Kejari NTT Geledah Kantor Bupati Manggara Barat Selidiki Kasus Penggelapan Lahan Senilai Rp2 Triliun, Bupati Mabar Bungkam
loading...
A
A
A
MANGGARAI BARAT - Penyelidikan kasus penggelapan lahan milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (Pemkab Mabar) seluas 30 hektare senilai Rp2 triliun di Keranga, Toro Lema Batu Kalo, Kecamatan Komodo, terus berlanjut. Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT dan penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai Barat melakukan penggeledahan dokumen di kantor Bupati Mabar, Senin (12/10).
(Baca juga: OPM Gunakan Tameng Hidup Warga Sipil saat Serang Pos Koramil Hitadipa Papua)
Penggeledahan dokumen yang dilakukan 6 orang anggota gabungan penyidik Kejati NTT dan Kejari Mabar berlangsung di ruangan Asisten 1, ruangan Asisten 3, dan ruangan Tata Pemerintahan Kabupaten Mabar. Selain itu, pemeriksaan dokumen juga berlangsung di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
(Baca juga: Bawaslu Bateng Temukan Jumlah 1.559 Pemilih Ganda)
Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula saat berusaha diwawancarai wartawan terkait penggeledahan yang dilakukan oleh tim penyidik Kejati NTT dan Kejari Mabar bungkam. Bupati Dula meminta wartawan untuk tidak menanyakan hal tersebut. "Tidak usah tanya," cetus Bupati Dula singkat sembari menuju ke ruang kerjanya.
Sebelumnya, penyidik Kejari Kupang telah memeriksa beberapa saksi, terkait sengketa masalah kepemilikan lahan Keranga yang ditaksir merugikan negara mencapai Rp3 trilliun. Saksi yang diperiksa adalah Bupati Mabar Agustinus Ch Dula, mantan Sekda Mabar Frans Paju Leok, Fungsionaris Adat Nggorang Haji Ramang Ishaka, Kepala Tata Pemerintahan Mabar Ambrosius Sukur, dan Haji Adam Djudje.
Polemik sengketa kepemilikan tanah Keranga merupakan sengketa penjualan aset milik pemda seluas 30 hektare yang dilakukan oleh oknum tertentu. Tanah ini, awalnya merupakan tanah pemberian Fungsionaris Adat Nggorang Dalu Ishaka kepada Pemerintah Kabupaten tingkat 2 Kabupaten Mabar pada tahun 1997. Pemberian tanah ini diperuntukan untuk pembangunan Sekolah Perikanan.
"Intinya, lahan itu adalah milik Pemkab Mabar seluas kurang lebih 30 hektare, hasil penyerahan tanah yang dilakukan oleh Fungsionaris Adat Nggorang kepada Perintah Kabupaten tingkat 2 Manggarai pada tahun 1997," ujar Haji Ramang Ishaka, ahli waris atau anak dari Almarhum Dalu (pembesar adat) Ishaka saat diwawancarai usai diperiksa penyidik Kejati Kupang, Selasa (29/9/2020) lalu.
Menurut Haji Ramang, terdapat dua kali pengukuran akan tanah tersebut. Pengukuran pertama pada tahun 1997, yang dilakukan oleh BPN Manggarai. Pengukuran kedua terjadi pada tahun 2015, sesuai permintaan Pemkab Mabar rangka Sertifikasi Tanah Pemda di Keranga.
Haji Ramang mengakui bahwa dirinya ikut ambil bagian dalam proses pengukuran kali kedua tersebut, meski ia hadir pada saat persiapan lapangan satu hari sebelum hari pengukuran.
"Sesuai dengan data yang ada pada kami yang ditinggalkan oleh orang tua selaku Fungsionaris Adat Nggorang dan dokumen dokumen yang sudah dilakukan pengukuran tahun 97 oleh BPN Manggarai terhadap lokasi itu, saya yakin itu lahan milik Pemda Mabar yang diserahkan oleh fungsionaris untuk kepentingan umum," jelas Haji Ramang.
Pengakuan berbeda datang dari salah satu saksi, Haji Adam Djuje. Dia diperiksa, karena mengklaim lahan seluas 30 Hektare tersebut miliknya. Saat diperiksa di rumahnya pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 2020, Djuje mengakui bahwa lahan yang diberikan Fungsionaris Adat Nggorang kepada Pemkab Manggarai hanya seluas 5 hektare saja.
"Itu tanah saya punya, bukan pemda punya, pemda hanya memiliki lima hektare saja," ujar Djuje dihadapan penyidik.
Djudje membantah ia telah menjual tanah milik Pemda Mabar. Tanah seluas 30 hektare tersebut adalah miliknya berdasarkan penyerahan pembagian dari Dalu Nggorang, dan didukung kelengkapan bukti dokumen penyerahan.
"Setahu saya, tanah itu hanya seluas 5 hektare di Kerangan, mulai dari pante dan tidak sampai ke bukit atas. Hanya itu tanah penyerahan Dalu Nggorang,saya bersama Frans Paju Leok waktu itu dia sebagai asisten. Kami pernah di perintahkan ukur itu tanah, saya dulu sebagai staf desa Labuan Bajo," tutur Adam Djudje kepada penyidik.
Namun, pengakuan Djuje berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Frans Paju Leok. Seusai diperiksa Tim penyidik pada Kamis (29/9/2020) seperti yang disampikan Haji Adam Djuje, Frans Paju Leok yang juga turut hadir pada pengukuran tahun 97 tersebut memberikan keterangan berbeda terkait kepemilikan lahan. Menurut Frans, lahan seluas 30 hektare tersebut memang milik Pemkab Mabar.
"Saya mengukuhkan kembali apa yang saya buat tentang tanah itu, karena perintah pimpinan waktu itu melakukan pengukuran. Hanya yang kita sayangkan, selama ini tidak pernah diperjelas statusnya sejak Mabar terpisah. Tahun Pengukuran Mei 97, dengan total 30 hektare.
Penyerahannya waktu itu seluas 30 hektare, makanya kita lakukan pengukuran. Dulu, BPN kita libatkan untuk melakukan pengukuran, termasuk Camat Labuan Bajo Vinsen Dahur. Saya pada saat itu asisten 1 Asisten Tata Praja yang membidangi ini," jelas Frans.
"Saya secara pribadi tidak rela, karena tanah itu diberikan untuk kepentingan umum. Kalau ada proses individualisasi di dalamnya, berarti ada penyimpangan hukum dan setiap pelanggaran itu harus diproses sesuai hukum yang berlaku, apalagi ini menyangkut kepentingan masyarakat Mabar," pungkas Frans
(Baca juga: OPM Gunakan Tameng Hidup Warga Sipil saat Serang Pos Koramil Hitadipa Papua)
Penggeledahan dokumen yang dilakukan 6 orang anggota gabungan penyidik Kejati NTT dan Kejari Mabar berlangsung di ruangan Asisten 1, ruangan Asisten 3, dan ruangan Tata Pemerintahan Kabupaten Mabar. Selain itu, pemeriksaan dokumen juga berlangsung di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
(Baca juga: Bawaslu Bateng Temukan Jumlah 1.559 Pemilih Ganda)
Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula saat berusaha diwawancarai wartawan terkait penggeledahan yang dilakukan oleh tim penyidik Kejati NTT dan Kejari Mabar bungkam. Bupati Dula meminta wartawan untuk tidak menanyakan hal tersebut. "Tidak usah tanya," cetus Bupati Dula singkat sembari menuju ke ruang kerjanya.
Sebelumnya, penyidik Kejari Kupang telah memeriksa beberapa saksi, terkait sengketa masalah kepemilikan lahan Keranga yang ditaksir merugikan negara mencapai Rp3 trilliun. Saksi yang diperiksa adalah Bupati Mabar Agustinus Ch Dula, mantan Sekda Mabar Frans Paju Leok, Fungsionaris Adat Nggorang Haji Ramang Ishaka, Kepala Tata Pemerintahan Mabar Ambrosius Sukur, dan Haji Adam Djudje.
Polemik sengketa kepemilikan tanah Keranga merupakan sengketa penjualan aset milik pemda seluas 30 hektare yang dilakukan oleh oknum tertentu. Tanah ini, awalnya merupakan tanah pemberian Fungsionaris Adat Nggorang Dalu Ishaka kepada Pemerintah Kabupaten tingkat 2 Kabupaten Mabar pada tahun 1997. Pemberian tanah ini diperuntukan untuk pembangunan Sekolah Perikanan.
"Intinya, lahan itu adalah milik Pemkab Mabar seluas kurang lebih 30 hektare, hasil penyerahan tanah yang dilakukan oleh Fungsionaris Adat Nggorang kepada Perintah Kabupaten tingkat 2 Manggarai pada tahun 1997," ujar Haji Ramang Ishaka, ahli waris atau anak dari Almarhum Dalu (pembesar adat) Ishaka saat diwawancarai usai diperiksa penyidik Kejati Kupang, Selasa (29/9/2020) lalu.
Menurut Haji Ramang, terdapat dua kali pengukuran akan tanah tersebut. Pengukuran pertama pada tahun 1997, yang dilakukan oleh BPN Manggarai. Pengukuran kedua terjadi pada tahun 2015, sesuai permintaan Pemkab Mabar rangka Sertifikasi Tanah Pemda di Keranga.
Haji Ramang mengakui bahwa dirinya ikut ambil bagian dalam proses pengukuran kali kedua tersebut, meski ia hadir pada saat persiapan lapangan satu hari sebelum hari pengukuran.
"Sesuai dengan data yang ada pada kami yang ditinggalkan oleh orang tua selaku Fungsionaris Adat Nggorang dan dokumen dokumen yang sudah dilakukan pengukuran tahun 97 oleh BPN Manggarai terhadap lokasi itu, saya yakin itu lahan milik Pemda Mabar yang diserahkan oleh fungsionaris untuk kepentingan umum," jelas Haji Ramang.
Pengakuan berbeda datang dari salah satu saksi, Haji Adam Djuje. Dia diperiksa, karena mengklaim lahan seluas 30 Hektare tersebut miliknya. Saat diperiksa di rumahnya pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 2020, Djuje mengakui bahwa lahan yang diberikan Fungsionaris Adat Nggorang kepada Pemkab Manggarai hanya seluas 5 hektare saja.
"Itu tanah saya punya, bukan pemda punya, pemda hanya memiliki lima hektare saja," ujar Djuje dihadapan penyidik.
Djudje membantah ia telah menjual tanah milik Pemda Mabar. Tanah seluas 30 hektare tersebut adalah miliknya berdasarkan penyerahan pembagian dari Dalu Nggorang, dan didukung kelengkapan bukti dokumen penyerahan.
"Setahu saya, tanah itu hanya seluas 5 hektare di Kerangan, mulai dari pante dan tidak sampai ke bukit atas. Hanya itu tanah penyerahan Dalu Nggorang,saya bersama Frans Paju Leok waktu itu dia sebagai asisten. Kami pernah di perintahkan ukur itu tanah, saya dulu sebagai staf desa Labuan Bajo," tutur Adam Djudje kepada penyidik.
Namun, pengakuan Djuje berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Frans Paju Leok. Seusai diperiksa Tim penyidik pada Kamis (29/9/2020) seperti yang disampikan Haji Adam Djuje, Frans Paju Leok yang juga turut hadir pada pengukuran tahun 97 tersebut memberikan keterangan berbeda terkait kepemilikan lahan. Menurut Frans, lahan seluas 30 hektare tersebut memang milik Pemkab Mabar.
"Saya mengukuhkan kembali apa yang saya buat tentang tanah itu, karena perintah pimpinan waktu itu melakukan pengukuran. Hanya yang kita sayangkan, selama ini tidak pernah diperjelas statusnya sejak Mabar terpisah. Tahun Pengukuran Mei 97, dengan total 30 hektare.
Penyerahannya waktu itu seluas 30 hektare, makanya kita lakukan pengukuran. Dulu, BPN kita libatkan untuk melakukan pengukuran, termasuk Camat Labuan Bajo Vinsen Dahur. Saya pada saat itu asisten 1 Asisten Tata Praja yang membidangi ini," jelas Frans.
"Saya secara pribadi tidak rela, karena tanah itu diberikan untuk kepentingan umum. Kalau ada proses individualisasi di dalamnya, berarti ada penyimpangan hukum dan setiap pelanggaran itu harus diproses sesuai hukum yang berlaku, apalagi ini menyangkut kepentingan masyarakat Mabar," pungkas Frans
(zil)