Kisah Duel Maut Ronggolawe dengan Kebo Anabrang Berakhir Tragis di Sungai Tambak Beras
loading...
A
A
A
Kebo Anabrang, panglima perang Majapahit mengambil-alih pimpinan perang pasukan Majapahit. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengepung pasukan Ronggolawe dari tiga penjuru arah mata angin, yakni dari timur, barat, dan utara. Taktik tersebut belum mampu mengungguli pasukan Ronggolawe.
Kebo Anabrang memacu kudanya namun dikejar oleh Ronggolawe. Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ronggolawe terjatuh dan tercebur ke Sungai Tambak Beras.
Melihat Ronggolawe jatuh di sungai, Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu.
Pertarungan satu lawan satu tak terelakan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang yang lebih piawai bertarung di derasnya arus sungai mampu mencekik leher Ronggolawe.
Ronggalawe akhirnya mengembuskan napas terakhir. Lembu Sora yang melihat kejadian itu tidak mampu mengendalikan diri. Lembu Sora memang berada di kubu Majapahit, tapi Ronggolawe adalah keponakan tercintanya.
Lembu Sora menikam Kebo Anabrang sampai mati. Kebo Anabrang dan Ronggolawe sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras, hingga terjadi banjir darah akibat duel dua ksatria tersebut.
Mendengar kabar Ronggolawe gugur di Sungai Tambak Beras, dua istri Ronggalawe, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga dilanda duka cita mendalam. Bahkan, akibat tak kuat menahan kepiluan, keduanya sampai pingsan.
Saat tersadar dari pingsan, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga langsung mengungkapkan niat untuk menempuh jalan Sati. Sati adalah tradisi bela pati untuk orang terkasih.
Ritual kematian dengan cara membakar diri, atau menusukkan keris pada tubuh sendiri. Bagi keduanya, bela pati sebagai bukti cinta sekaligus kesetiaan istri kepada suami.
Dalam Serat Ranggalawe karya R. Ranggawirawangsa, keinginan bela pati disampaikan kedua istri Ronggolawe di saat seluruh isi Kadipaten Tuban menangis. "Kedua putri itu segera memastikan diri untuk ikut bela pati, seiring dengan ajalnya sang suami," tulis R Ranggawirawangsa.
Kebo Anabrang memacu kudanya namun dikejar oleh Ronggolawe. Namun, dalam pengejaran itu, kuda Ronggolawe terjatuh dan tercebur ke Sungai Tambak Beras.
Melihat Ronggolawe jatuh di sungai, Kebo Anabrang bergegas turun dari kudanya dan menghampiri lawannya itu.
Pertarungan satu lawan satu tak terelakan terjadi di Sungai Tambak Beras. Dalam suatu kesempatan, Kebo Anabrang yang lebih piawai bertarung di derasnya arus sungai mampu mencekik leher Ronggolawe.
Ronggalawe akhirnya mengembuskan napas terakhir. Lembu Sora yang melihat kejadian itu tidak mampu mengendalikan diri. Lembu Sora memang berada di kubu Majapahit, tapi Ronggolawe adalah keponakan tercintanya.
Lembu Sora menikam Kebo Anabrang sampai mati. Kebo Anabrang dan Ronggolawe sama-sama tewas di Sungai Tambak Beras, hingga terjadi banjir darah akibat duel dua ksatria tersebut.
Mendengar kabar Ronggolawe gugur di Sungai Tambak Beras, dua istri Ronggalawe, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga dilanda duka cita mendalam. Bahkan, akibat tak kuat menahan kepiluan, keduanya sampai pingsan.
Saat tersadar dari pingsan, Nyi Tirtawati, dan Nyi Mertaraga langsung mengungkapkan niat untuk menempuh jalan Sati. Sati adalah tradisi bela pati untuk orang terkasih.
Ritual kematian dengan cara membakar diri, atau menusukkan keris pada tubuh sendiri. Bagi keduanya, bela pati sebagai bukti cinta sekaligus kesetiaan istri kepada suami.
Dalam Serat Ranggalawe karya R. Ranggawirawangsa, keinginan bela pati disampaikan kedua istri Ronggolawe di saat seluruh isi Kadipaten Tuban menangis. "Kedua putri itu segera memastikan diri untuk ikut bela pati, seiring dengan ajalnya sang suami," tulis R Ranggawirawangsa.