Digelar di Tengah Pandemi COVID-19, Kampanye Pilkada Disarankan Total Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan melanjutkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 . Sekalipun, angka infeksi COVID-19 belum menunjukkan tren penurunan.
Kendati demikian, pemerintah akan mengatur penyelenggaraan pilkada lebih ketat dan melarang kegiatan yang berpotensi memperluas penyebaran COVID-19. Caranya merevisi Peraturan KPU (PKPU) atau lewat Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pelaksanaan Pilkada selama pandemi COVID-19.
Menanggapi kebijakan tersebut, pakar digital Anthony Leong mengatakan, pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan yang ketat disertai penegakkan hukum serta sanksi tegas agar tidak terjadi klaster baru pilkada.
Dia juga mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah potensi klaster baru penularan COVID-19 pada setiap tahapan pilkada.
"Pelaksanaan pilkada 2020 secara serentak harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. Jika jumlah pasangan calon (paslon) pilkada 1.374 orang dikali 10 titik selama masa kampanye 71 hari, maka akan menciptakan 975.540 titik penyebaran COVID-19. Tingkat positif ini adalah 10% maka berpotensi 10 x 975.540 titik maka ada 9.755.400 orang yang berpotensi besar terpapar," ujar Anthony, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta (22/9/2020).
Menurut dia, kondisi tersebut sangat membahayakan. Terlebih jika ada ruang untuk kontak fisik. Pemerintah harus menetapkan peraturan totally digital dalam pilkada di tengah pandemi. Jika tidak, jangan ada pilkada hingga vaksin ditemukan.
Anthony mengusulkan, pemerintah harus mempersiapkan segala upaya untuk menghadapi pilkada dengan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penegakan hukum. Termasuk pada saat kampanye, dianjurkan menggunakan digital.
"Kampanye harus dipertimbangkan faktor demografis dan sosiologis dari masyarakat. Kampanye itu kadang kala membuat daya kritis masyarakat menjadi rendah karena ada faktor kecintaan dari pendukung, fanatisme dan lainnya. Ini harus dipikirkan pemerintah jangan sampai Indonesia bisa jadi episentrum dunia penyebaran COVID-19. Kita bisa ditolak masuk di kancah internasional," tuturnya.
Kendati demikian, pemerintah akan mengatur penyelenggaraan pilkada lebih ketat dan melarang kegiatan yang berpotensi memperluas penyebaran COVID-19. Caranya merevisi Peraturan KPU (PKPU) atau lewat Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pelaksanaan Pilkada selama pandemi COVID-19.
Menanggapi kebijakan tersebut, pakar digital Anthony Leong mengatakan, pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan yang ketat disertai penegakkan hukum serta sanksi tegas agar tidak terjadi klaster baru pilkada.
Dia juga mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah potensi klaster baru penularan COVID-19 pada setiap tahapan pilkada.
"Pelaksanaan pilkada 2020 secara serentak harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. Jika jumlah pasangan calon (paslon) pilkada 1.374 orang dikali 10 titik selama masa kampanye 71 hari, maka akan menciptakan 975.540 titik penyebaran COVID-19. Tingkat positif ini adalah 10% maka berpotensi 10 x 975.540 titik maka ada 9.755.400 orang yang berpotensi besar terpapar," ujar Anthony, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta (22/9/2020).
Menurut dia, kondisi tersebut sangat membahayakan. Terlebih jika ada ruang untuk kontak fisik. Pemerintah harus menetapkan peraturan totally digital dalam pilkada di tengah pandemi. Jika tidak, jangan ada pilkada hingga vaksin ditemukan.
Anthony mengusulkan, pemerintah harus mempersiapkan segala upaya untuk menghadapi pilkada dengan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penegakan hukum. Termasuk pada saat kampanye, dianjurkan menggunakan digital.
"Kampanye harus dipertimbangkan faktor demografis dan sosiologis dari masyarakat. Kampanye itu kadang kala membuat daya kritis masyarakat menjadi rendah karena ada faktor kecintaan dari pendukung, fanatisme dan lainnya. Ini harus dipikirkan pemerintah jangan sampai Indonesia bisa jadi episentrum dunia penyebaran COVID-19. Kita bisa ditolak masuk di kancah internasional," tuturnya.