Kisah Keke Panagian: Legenda dari Minahasa Sulawesi Utara
loading...
A
A
A
Pada hari pesta, suasana desa sangat meriah. Panagian hanya bisa mendengar keramaian dari balik jendela kamarnya. Ketika malam tiba, Panagian berdandan dengan baju terbaiknya dan memohon izin kepada orang tuanya sekali lagi. Namun, Pontohroring dan Mamalauan tetap tidak mengizinkannya. Panagian merasa sangat kecewa dan sedih.
Tetiba, sebuah cahaya memasuki kamarnya dan membentuk jalan menuju tanah lapang tempat pesta berlangsung. Panagian mengikuti cahaya itu dan tiba di tengah keramaian pesta. Semua orang terkesima melihatnya, dan ketika tarian Maengket dimulai, Panagian menari dengan begitu lihai meski itu adalah kali pertama ia menari Maengket.
Setelah berpesta hingga fajar, Panagian pulang dengan terburu-buru. Orang tuanya sangat marah dan kecewa karena Panagian melanggar perintah mereka. Panagian memohon maaf, tetapi Pontohroring dan Mamalauan mengusirnya. Panagian pergi dalam kesedihan dan mencoba mencari perlindungan di rumah bibinya. Namun, bibinya menyarankan Panagian untuk kembali ke rumahnya dan tidur di kolong rumah. Panagian merasa sangat hancur karena tak ada yang bisa melindunginya.
Panagian kembali ke tanah lapang dan menangis di bawah batu tumotowa. Dalam kesedihannya, sebuah cahaya dari langit muncul membentuk tangga. Cahaya itu memanggil Panagian untuk pulang. Meski keluarga dan teman-temannya memohon agar ia turun, Panagian terus menaiki tangga cahaya itu dan menyampaikan salam perpisahan.
Panagian akhirnya menghilang ke langit yang bertabur bintang. Sejak itu, penduduk desa Wanua Uner percaya bahwa setiap kali bulan purnama, Panagian menikmati pesta pengucapan syukur melalui sinar bulan.
Kisah Keke Panagian mengajarkan masyarakat tentang pentingnya komunikasi yang bijak antara orang tua dan anak. Memaksakan kehendak hanya akan menjauhkan hubungan antara keduanya. Selain itu, kesalahan tidak berarti bahwa seseorang tidak layak untuk dimaafkan.
Memaafkan dan memberi kesempatan baru adalah langkah untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dan hati yang lebih tenang. Penyesalan selalu datang terlambat, maka dari itu, kita harus selalu mendengarkan kata hati dan berusaha memberi maaf selama masih mampu.
Lihat Juga: Kisah Bisikan Raden Wijaya ke Tentara Mongol untuk Berkoalisi Menyerang Jayakatwang di Kediri
Tetiba, sebuah cahaya memasuki kamarnya dan membentuk jalan menuju tanah lapang tempat pesta berlangsung. Panagian mengikuti cahaya itu dan tiba di tengah keramaian pesta. Semua orang terkesima melihatnya, dan ketika tarian Maengket dimulai, Panagian menari dengan begitu lihai meski itu adalah kali pertama ia menari Maengket.
Setelah berpesta hingga fajar, Panagian pulang dengan terburu-buru. Orang tuanya sangat marah dan kecewa karena Panagian melanggar perintah mereka. Panagian memohon maaf, tetapi Pontohroring dan Mamalauan mengusirnya. Panagian pergi dalam kesedihan dan mencoba mencari perlindungan di rumah bibinya. Namun, bibinya menyarankan Panagian untuk kembali ke rumahnya dan tidur di kolong rumah. Panagian merasa sangat hancur karena tak ada yang bisa melindunginya.
Panagian kembali ke tanah lapang dan menangis di bawah batu tumotowa. Dalam kesedihannya, sebuah cahaya dari langit muncul membentuk tangga. Cahaya itu memanggil Panagian untuk pulang. Meski keluarga dan teman-temannya memohon agar ia turun, Panagian terus menaiki tangga cahaya itu dan menyampaikan salam perpisahan.
Panagian akhirnya menghilang ke langit yang bertabur bintang. Sejak itu, penduduk desa Wanua Uner percaya bahwa setiap kali bulan purnama, Panagian menikmati pesta pengucapan syukur melalui sinar bulan.
Kisah Keke Panagian mengajarkan masyarakat tentang pentingnya komunikasi yang bijak antara orang tua dan anak. Memaksakan kehendak hanya akan menjauhkan hubungan antara keduanya. Selain itu, kesalahan tidak berarti bahwa seseorang tidak layak untuk dimaafkan.
Memaafkan dan memberi kesempatan baru adalah langkah untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dan hati yang lebih tenang. Penyesalan selalu datang terlambat, maka dari itu, kita harus selalu mendengarkan kata hati dan berusaha memberi maaf selama masih mampu.
Lihat Juga: Kisah Bisikan Raden Wijaya ke Tentara Mongol untuk Berkoalisi Menyerang Jayakatwang di Kediri
(hri)