Mabar Milenial Terselip Gerakan Radikal

Senin, 14 September 2020 - 13:05 WIB
loading...
Mabar Milenial Terselip...
Generasi milenial yang akrab dengan teknologi serta menyukai game online menjadi sasaran empuk gerakan radikal. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Gerakan radikal menolak surut di tengah pandemi COVID-19 . Lewat ruang digital, mereka menyisipkan benih-benih yang ditanam pada anak-anak untuk bisa dipetik hasilnya. Operasinya lebih rapi, senyap dan memakai cara milenial untuk menebar jala.

(Baca juga: Surabaya Kembali Terapkan Rapid Test dan Swab Bagi Pendatang )

Pandemi COVID-19 juga menjadi momentum bagi mereka, di saat fokus semua pihak tertuju pada penanganan virus. Di sisi lain, ruang digital menjadi muara bagi mereka ketika melihat durasi anak-anak semakin lama dengan ponselnya yang dipakai untuk belajar dan bermain game online.

Senja belum benar-benar pergi ketika Septian Dwi Ariyanto (18) memasang earphone gaming warna hitam berukuran raksasa di kedua telinganya. Senyumnya terbuka lebar dan gerakan tangannya lincah ketika menekan berbagai tombol di keyboard untuk segera membuka permainan Mobile Legends .

Ruangan yang ditempatinya cukup sejuk, dua air conditioner (AC) yang terus menyembur bertabrakan di berbagai sisi ruangan. Beberapa teriakan mengema, sumpah serapah yang memenuhi isi ruangan berukuran 8x10 meter di ujung jalan utama menuju kawasan Gayung Kebonsari, Surabaya .

Septian sudah mendekatkan kepalanya ke layar monitor berukuran 15 inchi yang terlihat besar dari kejauhan. Dua botol air mineral menemaninya tepat di atas meja yang menopang tas kecil berwarna merah. Topi hitam miliknya pun parkir dengan indah.

Ia tak mau terburu-buru untuk memulai permainan, matanya masih begitu penasaran untuk memeriksa persenjataan dan teman yang akan diajak bergabung. Baginya, kehadiran teman yang akan diajak main bareng atau mabar menjadi faktor paling penting di Mobile Legends . Pasalnya, bermain solo sangat berisiko untuk binasa dan kehilangan berbagai poin penting dalam game online.

Segera ia membuka kolom public chat dan melihat add friend yang sudah disajikan. Beberapa kali ia menekan tombol klik untuk mengirimkan permintaan pertemanan. Tak menunggu lama, teman baru pun berdatangan dengan beragam profil.

Pertemanan secara acak itu membuka celah bagi dirinya untuk bertemu dengan semua pegiat game online di nusantara dan dari luar negeri. Beragam teman pernah dijumpai dengan ragam dan keseruan yang berbeda-beda.

Septian pernah bercerita, pada satu malam ia pernah mabar dengan empat orang. Dalam keseruan bermain game itu, percakapan-percakapan keluar. Mulai dari senjata, langkah sembunyi sampai strategi pertempuran yang dipakai.

"Lha, di sela-sela mabar itu pernah ada yang berucap kalimat-kalimat jihad dan tak suka pada negara," katanya, Senin (14/9/2020). (Baca juga: Risma Minta Jembatan Joyoboyo Bisa Kelar November, Ada Apa? )

Waktu itu ia tak begitu menaruh curiga. Karena ketika mabar suasana begitu gayeng dan terbawa emosi. "Fokusnya ya di permainan, tapi beragam percakapan keluar," ungkapnya.

Ia pun baru menyadari kalimat-kalimat itu setelah selesai bermain. Kata-kata yang disampaikan provokatif . Saat bermain terkadang lupa dan menjadi ikut terbawa suasana. Terkadang dirinya tertawa, kadang juga mendendam karena kalah.

"Awalnya sih nggak pernah curiga. Tapi kalau dicermati akan terlihat dengan kebiasaanya. Cuma sekarang lebih berhati-hati saja kalau pilih teman mabar," sambungnya.

Septian tak pernah menaruh curiga, akun yang dipilih pun tak ada yang mencurigakan dari namanya. Waktu yang dipilih untuk mabar juga acak, tapi paling sering malam hari sampai Subuh menjelang.

"Ketika awal masuk masih normal saja, semua yang dibicarakan adalah permainan. Di tengah percakapan, terutama ketika bertarung kadang emosi kita diaduk. Ada kata-kata yang tak biasa seperti ajakan jihad ," ungkapnya.

Eks napiter yang juga penulis Buku Internetistan Arif Budi Setiawan menjelaskan, berbagai cara dilakukan kelompok radikal untuk membangun narasi yang tujuannya mempengaruhi masyarakat. Pola yang dipakai beragam serta sistemik.

Mereka juga masuk ke ruang-ruang digital untuk mempengaruhi dan menyebar ideologi . Kelompok radikal mencari cela yang bisa dilakukan untuk masuk ke kemunitas atau individu yang bisa dipengaruhi. Apalagi masa pandemi saat ini yang intensitas seseorang dengan internet lebih panjang drasinya. "Setiap hari mereka membangun narasi dan menyebar ideologi itu lewat internet," katanya.

Berbagai tahapan, katanya, juga dilakukan untuk memecah belah sasaran. Mulai dari perang fisik serta narasi yang terus diproduksi. Semua disesuaikan dengan sasaran yang didampingi. Model narasi yang digunakan pun beragam, ada yang masuk propaganda ideologi , narasi kegelisahan, sampai pada narasi perlawan.

Pada tahapan game online saja, mereka akan melihat dan mempelajari terlebih dahulu. Biasanya diawali dengan narasi ringan biar tidak ada kecurigaan. Setelah berhasil, mereka melanjutkan dengan propaganda ideologi. "Dibuat kepikiran, setelah itu baru dibuatkan narasi perlawanan," imbuhnya.

Narasi-narasi perlawanan itu dibangun untuk memperkuat kembali jejaring mereka di berbagai daerah. Dimensi ruang digital tanpa batas memudahkan jejaring mereka untuk terus menambah sasaran. (Baca juga: 18 Anak Terjaring Operasi Konten Pornografi di Warkop )

Kasi Partisipasi Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Letkol Setyo Pranowo menuturkan, banyak cara yang dilakukan kelompok radikal untuk bisa melakukan rekrutmen baru di berbagai tempat. Salah satunya dengan masuk ke ruang-ruang yang disukai para milenial.

Kelompok radikal juga ikut bermain game online serta menyesuaikan diri dengan kebiasaan kelompok muda. Mereka juga menyasar kelompok muda yang rentan serta belum mengetahui secara pasti maksud dan tujuan hidup mereka. ”Sasaran empuk mereka adalah kelompok rentan dan mereka yang baru belajar agama,” jelasnya.

Kondisi itu, katanya, dimanfaatkan betul oleh kelompok radikal untuk menanamkan benih dari serangkaian aksi terorisme sebagai bagian dari agama. Makanya para remaja yang galau menjadi mangsa empuk bagi mereka. Sebab, pikiran dan fokusnya labil.

Dalam situasi ini, pihaknya berharap betul kelompok mileniel maupun generasi alpha lebih kritis. Mereka harus memperkaya literasi yang bisa menjadi benteng dari hasutan serta serangan ideologi radikal lewat ruang-ruang digital.

"Literasi harus kuat dan belajar agama yang benar tentunya. Ini bisa menjadi cara untuk mencegah mereka terpapar paham radikal," katanya.

Tiap tahun, kelompok radikal selalu tak lagi sama dengan sebelumnya. Mereka mengubah berbagai perwajahan, lebih muda dan klemis. Mereka juga lebih milenial dan kekinian dalam berbagai cara yang dilakukan.

Eks napiter tiga zaman Saifuddin Umar alias Abu Fida mengatakan, gerakan radikal saat ini menyasar banyak kelompok milenial yang dianggap potensial saat ini. Tren hijrah pun terus didengungkan untuk bisa membangun sebuah narasi bagi kelompok milenial supaya mau melirik serta ikut dalam nafas yang sama.

"Gerakan seperti ini memang paling mudah dilakukan lewat internet. Sasarannya banyak serta lebih leluasa dalam upaya agitasinya," jelasnya.

Selain itu, ada kecenderungan dari kelompok milenial yang membuka diri dengan upaya mereka yang mencari jati diri. Situasi ini menjadi peluang besar bagi kelompok radikal untuk memperluas jaringannya. Masuk ke sel-sel yang tak bisa diprediksi aparat kepolisian serta lebih mudah dalam menyembunyikan gerakan.

"Jadi jangan heran kalau sekarang penampilan kelompik radikal lebih mudah dan rapi," katanya. (Baca juga: Lama Bungkam, Risma Bicara Alasan Tolak Bangun Tol Tengah Kota )

Cara yang dipakai pun beragam. Mereka memahami dulu sasaran milenial yang akan dibidik. Memahami pola serta ikut larut dalam gegap gempita yang disukai kelompok milenial. “Ada banyak cela kalau di internet, termasuk game online yang mudah untuk dimasuki,” jelasnya.

Bagi orang tua, katanya, ada yang masih konvensional beranggapan kalau anaknya aman ketika bermain game online. Anaknya diangap bisa bersosialisasi serta berteman dengan cara yang berbeda, yakni lewat internet. Semakin banyak temannya, si buah hati dianggap semakin baik.

"Ini menjadi peluang bagi kelompok muda untuk diajak dan disisipi berbagai gerakan radikal," ucapnya.

Gerakan radikal juga melakukan pemetaan wilayah yang dijadikan sasaran. Butuh kesiapan dari semua pihak untuk bisa berkolaborasi dalam mempersempit gerakan mereka.

Wali Kota Surabaya , Tri Rismaharini menuturkan, perubahan pola gerakan radikal harus bisa dipetakan. Pihaknya masih teringat betul ketika bom Surabaya yang terjadi 2018 lalu masih menyisahkan luka yang dalam di benak warga Kota Pahlawan.

Banyak trauma yang tersisa, dari orang tua dan anak-anak yang sedang bertumbuh. Waktu itu, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Surabaya, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) serta tokoh agama untuk sama-sama menyelesaikan persoalan dengan penanganan cepat. Termasuk mengundang psikolog dan psikiater untuk melakukan trauma healing kepada anak-anak korban.

"Kita juga melakukan hal yang sama pada anak para pelaku yang masih hidup," ungkapnya. (Baca juga: Gerakan Pemuda Ka'bah Milenial Siap Menangkan Paslon MA-Mujiaman )

Risma pun menyadari ada sektor yang harus diselamatkan. Untuk anak para pelaku pengeboman juga didampingi oleh psikolog dari berbagai kampus. Semua ini dilakukan selain untuk menghilangkan rasa traumanya mereka juga dapat dilakukan deradikalisasi. "Selain dilakukan healing traumanya, juga di deradikalisasi sudut pandangnya. Makanya kami libatkan," katanya.

Saat ini, di tengah pandemi COVID-19 tak boleh luput untuk meletakan pondasi yang kuat bagi anak-anak untuk menghindari gerakan radikal. Dalam situasi yang ada saat ini, pihaknya memaksimalkan betul peran Ibu Pemantau Jentik (Bu Mantik) ikut dalam upaya penanganan kasus terorisme.

Pihaknya ingin menggerakkan seluruh sumber daya yang ada untuk turun langsung. Memastikan di semua kampung dan berbagai wilayah aman, termasuk anak-anak. "Apalagi jumlahnya sangat banyak yakni 22 ribu. Selain itu Bu Mantik adalah orang yang punya hubungan baik dengan warga yang bisa masuk-masuk ke rumah," jelasnya.

Beragam cara bisa dilakuan untuk mencegah sejak dini gerakan radikal. Peran dari semua pihak untuk lebih waspada dan memastikan anak-anaknya aman selama pandemi COVID-19 . Sekaligus memastikan mereka tak tergerus narasi radikal yang dikirim lewat ruang digital tanpa batasan tepi.
(eyt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2147 seconds (0.1#10.140)