Upaya Manggarai Barat Berantas Rabies, Ini Langkah Konkret yang Dilakukan
loading...
A
A
A
Terletak di bentang alam Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menakjubkan, Kabupaten Manggarai Barat menawarkan keindahan alam yang memukau. Terkenal dengan Labuan Bajo yang ikonik, wilayah ini menarik wisatawan dari seluruh dunia. Namun, di balik pemandangan yang indah ini terdapat tantangan yang signifikan—memerangi rabies di daerah dengan medan pegunungan yang terjal yang mengisolasi banyak desa, sehingga menyulitkan akses ke layanan penting.
Pada awal tahun 2024, urgensi situasi menjadi sangat jelas ketika dilaporkan 537 kasus gigitan hewan yang terinfeksi rabies yang berdampak pada manusia. Ancaman rabies mengancam masyarakat yang sangat dekat dengan hewan. Namun berkat pendekatan kolaboratif dan upaya yang sungguh-sungguh dari para pemimpin daerah dan mitra internasional, Manggarai Barat kini mampu membalikkan keadaan melawan penyakit mematikan ini.
Perjuangan Awal
Selama bertahun-tahun, penanganan rabies di Manggarai Barat berhadapan dengan berbagai kesulitan. Topografi wilayah yang bergunung-gunung membuat akses informasi penting dan layanan vaksinasi ke banyak masyarakat pedesaan menjadi hampir mustahil. Ursula Nijan, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid P2P), mengenang tantangan berat yang dihadapi timnya.
Kegiatan penyampaian KIE kepada warga setempat terkait penularan rabies menggunakan media lembar balik dan poster.
"Tantangan utama kami adalah mengatasi keterpencilan wilayah pegunungan, yang menyulitkan penyampaian informasi dan vaksinasi ke masyarakat pedesaan," jelas Ursula. Kesulitan yang dihadapi semakin bertambah dengan perlunya kesadaran masyarakat yang lebih besar tentang bahaya rabies dan pentingnya vaksinasi. Rabies adalah ancaman yang kurang dipahami di banyak daerah terpencil, dan sering kali dianggap sebagai masalah sepele.
Titik Balik: Peran Kolaborasi
Situasi berubah ketika Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) turun tangan. Menyadari perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan terpadu, AIHSP berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah Manggarai Barat untuk mengubah strategi pengendalian rabies di wilayah tersebut.
Melalui dukungan AIHSP, Manggarai Barat menyusun dan menerapkan Prosedur Operasional Standar (SOP) yang inklusif. Bagian penting dari proses ini adalah melakukan analisis Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) untuk memahami kerentanan khusus kelompok-kelompok terpinggirkan, termasuk perempuan, anak-anak, orang tua, dan penyandang disabilitas. Pendekatan One Health (OH) juga diperkenalkan untuk meningkatkan upaya ini.
"Dulu, dinas kesehatan dan dinas peternakan dianggap memiliki tanggung jawab terpisah dalam pengendalian rabies. Namun, setelah bekerja sama dengan AIHSP, kami menyadari bahwa ini adalah masalah bersama," kata Ursula. AIHSP memfasilitasi koordinasi antar pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, DPRD, dinas terkait, dan masyarakat. Pendekatan kolektif ini memastikan bahwa pengendalian rabies dipandang sebagai tanggung jawab bersama, bukan hanya beban segelintir orang.
Menjangkau yang Tak Terjangkau
Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah peningkatan sistem komunikasi untuk kesehatan hewan dan pencegahan penyakit. Dengan bimbingan AIHSP, Manggarai Barat mulai menyampaikan informasi menggunakan metode yang disesuaikan untuk kelompok yang berbeda, termasuk bahasa daerah dan media yang tepat. Upaya penjangkauan dilakukan di lokasi-lokasi strategis, seperti kantor desa dan sekolah, untuk memastikan bahwa pesan tentang vaksinasi dan pencegahan rabies menjangkau semua kelompok sasaran, bahkan di daerah yang paling terpencil.
"Sekarang kami menyampaikan informasi dengan cara yang dapat diakses oleh semua orang," kata Ursula. "Kemitraan ini telah membuat upaya pengendalian rabies kami lebih terkoordinasi dan efektif. Kemampuan kami untuk mengatasi tantangan dan menjangkau masyarakat yang sebelumnya terabaikan, sekarang sudah lebih baik."
Pada awal tahun 2024, urgensi situasi menjadi sangat jelas ketika dilaporkan 537 kasus gigitan hewan yang terinfeksi rabies yang berdampak pada manusia. Ancaman rabies mengancam masyarakat yang sangat dekat dengan hewan. Namun berkat pendekatan kolaboratif dan upaya yang sungguh-sungguh dari para pemimpin daerah dan mitra internasional, Manggarai Barat kini mampu membalikkan keadaan melawan penyakit mematikan ini.
Perjuangan Awal
Selama bertahun-tahun, penanganan rabies di Manggarai Barat berhadapan dengan berbagai kesulitan. Topografi wilayah yang bergunung-gunung membuat akses informasi penting dan layanan vaksinasi ke banyak masyarakat pedesaan menjadi hampir mustahil. Ursula Nijan, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid P2P), mengenang tantangan berat yang dihadapi timnya.
Kegiatan penyampaian KIE kepada warga setempat terkait penularan rabies menggunakan media lembar balik dan poster.
"Tantangan utama kami adalah mengatasi keterpencilan wilayah pegunungan, yang menyulitkan penyampaian informasi dan vaksinasi ke masyarakat pedesaan," jelas Ursula. Kesulitan yang dihadapi semakin bertambah dengan perlunya kesadaran masyarakat yang lebih besar tentang bahaya rabies dan pentingnya vaksinasi. Rabies adalah ancaman yang kurang dipahami di banyak daerah terpencil, dan sering kali dianggap sebagai masalah sepele.
Titik Balik: Peran Kolaborasi
Situasi berubah ketika Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) turun tangan. Menyadari perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan terpadu, AIHSP berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah Manggarai Barat untuk mengubah strategi pengendalian rabies di wilayah tersebut.
Melalui dukungan AIHSP, Manggarai Barat menyusun dan menerapkan Prosedur Operasional Standar (SOP) yang inklusif. Bagian penting dari proses ini adalah melakukan analisis Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) untuk memahami kerentanan khusus kelompok-kelompok terpinggirkan, termasuk perempuan, anak-anak, orang tua, dan penyandang disabilitas. Pendekatan One Health (OH) juga diperkenalkan untuk meningkatkan upaya ini.
"Dulu, dinas kesehatan dan dinas peternakan dianggap memiliki tanggung jawab terpisah dalam pengendalian rabies. Namun, setelah bekerja sama dengan AIHSP, kami menyadari bahwa ini adalah masalah bersama," kata Ursula. AIHSP memfasilitasi koordinasi antar pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, DPRD, dinas terkait, dan masyarakat. Pendekatan kolektif ini memastikan bahwa pengendalian rabies dipandang sebagai tanggung jawab bersama, bukan hanya beban segelintir orang.
Menjangkau yang Tak Terjangkau
Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah peningkatan sistem komunikasi untuk kesehatan hewan dan pencegahan penyakit. Dengan bimbingan AIHSP, Manggarai Barat mulai menyampaikan informasi menggunakan metode yang disesuaikan untuk kelompok yang berbeda, termasuk bahasa daerah dan media yang tepat. Upaya penjangkauan dilakukan di lokasi-lokasi strategis, seperti kantor desa dan sekolah, untuk memastikan bahwa pesan tentang vaksinasi dan pencegahan rabies menjangkau semua kelompok sasaran, bahkan di daerah yang paling terpencil.
"Sekarang kami menyampaikan informasi dengan cara yang dapat diakses oleh semua orang," kata Ursula. "Kemitraan ini telah membuat upaya pengendalian rabies kami lebih terkoordinasi dan efektif. Kemampuan kami untuk mengatasi tantangan dan menjangkau masyarakat yang sebelumnya terabaikan, sekarang sudah lebih baik."