Dosen FH UGM Sri Wiyanti Eddyono Soroti Turunnya Demokrasi Indonesia
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sri Wiyanti Eddyono menyoroti menurunnya demokrasi Indonesia dengan banyaknya kecurangan-kecurangan dalam proses pemilu yang justru dilakukan oleh lembaga keadilan.
Menurutnya, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai dua pilar lembaga keadilan cenderung digunakan untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan.
Eddyono menganggap lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dengan merubah ketentuan batas usia sebagai contoh paling nyata kecurangan kekuasaan.
"Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai dua pilar keadilan paling akhir cenderung tidak immune dengan kekuasaan dan kepentingan politik dan karenanya digunakan untuk legitimasi kepentingan kekuasaan, contoh yang paling jelas sudah di depan mata kita dalam penentuan usia calon wakil presiden," katanya saat membacakan orasi dalam peringatan Hari Kartini di Balairung, UGM, Minggu (21/04/2024).
Sebagai dosen Hukum, Eddyono turut mengevaluasi penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Menurutnya, di era reformasi sekarang ini tidak serta-merta menghilangkan permasalahan-permasalahan penegakan hukum yang cenderung meminggirkan pihak yang lemah. Lebih-lebih sekarang ini praktik hukum yang korup dianggap sebagai hal normal.
"Apa yang terjadi dalam perdebatan Pemilu 2024 contoh yang sangat transparan terhadap bagaimana hukum digunakan secara sistematis dan menggunakan insitusi demokrasi (DPR) dalam pengesahan bansos yang digulirkan secara massif selama Pemilu. Contoh legitimasi hukum oleh kekuasaan karena dana bansos tersebut seolah-olah sah dan legitimated," paparnya.
Dengan praktik kekuasaan yang dijalankan dengan penuh problematika ini menurutnya akan berimplikasi besar terhadap penyelenggaraan kekuasaan kenegaraan yang tidak bertumpu pada kemaslahatan dan kesentosaan rakyat banyak.
Ia berharap masih memiliki nalar bagi para hakim di MK untuk meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal dalam proses sengketa Pemilu yang hasilnya akan dibacakan pada Senin (22/4/2024) besok.
Menurutnya, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai dua pilar lembaga keadilan cenderung digunakan untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan.
Baca Juga
Eddyono menganggap lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dengan merubah ketentuan batas usia sebagai contoh paling nyata kecurangan kekuasaan.
"Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai dua pilar keadilan paling akhir cenderung tidak immune dengan kekuasaan dan kepentingan politik dan karenanya digunakan untuk legitimasi kepentingan kekuasaan, contoh yang paling jelas sudah di depan mata kita dalam penentuan usia calon wakil presiden," katanya saat membacakan orasi dalam peringatan Hari Kartini di Balairung, UGM, Minggu (21/04/2024).
Sebagai dosen Hukum, Eddyono turut mengevaluasi penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Menurutnya, di era reformasi sekarang ini tidak serta-merta menghilangkan permasalahan-permasalahan penegakan hukum yang cenderung meminggirkan pihak yang lemah. Lebih-lebih sekarang ini praktik hukum yang korup dianggap sebagai hal normal.
Baca Juga
"Apa yang terjadi dalam perdebatan Pemilu 2024 contoh yang sangat transparan terhadap bagaimana hukum digunakan secara sistematis dan menggunakan insitusi demokrasi (DPR) dalam pengesahan bansos yang digulirkan secara massif selama Pemilu. Contoh legitimasi hukum oleh kekuasaan karena dana bansos tersebut seolah-olah sah dan legitimated," paparnya.
Dengan praktik kekuasaan yang dijalankan dengan penuh problematika ini menurutnya akan berimplikasi besar terhadap penyelenggaraan kekuasaan kenegaraan yang tidak bertumpu pada kemaslahatan dan kesentosaan rakyat banyak.
Ia berharap masih memiliki nalar bagi para hakim di MK untuk meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal dalam proses sengketa Pemilu yang hasilnya akan dibacakan pada Senin (22/4/2024) besok.
(shf)