Misteri Tanah Kutukan Candi Penampihan, Dipercaya Bisa Binasakan Penginjaknya

Sabtu, 02 Desember 2023 - 16:53 WIB
loading...
Misteri Tanah Kutukan Candi Penampihan, Dipercaya Bisa Binasakan Penginjaknya
Reruntuhan bangunan Candi Penampihan di Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Foto/Ist
A A A
Tanah gatel atau kutukan di Candi Penampihan atau Candi Asmarabangun yang berada pada lereng Gunung Wilis wilayah Tulungagung, Jawa Timur hingga kini masih menjadi misteri. Konon dipercaya bisa membinasakan barang siapa yang menginjaknya.

Candi Penampihan di Dusun Turi, Desa Geger Kecamatan Sendang yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno hingga kini masih menyimpan banyak cerita misteri.


Salah satunya misteri tanah gatel atau lemah gatel, yakni sebuah area lahan di dekat Candi Penampihan yang dipercaya mampu mencelakakan siapapun yang menginjaknya. Tanah gatel diibaratkan tanah kutukan.

Manusia atau binatang yang lewat di atasnya akan jatuh sakit, dan tidak jarang mati seketika. Jika dibiarkan, mayat yang berada di atasnya perlahan akan seperti terbakar dan musnah dengan sendirinya.



Begitu juga dengan ranting dan dedaunan yang rontok akan musnah seperti terbakar bila jatuh di atas tanah gatel. Itu yang membuat area tanah gatel di Candi Penampihan senantiasa tampak bersih.

“Berwujud tanah yang bersih tiada tanaman atau kotoran apapun,” demikian dikutip dari buku Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan (2021).



Candi Penampihan diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Dibangun pada tahun Saka 820 atau 898 Masehi dengan pagelaran wayang (ringgit), Candi Penampihan merupakan candi Hindu kuno yang berfungsi untuk pemujaan Dewa Siwa.

Penampihan mengandung arti penerimaan yang bersyarat. Namun dalam versi lain diterjemahkan sebagai penolakan. Sejumlah arca dan prasasti ditemukan di komplek Candi Penampihan, yakni arca Siwa dan Dwarapala.

Sedangkan prasasti yang ditemukan ditulis dengan huruf Pallawa. Prasasti Tinulat begitu disebut, berisi narasi tentang nama-nama Raja Balitung dan seseorang yang bernama Mahesa Lalatan.

Prasasti juga menceritakan sistem sosial masyarakat kala itu, yakni Catur Asrama. Di kawasan Candi Panampihan juga terdapat dua kolam kecil yang bernama Samudera Mantana.

Konon dua kolam di Candi Penampihan menjadi indikator atau alat ukur kondisi air di Pulau Jawa, yakni sisi Utara dan Selatan. Kalau kolam dalam keadaan kering diterjemahkan air di pulau Jawa sedang kering.

Begitu juga sebaliknya bila air kolam di Candi Penampihan dalam kondisi penuh, maka di mana-mana telah terjadi banjir.

Pada masa awal berdirinya Candi Penampihan, wilayah Tulungagung masih dikenal dengan nama Rawa Campur, yakni kawasan rawa di mana terdapat pemukiman penduduk.

Pusat kota Rawa Campur adalah di Ngrowo dan Kalangbret. Pada masa Kerajaan Mataram Islam, wilayah Rawa Campur diperintah dua tumenggung atau dua bupati yang bertahta di Ngrowo dan Kalangbret.

Secara administrasi wilayah Ngrowo dan Kalangbret berada di bawah kekuasaan Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo Prawirodiningrat (1822-1859).

Pasca perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), wilayah Ngrowo dan Kalangbret yang berada di bawah kekuasaan gubernemen kolonial Belanda disatukan menjadi Tulungagung.

Sementara itu, misteri tanah gatel yang berada di komplek Candi Penampihan hingga kini tidak pernah terungkap. Seiring perkembangan zaman cerita tentang tanah gatel secara perlahan terlupakan.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2024 seconds (0.1#10.140)