi Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2020
loading...
A
A
A
SEMARANG - Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 diwarnai banyaknya calon tunggal yang melawan kotak kosong di sejumlah daerah. Berdasar data KPU, setidaknya calon tunggal akan bertarung melawan kotak kosong di 25 kabupaten dan kota.
Enam di antaranya di Jawa Tengah, dari 21 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 . Yakni Kota Semarang, Kabupaten Boyolali, Grobogan, Kebumen, Sragen dan Wonosobo. Secara nasional calon tunggal di Jawa Tengah terbanyak.
Pengamat Kebijakan Publik, Pudjo Rahayu Risan mengungkapkan kerugian adanya kotak kosong ada beberapa poin. Di antaranya, lawan kotak kosong sangat merugikan untuk pendidikan politik bagi rakyat.
“Pertimbangannya rakyat hanya disuguhkan satu paslon saja, dan tidak memberikan alternatif pilihan politik lain pada masyarakat,” ungkap Pudjo, Senin (19/10/2020).
Kemudian pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong membuat kekuatan legitimasi calon yang menang tidak begitu kuat karena partai tidak memberi alternatif kepada pemilih untuk pilihan politik.
Ia menambahkan, dengan terbentuknya koalisi besar (oversize) maka tidak ada lagi partai oposisi di daerah. Koalisi yang sangat besar dan bisa mengakibatkan nantinya tidak ada lagi komposisi partai oposisi di DPRD sebagai penyeimbang sekaligus fungi kontrol. Karena semua partai bergabung menjadi satu dan menyokong petahana atau calon tunggal.
“Bisa saja nantinya pemerintahan daerah model seperti itu cenderung anti kritik dan tidak ada alternatif sumbangsih oposisi karena semua bergabung dalam satu kekuatan,” ungkapnya.
Menurutnya, karena figur kotak kosong sama dengan anonim maka perlakuan untuk kolom kosong atau kotak kosong belum setara. Padahal, penting memastikan pemilih paham bahwa calon tunggal bukanlah satu-satunya pilihan.
“Kurangnya pemahaman seperti yang termaktub pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pilkada, mengukuhkan pilihan kotak kosong konstitusional,” terang Pudjo.
Disebutkan, kerugian lain adalah kendala regulasi betapa sulitnya pengawasan terhadap calon tunggal melawan kotak kosong oleh Bawaslu. Baik fasilitasi untuk kotak kosong dan pengawasan tidak ada regulasi yang mengatur. (Baca: Saling Serang Dua Kelompok Pemuda Terjadi di Klub Malam Palembang).
“Yang diatur hanya pasangan calon, tetapi kotak kosong sama sekali tidak. Ketika terjadi pelanggaran yang melibatkan kotak kosong, Bawaslu kesulitan melakukan pengawasan. Tetapi ketika perlakuannya tidak setara antara pasangan calon dibanding kotak kosong Bawaslu juga tidak bisa berbuat banyak,” jelasnya.
Menurutnya, calon tunggal dianggap sangat tidak demokratis karena para calon kepala daerah mengandalkan materi (uang) untuk memborong semua partai guna mengamankan posisi mereka dan mengganjal calon lainnya.
Sedangkan keuntungan adanya kotak kosong di Pilkada 2020 ini ada dua poin. Pertama, keuntungan calon tunggal ketika memenangkan kontestasi, pemerintah daerah bisa dengan cepat mengambil keputusan, karena parlemen dan kepala daerah itu sama. (Baca: Oknum Wartawan di Medan Gasak Jam Tangan Mahal di Hotel Bintang 4).
“Semua partai pendukungnya, paling tidak sangat dominan sehingga apa yang dikatakan pemerintah daerah akan cepat disahkan oleh parlemen di daerah,” ujar fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang ini.
Yang kedua adalah dari sisi biaya memang lebih hemat karena pelayanan dan fasilitas hanya untuk pasangan calon. “Pengadaan alat peraga, cetak surat suara, pemasangan baliho untuk sosialisasi juga sangat hemat,” pungkasnya.
Enam di antaranya di Jawa Tengah, dari 21 daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 . Yakni Kota Semarang, Kabupaten Boyolali, Grobogan, Kebumen, Sragen dan Wonosobo. Secara nasional calon tunggal di Jawa Tengah terbanyak.
Pengamat Kebijakan Publik, Pudjo Rahayu Risan mengungkapkan kerugian adanya kotak kosong ada beberapa poin. Di antaranya, lawan kotak kosong sangat merugikan untuk pendidikan politik bagi rakyat.
“Pertimbangannya rakyat hanya disuguhkan satu paslon saja, dan tidak memberikan alternatif pilihan politik lain pada masyarakat,” ungkap Pudjo, Senin (19/10/2020).
Kemudian pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong membuat kekuatan legitimasi calon yang menang tidak begitu kuat karena partai tidak memberi alternatif kepada pemilih untuk pilihan politik.
Ia menambahkan, dengan terbentuknya koalisi besar (oversize) maka tidak ada lagi partai oposisi di daerah. Koalisi yang sangat besar dan bisa mengakibatkan nantinya tidak ada lagi komposisi partai oposisi di DPRD sebagai penyeimbang sekaligus fungi kontrol. Karena semua partai bergabung menjadi satu dan menyokong petahana atau calon tunggal.
“Bisa saja nantinya pemerintahan daerah model seperti itu cenderung anti kritik dan tidak ada alternatif sumbangsih oposisi karena semua bergabung dalam satu kekuatan,” ungkapnya.
Menurutnya, karena figur kotak kosong sama dengan anonim maka perlakuan untuk kolom kosong atau kotak kosong belum setara. Padahal, penting memastikan pemilih paham bahwa calon tunggal bukanlah satu-satunya pilihan.
“Kurangnya pemahaman seperti yang termaktub pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal dalam Pilkada, mengukuhkan pilihan kotak kosong konstitusional,” terang Pudjo.
Disebutkan, kerugian lain adalah kendala regulasi betapa sulitnya pengawasan terhadap calon tunggal melawan kotak kosong oleh Bawaslu. Baik fasilitasi untuk kotak kosong dan pengawasan tidak ada regulasi yang mengatur. (Baca: Saling Serang Dua Kelompok Pemuda Terjadi di Klub Malam Palembang).
“Yang diatur hanya pasangan calon, tetapi kotak kosong sama sekali tidak. Ketika terjadi pelanggaran yang melibatkan kotak kosong, Bawaslu kesulitan melakukan pengawasan. Tetapi ketika perlakuannya tidak setara antara pasangan calon dibanding kotak kosong Bawaslu juga tidak bisa berbuat banyak,” jelasnya.
Menurutnya, calon tunggal dianggap sangat tidak demokratis karena para calon kepala daerah mengandalkan materi (uang) untuk memborong semua partai guna mengamankan posisi mereka dan mengganjal calon lainnya.
Sedangkan keuntungan adanya kotak kosong di Pilkada 2020 ini ada dua poin. Pertama, keuntungan calon tunggal ketika memenangkan kontestasi, pemerintah daerah bisa dengan cepat mengambil keputusan, karena parlemen dan kepala daerah itu sama. (Baca: Oknum Wartawan di Medan Gasak Jam Tangan Mahal di Hotel Bintang 4).
“Semua partai pendukungnya, paling tidak sangat dominan sehingga apa yang dikatakan pemerintah daerah akan cepat disahkan oleh parlemen di daerah,” ujar fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang ini.
Yang kedua adalah dari sisi biaya memang lebih hemat karena pelayanan dan fasilitas hanya untuk pasangan calon. “Pengadaan alat peraga, cetak surat suara, pemasangan baliho untuk sosialisasi juga sangat hemat,” pungkasnya.
(nag)