Dosen UMI Lapor Polda Sulsel, Mengaku Korban Pemukulan Aparat Kepolisian
loading...
A
A
A
MAKASSAR - AM, dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI) bersama melaporkan dugaan tindakan represif kepolisian terhadapnya ke Polda Sulsel , Senin (12/10/2020). Ia didampingi Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sulsel.
Pelaporan itu dikonfirmasi Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Sulsel , AKBP Edi Harto. AM menurut Edi melaporkan dugaan tindak pidana dan pelanggaran etik dan disiplin oleh oknum polisi.
"Betul tadi siang, kira-kira jam 11.45 Wita, yang bersangkutan AM melapor di SPKT Polda Sulsel, didampingi oleh pendamping hukumnya. Tadi diteruskan ke Ditreskrimum dan Bid Propam. Yah pidana dan pelanggaran kode etik disiplin," jelas Edi kepada SINDOnews, melalui pesan WhatsApp .
Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum PHBI Sulsel, Syamsumarlin menyampaikan, laporan yang dilayangkan terkait dugaan salah sasaran aparat, buntut kericuhan aksi demonstrasi Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja , Kamis 8 Oktober lalu.
Pertama laporan pelanggaran kode etik dan disiplin dengan nomor registrasi, LP/49-B/X/2020/Subbag Yanduan, 12 Oktober 2020. Tentang laporan terjadinya peristiwa pelanggaran disiplin/kode etik profesi Polri perihal tindakan penganiayaan secara bersama-sama yang dilakukan oleh oknum anggota Polri terhadap korban.
Berikutnya, adalah Laporan Polisi Nomor: LPB/330/X/2020/SPKT POLDA SULSEL tanggal 12 Oktober 2020 terkait dugaan tindak pidana penganiayaan secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 Ayat (1) KUHPidana.
"Tindakan oknum aparat kepolisian ini terhadap korban ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan kaidah hak asasi manusia (HAM) . Perihal tersebut jelas telah diatur dalam UU dan peraturan internal Polri dalam Perkap yang ada," ungkap Syamsumarlin.
Korban dan pendamping hukumnya mendesak agar Kapolda Sulsel , Irjen Merdisyam, menjadikan kasus ini sebagai atensi untuk mengevaluasi jajarannya. Khususnya kepada anggota saat melaksanakan tugas di lapangan.
Syamsumarlin menilai, Polri dalam melakukan upaya pengamanan unjuk rasa harusnya mengedepankan upaya-upaya persuasif dan tetap mengayomi masyarakat sekitar. Perihal tersebut katanya, jelas telah diatur dalam UU dan peraturan internal Polri dalam Peraturan Kapolri (Perkap) yang ada.
"Kita mendesak Kapolda Sulsel agar mendorong pelanggaran pidana kasus ini serta pelanggaran etiknya. Hal tersebut untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri," paparnya.
Kepada SINDOnews, AM mengaku telah menjadi korban salah sasaran aparat kepolisian saat menyisir massa aksi unjuk rasa penolakan pengesahan UU Cipta Kerja. Dosen Fakultas Hukum itu, mengaku peristiwa tersebut dialaminya di Jalan Urip Sumoharjo, Kecamatan Panakukang Kamis 8 Oktober lalu. AM bilang tindakan represif aparat dialaminya sekitar pukul 21.50 Wita persis di depan mini market dekat tempatnya mengajar.
Keributan antara pendemo dan aparat kepolisian yang mendorong massa dengan water canon dan flash ball atau gas air mata, membuat AM terjebak. Tempatnya dikepung asap sisa-sisa alat pengurai massa polisi, alhasil beberapa polisi yang menyisir massa, ikut membawa dirinya.
"Saya tidak lari karena merasa tidak bersalah dan bukan bagian dari massa aksi. Tiba-tiba datang sekitar 20 orang oknum aparat kepolisian. Saya sudah bilang, saya bukan bagian dari massa aksi. Saya perlihatkan KTP, tapi tetap tidak diindahkan," AM menjelaskan.
AM menyebut, dirinya baru saja pulang dari warung makan di Jalan Prof Basalamah. Lalu hendak mencetak dokumen-dokumen penting di depan Universitas Bosowa , Jalan Urip Sumoharjo, namun melihat aksi demonstrasi masih terjadi ia memilih singgah di balai-balai seberang jalan depan minimarket.
"Saya kebetulan terjebak (kerumunan massa) saya tegaskan saya bukan bagian dari massa aksi, saya tidak menyentuh aspal, hanya berdiri di pinggir dekat balai-balai. Saya mau ngeprint, di langganan saya depan Unibos," jelas AM.
Tanpa dia sadari kondisi memanas sudah terjadi, polisi sudah mengepung massa aksi dengan kepulan asap sisa gas air mata. Dia memilih bertahan meskipun sejumlah aparat sudah menyisir. AM yang merasa tak bersalah sehingga tidak berlari menyelamatkan diri.
AM hanya berusaha menghindari gas air mata yang disebutkan dia, secara sporadis dilontarkan aparat. Dia terkepung asap bersama penjual bakso dan tukang parkir yang biasa mangkal di daerah depan minimarket. Namun AM ikut diamankan polisi.
Lebih lanjut, AM mengaku langsung mendapatkan pukulan bahkan setelah menunjukkan identitasnya. Seingatnya ada 15 orang yang datang mengerumuninya, bahkan memukul titik mematikan tubuhnya. Kepala, dada, punggung belakang sampai kaki AM tak luput dari amukan polisi.
"Saya jatuh bangun tiga kali, ku kira kalau saat itu ajalku sudah datang. Dipukul diinjak, baru bagian kepala paling banyak. Pakai tameng, banyak polisi ada 15 orang sepertinya, karena sudah setengah sadar saya," imbuh AM.
AM mengaku tetap dipukuli saat dirinya sudah berada di mobil di bagian kepala. Namun kekesalan AM paling memuncak saat dirinya mendapatkan perkataan kasar di dalam mobil ketika ada seorang oknum yang meminta rekannya untuk tidak bertindak kasar.
"Pokoknya tidak manusiawi. Kalau dibilang memberikan efek jera, bukan juga. Tapi malah mau membunuh. Bayangkan kalau organ vital semua dihantam. Intinya melanggar hak asasi, apalagi ada kata tidak pantas dilontarkan," terangnya.
Pelaporan itu dikonfirmasi Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Sulsel , AKBP Edi Harto. AM menurut Edi melaporkan dugaan tindak pidana dan pelanggaran etik dan disiplin oleh oknum polisi.
"Betul tadi siang, kira-kira jam 11.45 Wita, yang bersangkutan AM melapor di SPKT Polda Sulsel, didampingi oleh pendamping hukumnya. Tadi diteruskan ke Ditreskrimum dan Bid Propam. Yah pidana dan pelanggaran kode etik disiplin," jelas Edi kepada SINDOnews, melalui pesan WhatsApp .
Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum PHBI Sulsel, Syamsumarlin menyampaikan, laporan yang dilayangkan terkait dugaan salah sasaran aparat, buntut kericuhan aksi demonstrasi Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja , Kamis 8 Oktober lalu.
Pertama laporan pelanggaran kode etik dan disiplin dengan nomor registrasi, LP/49-B/X/2020/Subbag Yanduan, 12 Oktober 2020. Tentang laporan terjadinya peristiwa pelanggaran disiplin/kode etik profesi Polri perihal tindakan penganiayaan secara bersama-sama yang dilakukan oleh oknum anggota Polri terhadap korban.
Berikutnya, adalah Laporan Polisi Nomor: LPB/330/X/2020/SPKT POLDA SULSEL tanggal 12 Oktober 2020 terkait dugaan tindak pidana penganiayaan secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 Ayat (1) KUHPidana.
"Tindakan oknum aparat kepolisian ini terhadap korban ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan kaidah hak asasi manusia (HAM) . Perihal tersebut jelas telah diatur dalam UU dan peraturan internal Polri dalam Perkap yang ada," ungkap Syamsumarlin.
Korban dan pendamping hukumnya mendesak agar Kapolda Sulsel , Irjen Merdisyam, menjadikan kasus ini sebagai atensi untuk mengevaluasi jajarannya. Khususnya kepada anggota saat melaksanakan tugas di lapangan.
Syamsumarlin menilai, Polri dalam melakukan upaya pengamanan unjuk rasa harusnya mengedepankan upaya-upaya persuasif dan tetap mengayomi masyarakat sekitar. Perihal tersebut katanya, jelas telah diatur dalam UU dan peraturan internal Polri dalam Peraturan Kapolri (Perkap) yang ada.
"Kita mendesak Kapolda Sulsel agar mendorong pelanggaran pidana kasus ini serta pelanggaran etiknya. Hal tersebut untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri," paparnya.
Kepada SINDOnews, AM mengaku telah menjadi korban salah sasaran aparat kepolisian saat menyisir massa aksi unjuk rasa penolakan pengesahan UU Cipta Kerja. Dosen Fakultas Hukum itu, mengaku peristiwa tersebut dialaminya di Jalan Urip Sumoharjo, Kecamatan Panakukang Kamis 8 Oktober lalu. AM bilang tindakan represif aparat dialaminya sekitar pukul 21.50 Wita persis di depan mini market dekat tempatnya mengajar.
Keributan antara pendemo dan aparat kepolisian yang mendorong massa dengan water canon dan flash ball atau gas air mata, membuat AM terjebak. Tempatnya dikepung asap sisa-sisa alat pengurai massa polisi, alhasil beberapa polisi yang menyisir massa, ikut membawa dirinya.
"Saya tidak lari karena merasa tidak bersalah dan bukan bagian dari massa aksi. Tiba-tiba datang sekitar 20 orang oknum aparat kepolisian. Saya sudah bilang, saya bukan bagian dari massa aksi. Saya perlihatkan KTP, tapi tetap tidak diindahkan," AM menjelaskan.
AM menyebut, dirinya baru saja pulang dari warung makan di Jalan Prof Basalamah. Lalu hendak mencetak dokumen-dokumen penting di depan Universitas Bosowa , Jalan Urip Sumoharjo, namun melihat aksi demonstrasi masih terjadi ia memilih singgah di balai-balai seberang jalan depan minimarket.
"Saya kebetulan terjebak (kerumunan massa) saya tegaskan saya bukan bagian dari massa aksi, saya tidak menyentuh aspal, hanya berdiri di pinggir dekat balai-balai. Saya mau ngeprint, di langganan saya depan Unibos," jelas AM.
Tanpa dia sadari kondisi memanas sudah terjadi, polisi sudah mengepung massa aksi dengan kepulan asap sisa gas air mata. Dia memilih bertahan meskipun sejumlah aparat sudah menyisir. AM yang merasa tak bersalah sehingga tidak berlari menyelamatkan diri.
AM hanya berusaha menghindari gas air mata yang disebutkan dia, secara sporadis dilontarkan aparat. Dia terkepung asap bersama penjual bakso dan tukang parkir yang biasa mangkal di daerah depan minimarket. Namun AM ikut diamankan polisi.
Lebih lanjut, AM mengaku langsung mendapatkan pukulan bahkan setelah menunjukkan identitasnya. Seingatnya ada 15 orang yang datang mengerumuninya, bahkan memukul titik mematikan tubuhnya. Kepala, dada, punggung belakang sampai kaki AM tak luput dari amukan polisi.
"Saya jatuh bangun tiga kali, ku kira kalau saat itu ajalku sudah datang. Dipukul diinjak, baru bagian kepala paling banyak. Pakai tameng, banyak polisi ada 15 orang sepertinya, karena sudah setengah sadar saya," imbuh AM.
AM mengaku tetap dipukuli saat dirinya sudah berada di mobil di bagian kepala. Namun kekesalan AM paling memuncak saat dirinya mendapatkan perkataan kasar di dalam mobil ketika ada seorang oknum yang meminta rekannya untuk tidak bertindak kasar.
"Pokoknya tidak manusiawi. Kalau dibilang memberikan efek jera, bukan juga. Tapi malah mau membunuh. Bayangkan kalau organ vital semua dihantam. Intinya melanggar hak asasi, apalagi ada kata tidak pantas dilontarkan," terangnya.
(luq)