Merasa Jenuh, Seorang Anak Terpapar COVID-19 di Semarang Melarikan Diri
loading...
A
A
A
SEMARANG - Seorang anak yang terpapar COVID-19 dikabarkan sempat melarikan dari ruang isolasi yang berada di rumah dinas Wali Kota Semarang di Manyaran.
Kabar tersebut disampaikan oleh Kuriake Kharismawan, relawan penanganan COVID-19 bagi pasien COVID-19 di rumah dinas Wali Kota Semarang.
Namun, pihaknya tak mengungkapkan secara detail identitas dan kronologis bagaimana si anak bisa melarikan diri.
"Pagi tadi, (kemarin) ada 16 anak. Rabu (16/9/2020) lalu bahkan ada yang melarikan diri. Untung segera kami temukan lagi. Yang pasti, sifat anak-anak itu adalah ingin bermain dan pergi ke man-mana. Itu adalah karakter khas anak di masa puber. Selain itu mereka selalu ingin tantangan," ungkap Kuriake saat berbicara dalam Webinar bertajuk Peran Media dalam Mempromosikan Program Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di Masa Pandemi: Anak-anak dalam Pusaran Kluster Keluarga COVID-19, Jumat (18/9/2020).
Menurutnya di masa pandemi ini anak-anak itu terkungkung di dalam rumah. Mereka pasti merasa jemu dan jenuh, akhirnya memberontak. Mereka pun menantang.
"Apa yang bisa ditantang? Ya melanggar aturan yang ditetapkan pemerintah itu soal protokol kesehatan. Oleh sebab itu agar tidak jenuh, maka di gadget pun mereka perlu dibuatkan tantangan. Beri mereka aneka lomba sehingga energi mereka tersalur secara positif. Jika dilarang terus, mereka pasti akan melanggar larangan itu dengan sembunyi-sembunyi," jelasnya.
Selain itu, Kuriake juga melihat stigma pasien COVID-19 yang justru membuat mereka tersudut. "Kami ingini masyarakat tidak memberi stigma negatif. Jangan dijauhi. Bila mereka dinyatakan sembuh, berarti itu memang sembuh," ujar psikolog Unika Soegijapranata Semarang ini.
Sementara itu, Kepala Kantor UNICEF Perwakilan Jawa-Bali Arie Rukmantara menyebutkan bahwa di Indonesia ada 80 juta anak, 10 juta di antaranya berada Jawa Tengah.
"Seluruh anak di Jateng harus menjadi teladan, termasuk juga keluarga mereka juga harus menjadi teladan dengan memastikan keluarga mereka tetap sehat selama pandemi COVID-19. Dan itu harus diwariskan," kata Arie.
Arie menegaskan bahwa WHO dan UNICEF selalu berperang melawan pandemi. Saat ini melawan wabah COVID-19. (Baca juga: DKPP Sidangkan 5 Anggota Bawaslu Sragen)
"Dalam satu hingga dua tahun ini kita harus membiasakan diri melakukan tiga M. Mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Perilaku itu harus menjadi kebiasaan dan diwariskan," terangnya. (Baca juga: Masa Pandemi, Ini Cara Advokat Adaptasi Tangani Perkara)
Ia mengutarakan pada 20 tahun ke depan, semua akan sudah terbiasa mengenakan masker dan mencuci tangan. Dengan mencuci tangan bisa membunuh bakteri, mengenakan masker bisa mengurangi polutan.
"Menjaga jarak, antre dengan tertib; itu juga menjadi kebiasaan membuat perencanaan terlebih dahulu agar tidak terjadi kerumunan. Itu artinya pada tahun 2045 nanti kegiatan 3 M menjadi kunci sambutan dari 3 T (testing-tes spesimen, tracking-penelusuran- dan treatment-perawatan)," jelasnya.
Kabar tersebut disampaikan oleh Kuriake Kharismawan, relawan penanganan COVID-19 bagi pasien COVID-19 di rumah dinas Wali Kota Semarang.
Namun, pihaknya tak mengungkapkan secara detail identitas dan kronologis bagaimana si anak bisa melarikan diri.
"Pagi tadi, (kemarin) ada 16 anak. Rabu (16/9/2020) lalu bahkan ada yang melarikan diri. Untung segera kami temukan lagi. Yang pasti, sifat anak-anak itu adalah ingin bermain dan pergi ke man-mana. Itu adalah karakter khas anak di masa puber. Selain itu mereka selalu ingin tantangan," ungkap Kuriake saat berbicara dalam Webinar bertajuk Peran Media dalam Mempromosikan Program Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di Masa Pandemi: Anak-anak dalam Pusaran Kluster Keluarga COVID-19, Jumat (18/9/2020).
Menurutnya di masa pandemi ini anak-anak itu terkungkung di dalam rumah. Mereka pasti merasa jemu dan jenuh, akhirnya memberontak. Mereka pun menantang.
"Apa yang bisa ditantang? Ya melanggar aturan yang ditetapkan pemerintah itu soal protokol kesehatan. Oleh sebab itu agar tidak jenuh, maka di gadget pun mereka perlu dibuatkan tantangan. Beri mereka aneka lomba sehingga energi mereka tersalur secara positif. Jika dilarang terus, mereka pasti akan melanggar larangan itu dengan sembunyi-sembunyi," jelasnya.
Selain itu, Kuriake juga melihat stigma pasien COVID-19 yang justru membuat mereka tersudut. "Kami ingini masyarakat tidak memberi stigma negatif. Jangan dijauhi. Bila mereka dinyatakan sembuh, berarti itu memang sembuh," ujar psikolog Unika Soegijapranata Semarang ini.
Sementara itu, Kepala Kantor UNICEF Perwakilan Jawa-Bali Arie Rukmantara menyebutkan bahwa di Indonesia ada 80 juta anak, 10 juta di antaranya berada Jawa Tengah.
"Seluruh anak di Jateng harus menjadi teladan, termasuk juga keluarga mereka juga harus menjadi teladan dengan memastikan keluarga mereka tetap sehat selama pandemi COVID-19. Dan itu harus diwariskan," kata Arie.
Arie menegaskan bahwa WHO dan UNICEF selalu berperang melawan pandemi. Saat ini melawan wabah COVID-19. (Baca juga: DKPP Sidangkan 5 Anggota Bawaslu Sragen)
"Dalam satu hingga dua tahun ini kita harus membiasakan diri melakukan tiga M. Mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Perilaku itu harus menjadi kebiasaan dan diwariskan," terangnya. (Baca juga: Masa Pandemi, Ini Cara Advokat Adaptasi Tangani Perkara)
Ia mengutarakan pada 20 tahun ke depan, semua akan sudah terbiasa mengenakan masker dan mencuci tangan. Dengan mencuci tangan bisa membunuh bakteri, mengenakan masker bisa mengurangi polutan.
"Menjaga jarak, antre dengan tertib; itu juga menjadi kebiasaan membuat perencanaan terlebih dahulu agar tidak terjadi kerumunan. Itu artinya pada tahun 2045 nanti kegiatan 3 M menjadi kunci sambutan dari 3 T (testing-tes spesimen, tracking-penelusuran- dan treatment-perawatan)," jelasnya.
(boy)