Pengaruh Candu Merasuki Pasukan Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa
loading...

Di masa Pangeran Diponegoro, morfin atau sejenis candu yang merupakan bagian dari narkotika pernah menjadi komoditas menggiurkan. Bahkan, konon ada laporan pasukan Pangeran Diponegoro dirasuki candu saat Perang Jawa agar tidak sakit. Foto: Ist
A
A
A
DI masa Pangeran Diponegoro , morfin atau sejenis candu yang merupakan bagian dari narkotika pernah menjadi komoditas menggiurkan. Candu diperjualbelikan dan dikonsumsi secara legal oleh setiap orang.
Bahkan, konon ada laporan pasukan Pangeran Diponegoro dirasuki candu saat Perang Jawa agar tidak sakit.
Opium atau kerap disebut buah candu merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter dan merupakan tanaman dari luar negeri yang kebanyakan saat itu dari Asia Selatan.
Semasa Pangeran Diponegoro impor candu dengan mudahnya diimpor dari Benggala. Hal ini seiring pencabutan blokade Inggris atas Jawa pada Agustus-September 1811 dan tekanan ekonomi pada pemerintahan Raffles untuk menaikkan pendapatan menjadi persoalan utamanya.
Etnis Tionghoa lantas dengan cepat memainkan peran menonjol yang menyedihkan sekali dengan menjadi pengecer candu sekaligus penjaga gerbang cukai.
Bahkan, Peter Carey pada bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855" mengisahkan bagaimana candu narkotika menjadi pendapatan menggiurkan di Yogyakarta.
Hal ini terjadi sekitar tahun 1814-1824 di mana pendapatan dari ladang candu di Yogya naik lima kali lipat. Pada 1820 terdapat 372 tempat terpisah yang mendapat izin sebagai tempat menjual candu secara eceran di wilayah kekuasaan Sultan Yogya. Tempat-tempat itu sebagian besar gerbang cukai besar, kecil, dan pasar.
Berdasarkan data dari wanita pejabat Belanda, tingkat konsumsi candu pada akhir abad ke-19 diperkirakan 16 persen atau lebih dari 3 juta dari 20 juta penduduk Jawa saat itu yang mengonsumsi candu.
Berbagai jenis candu bahkan juga dikonsumsi kaum pribumi secara masif. Tak hanya si kaya saja, pribumi miskin turut mengisap rokok yang diolesi candu dan mereka yang memamah sirih pinang pun ikut dicampur candu.
Jika itu ikut dihitung barangkali data dari penguasa Belanda pengguna narkotika hampir dapat dipastikan lebih banyak dari 3 juta orang.
Banyak orang menganggap candu menawarkan satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup yang begitu keras dan menguras tenaga. Di Pacitan, setelah Perang Jawa sebuah pesta besar keagamaan digelar untuk merayakan berakhirnya panen kopi. Uang pembayaran panen yang diterima langsung dipakai untuk mengonsumsi candu.
Selama Perang Jawa, ada laporan yang mengatakan banyak tentara Diponegoro yang jatuh sakit karena tidak dapat candu. Para pengecer candu dari etnis Tionghoa meraup untung dengan berdagang di belakang garis pertahanan Pangeran Diponegoro ketika sentimen anti-Tionghoa yang keras di bulan-bulan awal pemberontakan mulai berangsur mereda.
Bagi si kaya, candu adalah pengisi waktu luang, namun ketagihan candu adalah bencana bagi si miskin. Jika timbul sedikit saja keinginan untuk mengisap candu, hal itu menjungkirbalikkan hidup seorang petani Jawa baik-baik menjadi pelaku tindak kriminal.
Selama Perang Jawa, Gubernur Jenderal Belanda Nahuys Van Burgst menghendaki agar buruh tani tak berlahan dan para gelandangan ditangkap saja. Mereka dengan bahu kurus dan tangannya halus bertanda tidak pernah kerja mencangkul, kemudian mata dan bibir serta warna kulitnya menyingkapkan kebiasaan mereka mengonsumsi candu.
Bahkan, konon ada laporan pasukan Pangeran Diponegoro dirasuki candu saat Perang Jawa agar tidak sakit.
Opium atau kerap disebut buah candu merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter dan merupakan tanaman dari luar negeri yang kebanyakan saat itu dari Asia Selatan.
Semasa Pangeran Diponegoro impor candu dengan mudahnya diimpor dari Benggala. Hal ini seiring pencabutan blokade Inggris atas Jawa pada Agustus-September 1811 dan tekanan ekonomi pada pemerintahan Raffles untuk menaikkan pendapatan menjadi persoalan utamanya.
Etnis Tionghoa lantas dengan cepat memainkan peran menonjol yang menyedihkan sekali dengan menjadi pengecer candu sekaligus penjaga gerbang cukai.
Bahkan, Peter Carey pada bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855" mengisahkan bagaimana candu narkotika menjadi pendapatan menggiurkan di Yogyakarta.
Hal ini terjadi sekitar tahun 1814-1824 di mana pendapatan dari ladang candu di Yogya naik lima kali lipat. Pada 1820 terdapat 372 tempat terpisah yang mendapat izin sebagai tempat menjual candu secara eceran di wilayah kekuasaan Sultan Yogya. Tempat-tempat itu sebagian besar gerbang cukai besar, kecil, dan pasar.
Berdasarkan data dari wanita pejabat Belanda, tingkat konsumsi candu pada akhir abad ke-19 diperkirakan 16 persen atau lebih dari 3 juta dari 20 juta penduduk Jawa saat itu yang mengonsumsi candu.
Berbagai jenis candu bahkan juga dikonsumsi kaum pribumi secara masif. Tak hanya si kaya saja, pribumi miskin turut mengisap rokok yang diolesi candu dan mereka yang memamah sirih pinang pun ikut dicampur candu.
Jika itu ikut dihitung barangkali data dari penguasa Belanda pengguna narkotika hampir dapat dipastikan lebih banyak dari 3 juta orang.
Banyak orang menganggap candu menawarkan satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup yang begitu keras dan menguras tenaga. Di Pacitan, setelah Perang Jawa sebuah pesta besar keagamaan digelar untuk merayakan berakhirnya panen kopi. Uang pembayaran panen yang diterima langsung dipakai untuk mengonsumsi candu.
Selama Perang Jawa, ada laporan yang mengatakan banyak tentara Diponegoro yang jatuh sakit karena tidak dapat candu. Para pengecer candu dari etnis Tionghoa meraup untung dengan berdagang di belakang garis pertahanan Pangeran Diponegoro ketika sentimen anti-Tionghoa yang keras di bulan-bulan awal pemberontakan mulai berangsur mereda.
Bagi si kaya, candu adalah pengisi waktu luang, namun ketagihan candu adalah bencana bagi si miskin. Jika timbul sedikit saja keinginan untuk mengisap candu, hal itu menjungkirbalikkan hidup seorang petani Jawa baik-baik menjadi pelaku tindak kriminal.
Selama Perang Jawa, Gubernur Jenderal Belanda Nahuys Van Burgst menghendaki agar buruh tani tak berlahan dan para gelandangan ditangkap saja. Mereka dengan bahu kurus dan tangannya halus bertanda tidak pernah kerja mencangkul, kemudian mata dan bibir serta warna kulitnya menyingkapkan kebiasaan mereka mengonsumsi candu.
(jon)
Lihat Juga :