CHC Hidupkan Kembali Kopi Karst dari Kabupaten Maros
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Sebuah komunitas kopi bernama Celebes Heritage Coffee (CHC) kembali memperkenalkan jenis kopi yang tumbuh di sela-sela pegunungan karst Leang-leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.
Menurut literatur yang dibaca oleh founder CHC, Syaiful, pada tahun 1858, tanaman kopi yang ada di kawasan karst Maros sudah lebih dulu dibudidayakan oleh seorang pedagang berkebangsaan Belanda , yang dikenal dengan nama Jacob David Mathijs Mesman.
“Dari sejarahnya, tanaman kopi karst ini telah dibudidayakan oleh seorang Belanda, Jacob Mesman tahun 1858 dan ini dituliskan dalam buku Reisen in Celebes karya Alfred Russel Wallace. Makanya ini kami sangat tertarik,” ujar Syaiful.
Kopi karst ini kemudian dikembangkan oleh VOC di tahun 1920an. Bahkan kala itu, kopi ini menjadi komuditas yang bersaing dengan jenis kopi lain yang terkenal di Sulawesi Selatan, seperti Toraja dan Enrekang.
“Nah sampai pada tahun 1990-an, masyarakat di sini sudah mulai berhenti. Tanaman kopi mereka perlahan tinggalkan, dan akhirnya terabaikan sehingga tidak ada yang tahu lagi kalau dulu kopi karst ini pernah berjaya,” terangnya.
Syaiful mengaku, pemberian nama kopi karst ini diberikan karena jenis tanaman kopi ini berada di antara gugusan karst, beda dari tanaman kopi lain. Pasalnya, tanaman kopi berjenis robusta ini, tumbuh di kaki gunung karst. Namun, kualitasnya tidak kalah dengan kopi lain yang sudah terkenal.
“Kopi karst ini memiliki banyak narasi yang menurut kami sangat luar biasa, karena menurut yang saya tahu, mungkin satu-satunya di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara . Kopi ini tumbuh di dataran rendah di sela karst, yang memang berfungsi sebagai penampung air. Jika diolah dengan baik, kopi ini kualitasnya bisa bersaing,” jelasnya.
Selama ini, tanaman kopi yang banyak ditemukan bertebaran di kaki gunung karst, sudah tidak lagi dirawat oleh warga. Karena petani lebih memilih mengurus kebun lain yang lebih menjanjikan. Sebab, harga kopi yang mereka olah sendiri itu, tidak bisa lagi bersaing dengan kualitas kopi dari tempat lain.
“Jadi kebun kopi mereka sudah terbengkalai lama sekali. Karena memang harganya sudah tidak menjanjikan lagi. Kami dari komunitas CHC lalu datang untuk memperkenalkan kembali potensi itu ke mereka dan sekarang sudah mulai lagi tertarik,” terangnya.
Selain mengajak warga untuk kembali mengurus tanaman kopi mereka, komunitas CHC juga membeli hasil panen kopi petani di Leang-leang dengan harga yang cukup tinggi, setelah itu mereka mengolahnya menjadi sebuah produk kopi pilhan yang kini cukup banyak diminati oleh penikmat kopi Tanah Air.
“Kami dari CHC ini yang membeli hasil panen mereka dalam bentuk green bean. Lalu kami olah dengan baik hingga menjadi sebuah produk yang saat ini cukup bersaing dengan kopi lain dari Sulsel. Yah selain rasa, narasi kopi karst ini memang menjadi daya tarik tersendiri,” katanya.
Upaya memperkenalkan kembali kopi karst ini sudah dilakukan oleh CHC sejak tahun 2018. Sejauh inipun, para petani kopi sudah mulai menggeliat untuk merawat tanaman kopi mereka yang telah lama ditinggalkan.
Bahkan, CHC juga tengah mempersiapkan bibit tanaman kopi untuk bisa ditanam oleh para petani di wilayah itu.
Sementara itu, salah petani kopi karst, Alimuddin mengatakan, bahwa ia bersyukur karena ada yang ingin membeli kopi di daerahnyadengan harga yang cukup tinggi.
“Dulu tidak ada yang mau urus kopi karena harganya murah sekali, sekarang kami bersyukur karena ada orang yang mau mengembangkannya lagi, dan membeli hasil panen kami dengan harga tinggi,” ucapnya
Petani berharap, agar brand kopi karst yang saat ini tengah digagas oleh komunitas CHC, bisa semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia hingga mancanegara karena keunikannya.
"Semoga nantinya kopi ini bisa bersaing di luar Maros, sehingga bisa memberikan tambahan pendapatan bagi warga yang selama ini hanya mengandalkan pertanian padi dan palawija," tutup Alimuddin.
Menurut literatur yang dibaca oleh founder CHC, Syaiful, pada tahun 1858, tanaman kopi yang ada di kawasan karst Maros sudah lebih dulu dibudidayakan oleh seorang pedagang berkebangsaan Belanda , yang dikenal dengan nama Jacob David Mathijs Mesman.
“Dari sejarahnya, tanaman kopi karst ini telah dibudidayakan oleh seorang Belanda, Jacob Mesman tahun 1858 dan ini dituliskan dalam buku Reisen in Celebes karya Alfred Russel Wallace. Makanya ini kami sangat tertarik,” ujar Syaiful.
Kopi karst ini kemudian dikembangkan oleh VOC di tahun 1920an. Bahkan kala itu, kopi ini menjadi komuditas yang bersaing dengan jenis kopi lain yang terkenal di Sulawesi Selatan, seperti Toraja dan Enrekang.
“Nah sampai pada tahun 1990-an, masyarakat di sini sudah mulai berhenti. Tanaman kopi mereka perlahan tinggalkan, dan akhirnya terabaikan sehingga tidak ada yang tahu lagi kalau dulu kopi karst ini pernah berjaya,” terangnya.
Syaiful mengaku, pemberian nama kopi karst ini diberikan karena jenis tanaman kopi ini berada di antara gugusan karst, beda dari tanaman kopi lain. Pasalnya, tanaman kopi berjenis robusta ini, tumbuh di kaki gunung karst. Namun, kualitasnya tidak kalah dengan kopi lain yang sudah terkenal.
“Kopi karst ini memiliki banyak narasi yang menurut kami sangat luar biasa, karena menurut yang saya tahu, mungkin satu-satunya di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara . Kopi ini tumbuh di dataran rendah di sela karst, yang memang berfungsi sebagai penampung air. Jika diolah dengan baik, kopi ini kualitasnya bisa bersaing,” jelasnya.
Selama ini, tanaman kopi yang banyak ditemukan bertebaran di kaki gunung karst, sudah tidak lagi dirawat oleh warga. Karena petani lebih memilih mengurus kebun lain yang lebih menjanjikan. Sebab, harga kopi yang mereka olah sendiri itu, tidak bisa lagi bersaing dengan kualitas kopi dari tempat lain.
“Jadi kebun kopi mereka sudah terbengkalai lama sekali. Karena memang harganya sudah tidak menjanjikan lagi. Kami dari komunitas CHC lalu datang untuk memperkenalkan kembali potensi itu ke mereka dan sekarang sudah mulai lagi tertarik,” terangnya.
Selain mengajak warga untuk kembali mengurus tanaman kopi mereka, komunitas CHC juga membeli hasil panen kopi petani di Leang-leang dengan harga yang cukup tinggi, setelah itu mereka mengolahnya menjadi sebuah produk kopi pilhan yang kini cukup banyak diminati oleh penikmat kopi Tanah Air.
“Kami dari CHC ini yang membeli hasil panen mereka dalam bentuk green bean. Lalu kami olah dengan baik hingga menjadi sebuah produk yang saat ini cukup bersaing dengan kopi lain dari Sulsel. Yah selain rasa, narasi kopi karst ini memang menjadi daya tarik tersendiri,” katanya.
Upaya memperkenalkan kembali kopi karst ini sudah dilakukan oleh CHC sejak tahun 2018. Sejauh inipun, para petani kopi sudah mulai menggeliat untuk merawat tanaman kopi mereka yang telah lama ditinggalkan.
Bahkan, CHC juga tengah mempersiapkan bibit tanaman kopi untuk bisa ditanam oleh para petani di wilayah itu.
Sementara itu, salah petani kopi karst, Alimuddin mengatakan, bahwa ia bersyukur karena ada yang ingin membeli kopi di daerahnyadengan harga yang cukup tinggi.
“Dulu tidak ada yang mau urus kopi karena harganya murah sekali, sekarang kami bersyukur karena ada orang yang mau mengembangkannya lagi, dan membeli hasil panen kami dengan harga tinggi,” ucapnya
Petani berharap, agar brand kopi karst yang saat ini tengah digagas oleh komunitas CHC, bisa semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia hingga mancanegara karena keunikannya.
"Semoga nantinya kopi ini bisa bersaing di luar Maros, sehingga bisa memberikan tambahan pendapatan bagi warga yang selama ini hanya mengandalkan pertanian padi dan palawija," tutup Alimuddin.
(luq)