Kisah Duel Maut Ronggolawe dengan Kebo Anabrang Berakhir Tragis di Sungai Tambak Beras
loading...

Kisah Ronggolawe yang setia kepada Raden Wijaya berakhir tragis tewas dalam duel dengan Kebo Anabrang di Sungai Tambak Beras. Foto sosok Ronggolawe karya pelukis Tuban, Prapto Dwi Utomo. Foto/Ist
A
A
A
RONGGOLAWE dan Kebo Anabrang, dua ksatria Kerajaan Majapahit berduel sengit habis-habisan di Sungai Tambak Beras, Jombang hingga berakhir tragis keduanya meninggal dunia. Darah mengalir deras di aliran sungai menandai berakhirnya pertarungan dua orang dekat Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Ronggolawe merupakan sosok yang setia kepada Raden Wijaya sejak melarikan diri dari Singasari yang hancur diserang Raja Jayakatwang, Bupati Gelanggelang pada 1292.
Kisah kesetiaan Ronggolawe dimulai saat bersama ayahnya, Arya Wiraraja yang saat itu menjabat Bupati Songenep atau Sumenep membantu Raden Wijaya yang melarikan diri dari kejaran pasukan Jayakatwang.
Hingga kemudian kembali lagi ke Pulau Jawa dan bernegosiasi dengan Jayakatwang yang kala itu sudah mendirikan Kerajaan Kadiri.
Selanjutnya Raden Wijaya membuka Hutan Tarik yang menjadi awal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Saat pasukan di bawah komando Raden Wijaya bekerja sama dengan pasukan Mongol menyerang Kerajaan Kadiri, Ronggolawe turut berada dalam pasukan tersebut.
Ronggolawe membawa kuda-kuda perang terbaik dari Sumbawa kepada Raja Majapahit Raden Wijaya untuk berperang melawan Kerajaan Kadiri. Sebanyak 27 kuda dibawa menyeberangi lautan dengan ombak yang ganas.
Ronggolawe dan pasukan Majapahit menggempur benteng timur Kerajaan Kadiri. Dalam pertempuran itu, Ronggolawe berhasil membunuh Sagara Winotan yang merupakan pemimpin benteng tersebut.
Dalam Kidung Ronggolawe, setelah Kediri runtuh Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan, Ronggolawe diangkat sebagai Bupati Tuban, yang merupakan pelabuhan utama di wilayah timur Pulau Jawa.
Namun, Ronggolawe tidak puas karena merasa seharusnya mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Ronggolawe semakin kesal setelah Nambi diangkat sebagai Rakryan Patih, jabatan paling tinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan di bawah raja.
Posisi Rakryan Patih seharusnya diserahkan kepada Lembu Sora, yang dinilai Ronggolawe jauh lebih berjasa daripada Nambi.
Lembu Sora, yang merupakan paman Ronggolawe ternyata tidak sepakat dengan sikap keras Ronggolawe. Lembu Sora kemudian menasihati Ronggolawe agar memohon maaf kepada Raja Majapahit Raden Wijaya.
Meski sudah dinasihati, Ronggolawe enggan minta maaf kepada Raden Wijaya dan memilih pulang ke Tuban.
Di Kidung Panji Wijayakrama, dan Kidung Ronggolawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ronggolawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya.
Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakartagama (2006), mengutip Kidung Ronggolawe, menuliskan bahwa peperangan dalam pemberontakan Ronggolawe terjadi di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang.
Atas perintah Raden Wijaya, Nambi ditemani Kebo Anabrang dan Lembu Sora memimpin pasukan Majapahit, menuju Tuban untuk menghukum Ronggolawe. Di Tuban, Ronggolawe yang mengetahui bahwa ada pasukan yang dikirim untuk menyerangnya, ia segera mempersiapkan diri.
Ronggolawe membawa pasukannya untuk menghadang rombongan Nambi di Sungai Tambak Beras. Terjadilah peperangan sengit. Ronggolawe berhasil menikam kuda yang ditunggangi Nambi, namun Nambi masih selamat.
Kebo Anabrang, panglima perang Majapahit mengambil-alih pimpinan perang pasukan Majapahit. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengepung pasukan Ronggolawe dari tiga penjuru arah mata angin, yakni dari timur, barat, dan utara. Taktik tersebut belum mampu mengungguli pasukan Ronggolawe.
Kebo Anabrang memacu kudanya namun dikejar oleh Ronggolawe. Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ronggolawe terjatuh dan tercebur ke Sungai Tambak Beras.
Melihat Ronggolawe jatuh di sungai, Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu.
Pertarungan satu lawan satu tak terelakan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang yang lebih piawai bertarung di derasnya arus sungai mampu mencekik leher Ronggolawe.
Ronggalawe akhirnya mengembuskan napas terakhir. Lembu Sora yang melihat kejadian itu tidak mampu mengendalikan diri. Lembu Sora memang berada di kubu Majapahit, tapi Ronggolawe adalah keponakan tercintanya.
Lembu Sora menikam Kebo Anabrang sampai mati. Kebo Anabrang dan Ronggolawe sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras, hingga terjadi banjir darah akibat duel dua ksatria tersebut.
Mendengar kabar Ronggolawe gugur di Sungai Tambak Beras, dua istri Ronggalawe, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga dilanda duka cita mendalam. Bahkan, akibat tak kuat menahan kepiluan, keduanya sampai pingsan.
Saat tersadar dari pingsan, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga langsung mengungkapkan niat untuk menempuh jalan Sati. Sati adalah tradisi bela pati untuk orang terkasih.
Ritual kematian dengan cara membakar diri, atau menusukkan keris pada tubuh sendiri. Bagi keduanya, bela pati sebagai bukti cinta sekaligus kesetiaan istri kepada suami.
Dalam Serat Ranggalawe karya R. Ranggawirawangsa, keinginan bela pati disampaikan kedua istri Ronggolawe di saat seluruh isi Kadipaten Tuban menangis. "Kedua putri itu segera memastikan diri untuk ikut bela pati, seiring dengan ajalnya sang suami," tulis R Ranggawirawangsa.
Kabar kematian Ronggolawe dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit di aliran Sungai Tambak Beras, membuat semua berduka.
Di Kabupaten Tuban, Arya Wiraraja atau Arya Adikara atau Banyak Wide, ayah Ronggolawe sontak terdiam sekaligus tertunduk lesu.
Arya Wiraraja ingat, Ronggolawe adalah satu-satunya putra yang di pundaknya ia menaruh harapan tinggi. Cita-cita dan kebesaran.
Adipati Ronggolawe layak menerima pengharapan itu. Sosok, kepandaian, keberanian sekaligus jiwa ksatria Raden Soreng (nama kecil Ronggolawe) disegani lawan maupun kawan.
Teringat jasa besar Ronggolawe yang ikut mendirikan Kerajaan Majapahit. Bersama Lembu Sora, dan Nambi serta para loyalis Raden Wijaya lain, Ronggolawe bertempur habis-habisan mengusir ratusan ribu prajurit Khubilai Khan.
Ronggolawe bersama Raden Wijaya juga berperang melawan pasukan Kediri. Di saat Raden Wijaya masih dikejar-kejar pengikut Jayakatwang, Adipati Sumenep, Banyak Wide juga yang menjadi pelindungnya.
Di Kadipaten Sumenep, menantu Raja Kertanegara itu bersembunyi. Atas saran Banyak Wide juga, Raden Wijaya memperoleh Hutan Tarik yang kelak berdiri Kerajaan Majapahit.
Banyak Wide hanya bisa tertegun dan merenung. Ronggolawe, putranya telah gugur secara tragis. Mati dengan cap sebagai pemberontak karena melawan Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang ia pernah ikut mendirikannya.
Sementara usai menyatakan tekad berbela pati menyusul suami (Ronggolawe), Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga, langsung meminta restu Ki Ageng Palandhongan, ayahnya. Kaki Ki Ageng Palandhongan dan istri, dicium sekaligus memohon pamit.
Melihat suasana duka yang berlarut-larut itu, Arya Adikara atau Banyak Wide, mencoba mencairkan suasana.
"Marilah kita sabar dan tawakal, menerima apa adanya. Rupanya semua ini sudah takdir belaka.
Tentu baginda raja tak akan melupakan jasa-jasa dan darmabakti si Lawe," kata Banyak Wide seperti dikisahkan Serat Ranggalawe.
Keesokan harinya. Diiringi upacara, rombongan dari Kadipaten Tuban berangkat menuju Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Palandhongan dan Arya Adikara mengiringi kedua istri Ronggolawe yang ingin bertemu jenazah suaminya yang berada di Istana Majapahit.
Kuda Anyampiani, putra Ronggolawe yang masih berusia anak-anak, turut serta. Setiba di Majapahit, rombongan disambut langsung Raja Wijaya.
Di depan Banyak Wide, dengan wajah muram, Raja Wijaya menyatakan rasa duka yang mendalam. Meski akhirnya harus berperang, baginya Ronggolawe sudah seperti saudara.
"Agaknya sudah menjadi nasibku pula, memiliki saudara terkasih harus putus dan kehilangan sampai di sini," kata Raja Wijaya kepada Banyak Wide.
Jenazah Ronggolawe disemayamkan di tengah balairung yang luas. Selembar kain hijau menutupinya. Raja Wijaya mempersilahkan kedua istri Ronggolawe melihat jenazah suaminya.
"Semua telah menjalani takdirnya masing-masing. Rasanya dinda Ronggolawe tidaklah mati. Dia hanya pergi tanpa pamit padaku lebih dulu," kata Raja Wijaya seperti terkisah dalam Serat Ranggalawe.
Dengan hati remuk redam Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menciumi jasad Ronggolawe. Sebentar terdengar sedu sedan serta ratapan pilu. Begitu selesai berbela sungkawa dengan suara tersendat-sendat, kedua istri Ranggalawe melanjutkan rencana bela patinya. Masing-masing menghunus keris.
Dengan gerak cepat, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menusukkan keris ke dada masing-masing. Seketika itu ambruk. Jasad kedua perempuan setia itu tergeletak di bawah kaki jasad Ronggalawe, suaminya. Melalui sebuah upacara, Kerajaan Majapahit menyucikan jenazah Ronggalawe beserta kedua istrinya.
Ketiga jenazah dibakar di sebuah pancaka, yang kemudian abunya dilarung ke samudera.
Lihat Juga: Lika-liku Cinta Sejati Jenderal Kopassus AM Hendropriyono, Taklukkan Hati dengan Topi hingga Jualan Es Mambo
Ronggolawe merupakan sosok yang setia kepada Raden Wijaya sejak melarikan diri dari Singasari yang hancur diserang Raja Jayakatwang, Bupati Gelanggelang pada 1292.
Kisah kesetiaan Ronggolawe dimulai saat bersama ayahnya, Arya Wiraraja yang saat itu menjabat Bupati Songenep atau Sumenep membantu Raden Wijaya yang melarikan diri dari kejaran pasukan Jayakatwang.
Hingga kemudian kembali lagi ke Pulau Jawa dan bernegosiasi dengan Jayakatwang yang kala itu sudah mendirikan Kerajaan Kadiri.
Selanjutnya Raden Wijaya membuka Hutan Tarik yang menjadi awal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Saat pasukan di bawah komando Raden Wijaya bekerja sama dengan pasukan Mongol menyerang Kerajaan Kadiri, Ronggolawe turut berada dalam pasukan tersebut.
Baca Juga
Ronggolawe membawa kuda-kuda perang terbaik dari Sumbawa kepada Raja Majapahit Raden Wijaya untuk berperang melawan Kerajaan Kadiri. Sebanyak 27 kuda dibawa menyeberangi lautan dengan ombak yang ganas.
Ronggolawe dan pasukan Majapahit menggempur benteng timur Kerajaan Kadiri. Dalam pertempuran itu, Ronggolawe berhasil membunuh Sagara Winotan yang merupakan pemimpin benteng tersebut.
Dalam Kidung Ronggolawe, setelah Kediri runtuh Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Atas jasa-jasanya dalam perjuangan, Ronggolawe diangkat sebagai Bupati Tuban, yang merupakan pelabuhan utama di wilayah timur Pulau Jawa.
Namun, Ronggolawe tidak puas karena merasa seharusnya mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Ronggolawe semakin kesal setelah Nambi diangkat sebagai Rakryan Patih, jabatan paling tinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan di bawah raja.
Posisi Rakryan Patih seharusnya diserahkan kepada Lembu Sora, yang dinilai Ronggolawe jauh lebih berjasa daripada Nambi.
Lembu Sora, yang merupakan paman Ronggolawe ternyata tidak sepakat dengan sikap keras Ronggolawe. Lembu Sora kemudian menasihati Ronggolawe agar memohon maaf kepada Raja Majapahit Raden Wijaya.
Meski sudah dinasihati, Ronggolawe enggan minta maaf kepada Raden Wijaya dan memilih pulang ke Tuban.
Di Kidung Panji Wijayakrama, dan Kidung Ronggolawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ronggolawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya.
Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakartagama (2006), mengutip Kidung Ronggolawe, menuliskan bahwa peperangan dalam pemberontakan Ronggolawe terjadi di sekitar Sungai Tambak Beras, Jombang.
Atas perintah Raden Wijaya, Nambi ditemani Kebo Anabrang dan Lembu Sora memimpin pasukan Majapahit, menuju Tuban untuk menghukum Ronggolawe. Di Tuban, Ronggolawe yang mengetahui bahwa ada pasukan yang dikirim untuk menyerangnya, ia segera mempersiapkan diri.
Ronggolawe membawa pasukannya untuk menghadang rombongan Nambi di Sungai Tambak Beras. Terjadilah peperangan sengit. Ronggolawe berhasil menikam kuda yang ditunggangi Nambi, namun Nambi masih selamat.
Kebo Anabrang, panglima perang Majapahit mengambil-alih pimpinan perang pasukan Majapahit. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengepung pasukan Ronggolawe dari tiga penjuru arah mata angin, yakni dari timur, barat, dan utara. Taktik tersebut belum mampu mengungguli pasukan Ronggolawe.
Kebo Anabrang memacu kudanya namun dikejar oleh Ronggolawe. Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ronggolawe terjatuh dan tercebur ke Sungai Tambak Beras.
Melihat Ronggolawe jatuh di sungai, Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu.
Pertarungan satu lawan satu tak terelakan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang yang lebih piawai bertarung di derasnya arus sungai mampu mencekik leher Ronggolawe.
Ronggalawe akhirnya mengembuskan napas terakhir. Lembu Sora yang melihat kejadian itu tidak mampu mengendalikan diri. Lembu Sora memang berada di kubu Majapahit, tapi Ronggolawe adalah keponakan tercintanya.
Lembu Sora menikam Kebo Anabrang sampai mati. Kebo Anabrang dan Ronggolawe sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras, hingga terjadi banjir darah akibat duel dua ksatria tersebut.
Mendengar kabar Ronggolawe gugur di Sungai Tambak Beras, dua istri Ronggalawe, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga dilanda duka cita mendalam. Bahkan, akibat tak kuat menahan kepiluan, keduanya sampai pingsan.
Saat tersadar dari pingsan, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga langsung mengungkapkan niat untuk menempuh jalan Sati. Sati adalah tradisi bela pati untuk orang terkasih.
Ritual kematian dengan cara membakar diri, atau menusukkan keris pada tubuh sendiri. Bagi keduanya, bela pati sebagai bukti cinta sekaligus kesetiaan istri kepada suami.
Dalam Serat Ranggalawe karya R. Ranggawirawangsa, keinginan bela pati disampaikan kedua istri Ronggolawe di saat seluruh isi Kadipaten Tuban menangis. "Kedua putri itu segera memastikan diri untuk ikut bela pati, seiring dengan ajalnya sang suami," tulis R Ranggawirawangsa.
Kabar kematian Ronggolawe dalam pertempuran melawan pasukan Majapahit di aliran Sungai Tambak Beras, membuat semua berduka.
Di Kabupaten Tuban, Arya Wiraraja atau Arya Adikara atau Banyak Wide, ayah Ronggolawe sontak terdiam sekaligus tertunduk lesu.
Arya Wiraraja ingat, Ronggolawe adalah satu-satunya putra yang di pundaknya ia menaruh harapan tinggi. Cita-cita dan kebesaran.
Adipati Ronggolawe layak menerima pengharapan itu. Sosok, kepandaian, keberanian sekaligus jiwa ksatria Raden Soreng (nama kecil Ronggolawe) disegani lawan maupun kawan.
Teringat jasa besar Ronggolawe yang ikut mendirikan Kerajaan Majapahit. Bersama Lembu Sora, dan Nambi serta para loyalis Raden Wijaya lain, Ronggolawe bertempur habis-habisan mengusir ratusan ribu prajurit Khubilai Khan.
Ronggolawe bersama Raden Wijaya juga berperang melawan pasukan Kediri. Di saat Raden Wijaya masih dikejar-kejar pengikut Jayakatwang, Adipati Sumenep, Banyak Wide juga yang menjadi pelindungnya.
Di Kadipaten Sumenep, menantu Raja Kertanegara itu bersembunyi. Atas saran Banyak Wide juga, Raden Wijaya memperoleh Hutan Tarik yang kelak berdiri Kerajaan Majapahit.
Banyak Wide hanya bisa tertegun dan merenung. Ronggolawe, putranya telah gugur secara tragis. Mati dengan cap sebagai pemberontak karena melawan Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang ia pernah ikut mendirikannya.
Sementara usai menyatakan tekad berbela pati menyusul suami (Ronggolawe), Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga, langsung meminta restu Ki Ageng Palandhongan, ayahnya. Kaki Ki Ageng Palandhongan dan istri, dicium sekaligus memohon pamit.
Melihat suasana duka yang berlarut-larut itu, Arya Adikara atau Banyak Wide, mencoba mencairkan suasana.
"Marilah kita sabar dan tawakal, menerima apa adanya. Rupanya semua ini sudah takdir belaka.
Tentu baginda raja tak akan melupakan jasa-jasa dan darmabakti si Lawe," kata Banyak Wide seperti dikisahkan Serat Ranggalawe.
Keesokan harinya. Diiringi upacara, rombongan dari Kadipaten Tuban berangkat menuju Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Palandhongan dan Arya Adikara mengiringi kedua istri Ronggolawe yang ingin bertemu jenazah suaminya yang berada di Istana Majapahit.
Kuda Anyampiani, putra Ronggolawe yang masih berusia anak-anak, turut serta. Setiba di Majapahit, rombongan disambut langsung Raja Wijaya.
Di depan Banyak Wide, dengan wajah muram, Raja Wijaya menyatakan rasa duka yang mendalam. Meski akhirnya harus berperang, baginya Ronggolawe sudah seperti saudara.
"Agaknya sudah menjadi nasibku pula, memiliki saudara terkasih harus putus dan kehilangan sampai di sini," kata Raja Wijaya kepada Banyak Wide.
Jenazah Ronggolawe disemayamkan di tengah balairung yang luas. Selembar kain hijau menutupinya. Raja Wijaya mempersilahkan kedua istri Ronggolawe melihat jenazah suaminya.
"Semua telah menjalani takdirnya masing-masing. Rasanya dinda Ronggolawe tidaklah mati. Dia hanya pergi tanpa pamit padaku lebih dulu," kata Raja Wijaya seperti terkisah dalam Serat Ranggalawe.
Dengan hati remuk redam Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menciumi jasad Ronggolawe. Sebentar terdengar sedu sedan serta ratapan pilu. Begitu selesai berbela sungkawa dengan suara tersendat-sendat, kedua istri Ranggalawe melanjutkan rencana bela patinya. Masing-masing menghunus keris.
Dengan gerak cepat, Nyi Tirtawati dan Nyi Mertaraga menusukkan keris ke dada masing-masing. Seketika itu ambruk. Jasad kedua perempuan setia itu tergeletak di bawah kaki jasad Ronggalawe, suaminya. Melalui sebuah upacara, Kerajaan Majapahit menyucikan jenazah Ronggalawe beserta kedua istrinya.
Ketiga jenazah dibakar di sebuah pancaka, yang kemudian abunya dilarung ke samudera.
Lihat Juga: Lika-liku Cinta Sejati Jenderal Kopassus AM Hendropriyono, Taklukkan Hati dengan Topi hingga Jualan Es Mambo
(shf)