Ketua Bhayangkari Sulbar: Suku Bunggu Pasangkayu Ingin Kehidupan Lebih Baik

Senin, 04 Maret 2024 - 12:13 WIB
loading...
Ketua Bhayangkari Sulbar: Suku Bunggu Pasangkayu Ingin Kehidupan Lebih Baik
Ketua Bhayangkari Daerah Sulbar Miranti Adang mengunjungi masyarakat Suku Daa di Dusun Saloraya Desa Gunung Sari di Kabupaten Pasangkayu. Foto/Istimewa
A A A
PASANGKAYU - Suku Bunggu adalah nama yang diberikan kepada komunitas suku yang mendiami daerah pegunungan di Mamuju Utara dengan pola hidup nomaden. Beberapa di antara mereka telah berinteraksi dengan suku lain.

Namun, tidak sedikit pula yang masih bertahan hidup di pedalaman dan menjadi komunitas suku terasing. Suku Bunggu aslinya adalah Suku Kaili dari Sulawesi Tengah.

Orang tua mereka kemudian menyebar ke wilayah lain misalnya, Mamuju Utara karena hutan masih sangat lebat untuk dibuka menjadi perkampungan dan kebun seadanya. Suku inilah yang kemudian menjadi Suku Da’a, Suku Bunggu, dan suku-suku lainnya

Penyebaran mereka hingga ke Mamuju Utara dan beberapa daerah lainnya lebih banyak dipengaruhi pola hidup nomaden atau hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.



Rumah yang digunakan untuk berlindung dari terpaan sinar matahari, hujan dan serangan binatang buas, selalu dalam bentuk darurat atau tidak permanen.

Namun sekarang, beberapa suku Bunggu mulai menemukan titik balik dari kehidupan berkelana mereka menjadi hidup menetap dan membentuk sebuah perkampungan. Mereka mulai mengenal rumah berdinding dan berlantai papan.

Atap memang masih tetap menggunakan daun rotan atau daun nira. Rumah yang mereka bangun tetap dalam ukuran yang kecil sekira 4×6 meter.Bagian rumah tersekat menjadi dua, yakni ruang tempat menerima tamu dan bagian rumah yang lainnya, digunakan sebagai tempat beristirahat sekaligus langsung terhubung dengan tempat memasak.

Tinggi rumah mereka rata-rata masih setinggi 2-3 meter dengan tangga tunggal yang terbuat dari batang kayu bulat yang dibuat coakan sebagai tempat pijakan kaki.

Suku Bunggu hidup berladang dan berpindah-pindah dengan membuka hutan dan membentuk sebuah komunitas atau perkampungan yang terdiri dari lima kepala keluarga (KK) atau maksimal 30 KK.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1160 seconds (0.1#10.140)