Bisa Berubah, Prof Ridwan Sebut Peta Zonasi Resiko Bukan Acuan Sekolah Tatap Muka
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Pemetaan zona resiko wilayah COVID-19 bukanlah sebuah acuan penerapan sekolah tatap muka di wilayah Sulsel. Hal ini lantaran peta zonasi resiko bersifat dinamis, dan masih bisa berubah sewaktu-waktu. Baca : Belajar dari Rumah Diperpanjang Hingga 22 Agustus, Gubernur : Tapi Fleksibel
Demikian diungkapkan Ketua Tim Pengendali COVID-19 Sulsel, Prof Ridwan Amiruddin. Kata Dia, potensi pergerakan orang antar wilayah yang masih terjadi, bisa menjadi pemicu pergerakan perubahan zona resiko yang dimaksud.
"Ini adalah bencana kemanusiaan dimana pergerakan kebencanaannya melekat pada pergerakan orang. Sehingga menggunakan peta zonasi pada bencana non-alam sebenarnya tidak terlalu relevan. Karena resikonya, meski dia zona hijau, tetapi siswanya berasal dari zona merah, ini menjadi ancaman," urai Ridwan kepada SINDOnews.
Dia menjelaskan, rekomendasi pembukaan sekolah tatap muka berbicara soal sistem. Tidak hanya penyiapan infrastruktur protokol kesehatan di sekolah yang dilaksanakan secara ketat. Komunitas sekolah, baik kepala sekolah, guru, dan siswa setidaknya harus diorientasi lebih dulu.
Menurut Ridwan, saat ini Indonesia termasuk Sulsel diperhadapkan pada fase adaptasi kebiasaan baru. Pembelajaran sekolah tatap muka dengan pendekatan tatanan baru diperlukan tenaga pendidik yang memahami kondisi pandemi saat ini. Baca Juga : Masih Berpusat di Makassar, Angka Reproduksi COVID-19 Sulsel Naik Lagi
"Pada situasi ini mestinya yang dipersiapkan adalah sekarang melatih guru. Bagaimana sistem pembelajaran yang efektif pada situasi pandemi ini. Dengan sistem mau tatap muka atau daring. Kemudian menyiapkan sistem sekolah. Ini hampir belum ada yang disiapkan semua," ujarnya.
Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Wilayah Sulsel inipun khawatir akan ada ledakan kasus COVID-19 yang signifikan jika skenario pembelajaran tatap muka dilaksanakan tanpa persiapan. Klaster sekolah, bukan tidak mungkin terjadi jika rencana ini buru-buru digelar.
"Kalau ini dipaksakan, tidak mempersiapkan dengan baik, maka itu akan terjadi. Pasti akan terjadi klaster-klaster sekolah, baik klaster SMP, SMA dan seterusnya. Karena ini seolah-olah membuka sekolah tanpa ada situasi yang mendahuluinya. Maksudnya, tidak ada training-nya, tidak ada pendampingannya," tandas Ridwan.
Sementara itu merunut pada keputusan Kemendikbud, 5 daerah baik zona hijau dan kuning di Sulsel itulah yang berpotensi melaksanakan sekolah tatap muka yakni Barru dan Wajo. Sedangkan zona kuning (resiko rendah), diantaranya Bulukumba, Bone, dan Enrekang.
"Ini sangat tergantung pada kesiapan sekolah. Kalau sekolah itu dianggap siap, silahkan membuka. Kalau meskipun dia di zona hijau tapi sekolah itu merasa tidak siap, itu tidak boleh dibuka," tegas Ridwan.
Demikian diungkapkan Ketua Tim Pengendali COVID-19 Sulsel, Prof Ridwan Amiruddin. Kata Dia, potensi pergerakan orang antar wilayah yang masih terjadi, bisa menjadi pemicu pergerakan perubahan zona resiko yang dimaksud.
"Ini adalah bencana kemanusiaan dimana pergerakan kebencanaannya melekat pada pergerakan orang. Sehingga menggunakan peta zonasi pada bencana non-alam sebenarnya tidak terlalu relevan. Karena resikonya, meski dia zona hijau, tetapi siswanya berasal dari zona merah, ini menjadi ancaman," urai Ridwan kepada SINDOnews.
Dia menjelaskan, rekomendasi pembukaan sekolah tatap muka berbicara soal sistem. Tidak hanya penyiapan infrastruktur protokol kesehatan di sekolah yang dilaksanakan secara ketat. Komunitas sekolah, baik kepala sekolah, guru, dan siswa setidaknya harus diorientasi lebih dulu.
Menurut Ridwan, saat ini Indonesia termasuk Sulsel diperhadapkan pada fase adaptasi kebiasaan baru. Pembelajaran sekolah tatap muka dengan pendekatan tatanan baru diperlukan tenaga pendidik yang memahami kondisi pandemi saat ini. Baca Juga : Masih Berpusat di Makassar, Angka Reproduksi COVID-19 Sulsel Naik Lagi
"Pada situasi ini mestinya yang dipersiapkan adalah sekarang melatih guru. Bagaimana sistem pembelajaran yang efektif pada situasi pandemi ini. Dengan sistem mau tatap muka atau daring. Kemudian menyiapkan sistem sekolah. Ini hampir belum ada yang disiapkan semua," ujarnya.
Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Wilayah Sulsel inipun khawatir akan ada ledakan kasus COVID-19 yang signifikan jika skenario pembelajaran tatap muka dilaksanakan tanpa persiapan. Klaster sekolah, bukan tidak mungkin terjadi jika rencana ini buru-buru digelar.
"Kalau ini dipaksakan, tidak mempersiapkan dengan baik, maka itu akan terjadi. Pasti akan terjadi klaster-klaster sekolah, baik klaster SMP, SMA dan seterusnya. Karena ini seolah-olah membuka sekolah tanpa ada situasi yang mendahuluinya. Maksudnya, tidak ada training-nya, tidak ada pendampingannya," tandas Ridwan.
Sementara itu merunut pada keputusan Kemendikbud, 5 daerah baik zona hijau dan kuning di Sulsel itulah yang berpotensi melaksanakan sekolah tatap muka yakni Barru dan Wajo. Sedangkan zona kuning (resiko rendah), diantaranya Bulukumba, Bone, dan Enrekang.
"Ini sangat tergantung pada kesiapan sekolah. Kalau sekolah itu dianggap siap, silahkan membuka. Kalau meskipun dia di zona hijau tapi sekolah itu merasa tidak siap, itu tidak boleh dibuka," tegas Ridwan.