Kisah Duel Maut Ronggolawe dengan Kebo Anabrang Berakhir Tragis di Sungai Tambak Beras
loading...
A
A
A
"Marilah kita sabar dan tawakal, menerima apa adanya. Rupanya semua ini sudah takdir belaka.
Tentu baginda raja tak akan melupakan jasa-jasa dan darmabakti si Lawe," kata Banyak Wide seperti dikisahkan Serat Ranggalawe.
Keesokan harinya. Diiringi upacara, rombongan dari Kadipaten Tuban berangkat menuju Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Palandhongan dan Arya Adikara mengiringi kedua istri Ronggolawe yang ingin bertemu jenazah suaminya yang berada di Istana Majapahit.
Kuda Anyampiani, putra Ronggolawe yang masih berusia anak-anak, turut serta. Setiba di Majapahit, rombongan disambut langsung Raja Wijaya.
Di depan Banyak Wide, dengan wajah muram, Raja Wijaya menyatakan rasa duka yang mendalam. Meski akhirnya harus berperang, baginya Ronggolawe sudah seperti saudara.
"Agaknya sudah menjadi nasibku pula, memiliki saudara terkasih harus putus dan kehilangan sampai di sini," kata Raja Wijaya kepada Banyak Wide.
Jenazah Ronggolawe disemayamkan di tengah balairung yang luas. Selembar kain hijau menutupinya. Raja Wijaya mempersilahkan kedua istri Ronggolawe melihat jenazah suaminya.
"Semua telah menjalani takdirnya masing-masing. Rasanya dinda Ronggolawe tidaklah mati. Dia hanya pergi tanpa pamit padaku lebih dulu," kata Raja Wijaya seperti terkisah dalam Serat Ranggalawe.
Dengan hati remuk redam Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menciumi jasad Ronggolawe. Sebentar terdengar sedu sedan serta ratapan pilu. Begitu selesai berbela sungkawa dengan suara tersendat-sendat, kedua istri Ranggalawe melanjutkan rencana bela patinya. Masing-masing menghunus keris.
Dengan gerak cepat, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menusukkan keris ke dada masing-masing. Seketika itu ambruk. Jasad kedua perempuan setia itu tergeletak di bawah kaki jasad Ronggalawe, suaminya. Melalui sebuah upacara, Kerajaan Majapahit menyucikan jenazah Ronggalawe beserta kedua istrinya.
Tentu baginda raja tak akan melupakan jasa-jasa dan darmabakti si Lawe," kata Banyak Wide seperti dikisahkan Serat Ranggalawe.
Keesokan harinya. Diiringi upacara, rombongan dari Kadipaten Tuban berangkat menuju Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Palandhongan dan Arya Adikara mengiringi kedua istri Ronggolawe yang ingin bertemu jenazah suaminya yang berada di Istana Majapahit.
Kuda Anyampiani, putra Ronggolawe yang masih berusia anak-anak, turut serta. Setiba di Majapahit, rombongan disambut langsung Raja Wijaya.
Di depan Banyak Wide, dengan wajah muram, Raja Wijaya menyatakan rasa duka yang mendalam. Meski akhirnya harus berperang, baginya Ronggolawe sudah seperti saudara.
"Agaknya sudah menjadi nasibku pula, memiliki saudara terkasih harus putus dan kehilangan sampai di sini," kata Raja Wijaya kepada Banyak Wide.
Jenazah Ronggolawe disemayamkan di tengah balairung yang luas. Selembar kain hijau menutupinya. Raja Wijaya mempersilahkan kedua istri Ronggolawe melihat jenazah suaminya.
"Semua telah menjalani takdirnya masing-masing. Rasanya dinda Ronggolawe tidaklah mati. Dia hanya pergi tanpa pamit padaku lebih dulu," kata Raja Wijaya seperti terkisah dalam Serat Ranggalawe.
Dengan hati remuk redam Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menciumi jasad Ronggolawe. Sebentar terdengar sedu sedan serta ratapan pilu. Begitu selesai berbela sungkawa dengan suara tersendat-sendat, kedua istri Ranggalawe melanjutkan rencana bela patinya. Masing-masing menghunus keris.
Dengan gerak cepat, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menusukkan keris ke dada masing-masing. Seketika itu ambruk. Jasad kedua perempuan setia itu tergeletak di bawah kaki jasad Ronggalawe, suaminya. Melalui sebuah upacara, Kerajaan Majapahit menyucikan jenazah Ronggalawe beserta kedua istrinya.