Memberi Energi Melindungi Bumi, Menangkap Emisi Karbon untuk Indonesia Bersih

Selasa, 31 Oktober 2023 - 19:04 WIB
loading...
Memberi Energi Melindungi Bumi, Menangkap Emisi Karbon untuk Indonesia Bersih
Penggunaan teknologi penyimpanan dan injeksi CO2 menjadi langkah konkret PT Pertamina (Persero) mendukung upaya pemerintah menuju nett zero emission (NZE) 2060. Foto/Dok.Pertamina
A A A
BANDUNG - Penggunaan teknologi penyimpanan dan injeksi karbondioksida (CO2) menjadi langkah konkret mendukung upaya pemerintah menuju nett zero emission (NZE) 2060. Langkah ini sejalan dengan target peningkatan produksi minyak dan gas sebesar 1 juta barel pada 2030 mendatang.

Komitmen mendukung NZE dilakukan PT Pertamina (Persero) dengan melakukan proses menampung dan menyuntik (injeksi) gas CO2 ke dalam sumur minyak menggunakan teknologi carbon capture storage (CCS) dan carbon capture utilization and storage (CCUS).



Proses injeksi CO2 berhasil dilakukan pada 25 hingga 29 Oktober 2022 di sumur pertama. Proses tersebut kemudian berlanjut pada 26 hingga 29 Desember 2022 di sumur kedua. Proses injeksi di dua sumur tersebut dilakukan di kawasan Pertamina EP Jatibarang Field, Indramayu, Jawa Barat.

Memberi Energi Melindungi Bumi, Menangkap Emisi Karbon untuk Indonesia Bersih

Foto/Ist

Kegiatan tersebut menjadi momen penting masa depan energi bersih di Indonesia. Proses CCS/CCUS merupakan kegiatan penangkapan CO2 dari berbagai sumber inti seperti instalasi industri dengan menggunakan teknologi.

Gas buang tersebut selanjutnya dimurnikan dan dikompresi untuk diangkut ke lokasi injeksi menggunakan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).



Pada tahap penyerapan karbon, proses tersebut dilakukan di fasilitas CO2 Removal Plant, dengan mekanisme reaksi kimia. Di mana proses pemurnian dengan sistem serap (absorbs) menggunakan media amine (aMDEA).

Teknologi CCS/CCUS yang telah terpasang di Lapangan Jatibarang merupakan hasil pengembangan bersama antara Pertamina (Persero), Pertamina EP, dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (JOGMEC). Proses riset telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir hingga berhasil diujicobakan.

Memberi Energi Melindungi Bumi, Menangkap Emisi Karbon untuk Indonesia Bersih


Lapangan Jatibarang adalah salah satu lapangan raksasa di Indonesia dengan total produksi minyak dan gas (migas) mencapai 101,8 MMMbls. Lapangan ini juga diperkirakan masih memiliki potensi cukup besar dalam menangkap dan injeksi emisi karbon yang berpotensi menjadi gas rumah kaca (GRK).

"Penggunaan teknologi ini adalah sejarah baru bagaimana CO2 di injeksi untuk meningkatkan produksi sekaligus mengurangi emisi," kata SVP Research Technology and Innovation Pertamina, Oki Muraza.

Menurut dia, implementasi penyimpanan dan injeksi CO2 akan menjadi tulang punggung Pertamina dalam meningkatkan produksi migas dan sustainability (keberlanjutan). Kedepan, gas CO2 tak lagi dibuang, tetapi disimpan dan disuntikkan ke dalam sumur bor untuk meningkatkan produksi minyak.

Kendati begitu, tahap studi konseptual masih terus berjalan. Di mana Pertamina akan melanjutkan dengan pemilihan fasilitas injeksi yang akan digunakan dan pemilihan teknologi pada tahap awal sebelum diterapkan.

Kurangi Emisi Karbon


Terobosan Pertamina menggunakan teknologi CCS/CCUS dilatarbelakangi adanya komitmen pemerintah Indonesia dalam melakukan akselerasi pencapaian target produksi migas nasional sebesar 1 juta barrel dan 12 MMSCFD tahun 2030.

Selain menggenjot produksi, Indonesia juga berkomitmen mengurangi emisi karbon menuju Nett Zero Emission tahun 2060. Diketahui, CO2 atau disebut zat asam arang dalam batas tinggi akan berdampak negatif bagi kehidupan manusia dan hewan.

CO2 dapat menyebabkan kenaikan suhu yang berakibat pada perubahan iklim di muka bumi. Perubahan iklim tersebut menyebabkan bencana alam seperti banjir.

Teknologi CCS/CCUS ini, diharapkan menjadi enabler yang mampu meningkatkan produksi migas melalui CO2-EOR sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca atau CO2 secara signifikan.

Penggunaan teknologi CCS/CCUS diprediksi akan berkontribusi 10 persen terhadap pengurangan emisi global. Di Asia Tenggara, teknologi ini diperkirakan mampu menyerap hingga 200 juta CO2.

Di beberapa negara maju, seperti Norwegia, sejumlah industri memilih menggunakan teknologi CCS/CCUS karena mahalnya pajak emisi. Penggunaan CCS/CCUS juga sejalan dengan Paris Agreement terkait komitmen negara negara di dunia untuk mengurangi perubahan iklim.

Menurut Senior Manager Pertamina EP Jatibarang Field Hari Widodo, proses penyerapan karbon di fasilitas CO2 Removal Plant telah mampu menyerap CO2 secara signifikan. Teknologi tersebut telah terpasang di dua tempat yaitu fasilitas produksi Tugu Barat dan Pertamina EP Field Subang.

Di Pertamina EP Field Jatibarang tepatnya di fasilitas produksi Tugu Barat, kapasitas serap CO2 mencapai 5 MMscfd. Sedangkan di Pertamina EP Field Subang kapasitas penyerapan mencapai 100 MMscfd.

"Selain di dua tempat tersebut, ada beberapa rencana lainnya yang sedang dalam pembangunan, antara lain di Karang Baru dan Akasia Bagus," jelas dia.

Pemasangan fasilitas pemisah CO2 di Akasia Bagus rencananya akan dilaksanakan pada November 2023 hingga April 2025. Berdasarkan desain ini, teknologi tersebut akan mampu mengurangi kandungan CO2 dari sekitar 65% Mol menjadi 8% Mol.

Sementara secara nasional, potensi dekarbonisasi Pertamina tersebar di berbagai lokasi seperti Lapangan Jatibarang, Sukowati, Gundih, Ramba, Subang, Akasia Bagus, dan Betung.

Secara total, potensi dekarbonisasi di seluruh area Pertamina Hulu Energi (PHE), sebagai Subholding Upstream Pertamina di kisaran 15 juta ton karbon ekuivalen.

Penggunaan teknologi CCS/CCUS di Indonesia juga menghasilkan dampak keekonomian yang positif. Riset di Lapangan Tangguh, apabila proses injeksi dilakukan hingga tahun 2045, setidaknya terdapat potensi CO2 yang tersimpan sebanyak 25 juta ton selama 10 tahun.

Menurut Hari, penggunaan teknologi CCS dan CCUS memberi manfaat besar bagi lingkungan. Di mana, jika karbon terus dibuang ke udara akan berefek terhadap pemanasan global (efek rumah kaca) dan juga terhadap kesehatan makhluk hidup.

"Maka semakin sedikit karbon yang dibuang ke udara maka semakin baik bagi lingkungan. Salah satu solusinya yaitu dengan menginjeksikan ke dalam permukaan bawah tanah," tandas dia.

Karbon yang ditangkap dan telah dimurnikan dari teknologi tersebut, juga memiliki nilai ekonomi tinggi. Karbon tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku minuman karbonasi (softdrink), alat pemadam api ringan (APAR) CO2, industri otomotif, industri kimia, hingga industri pulp dan kertas.

Untuk mendorong komitmen penggunaan teknologi CCS/CCUS, Pertamina telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan sejumlah pihak pada Oktober 2023 lalu.

Komitmen tersebut ditandatangani dengan PT Pertamina Hulu Mahakam, PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga dan PT Pertamina Hulu Rokan, bekerjasama dengan Kementerian ESDM, Chevron dan Mitsui.

Peta Jalan Dukung NZE 2060


Penggunaan CCUS hanya satu dari sekian banyak upaya pertamina mendukung Indonesia mencapai NZE 2060. Pertamina sendiri telah menentukan peta jalan menuju NZE 2060 yang diharapkan dapat menekan emisi karbon sejak dini.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan, CCS/CCUS akan memberi dampak terhadap keberlanjutan energi nasional. Juga solusi pengurangan karbon yang dibuang oleh fasilitas industri yang ada di Indonesia.

“Ini sejalan dengan peta jalan NZE yang dilandasi oleh tiga pilar strategis, yaitu dekarbonisasi pada aset yang ada, pengembangan bisnis energi ramah lingkungan, dan inisiatif negatif karbon menggunakan CCUS dan NBS (Nature-Based Solutions),” ujar Nicke.

Dia memastikan akan terus mendukung target Pemerintah Indonesia menuju NZE 2060. Tak hanya di dalam negeri, Pertamina juga akan menjadi salah satunya pelaksana CCS Hub di kawasan ASEAN. Hal ini sejalan dengan sumber daya alam Indonesia yang melimpah sehingga cocok untuk penyimpanan CO2. Potensi penyimpanan gas buang tersebut diperkirakan mencapai 400 gigaton (GT).

Untuk merealisasikan rencana tersebut, Pertamina menilai perlunya kolaborasi dengan berbagai pihak terkait dengan pengembangan CCS/CCUS.

“Jika diperlukan, kami juga siap terlibat aktif dalam penyusunan peraturan dan kebijakan untuk menciptakan ekosistem CCS/CCUS yang lebih komprehensif di Indonesia,” imbuhnya.

Pertamina juga menempatkan posisinya sebagai perusahaan energi yang berperan penting dalam mendorong transisi energi melalui target bauran energi terbarukan dan ramah lingkungan. Target pengurangan gas rumah kaca sebagai sumber pemanasan global diharapkan cepat tercapai.

Terdapat delapan pilar komitmen Pertamina mendukung transisi energi dan ramah lingkungan. Dimulai dari menekankan pentingnya kilang Pertamina menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan, pengembangan bioenergi dalam bentuk biomassa dan bioetanol, optimalisasi panas bumi (geothermal), hidrogen, mendukung pemanfaatan ekosistem baterai, gasifikasi, mendorong proyek energi baru dan terbarukan (EBT), serta menerapkan carbon capture, utilization, and storage (CCUS) di ladang minyak dan gas.

CCS/CCUS Masa Depan Indonesia


Penerapan teknologi CCUS merupakan komitmen Pertamina mendukung program Pemerintah untuk mempercepat transisi energi. mencapai target penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 dan NZE pada 2060.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) menargetkan menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sumber daya mineral sekitar 314 hingga 446 juta ton CO2 hingga tahun 2030. Oleh karena itu, perlu upaya keras untuk mewujudkan target tersebut.

Menurut Pengamat Energi dari Institut Teknologi Bandung Mohammad Rachmat Sule, upaya Pertamina melakukan dekarbonisasi menggunakan teknologi CCS/CCUS adalah langkah tepat. Dia menyebutkan, teknologi tersebut adalah masa depan Indonesia dalam mendukung energi bersih.

"Indonesia menghasilkan emisi, tapi kita juga punya tempat untuk menyimpan, karena luasnya wilayah dan banyaknya lapangan produksi migas. Berbeda dengan negara lain seperti Jepang, yang harus dibuang ke laut dalam atau mungkin menjual CO2 ke luar negeri, " kata dia, Senin (30/10/2023).

Rachmat Sule menyebutkan, ada beberapa alasan kenapa teknologi CCS/CCUS ini disebut sebagai masa depan Indonesia. Pertama, proses dekarbonisasi bisa mendorong target NZE 2060. Emisi CO2 yang selama ini dibuang ke udara, kemudian ditampung dan di injeksi ke bumi.

Kedua, teknologi CCS/CCUS akan membuat umur pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) lebih panjang. Hal ini karena gas CO2 yang dibuang akan ditampung untuk disuntikkan ke bumi. Selama ini, PLTU dianggap salah satu peyumbang tingginya emisi karbon di dunia.

Ketiga, teknologi CCS/CCUS diyakini mampu penambah produksi migas melalui pemanfaatan CO2 untuk mendorong hidrokarbon dalam kurun waktu tertentu.

Keempat, adanya karbon kredit. Nantinya, setiap sektor harus melaporkan pengurangan gas rumah kaca pada periode tertentu. Penggunaan teknologi CCS/CCUS ini akan memberikan hitungan jelas terkait upaya industri mengurangi emisi yang dapat menyebabkan pemanasan global.

"Indonesia termasuk negara yang tidak menjanjikan penggunaan CCS/CCUS untuk mengurangi emisi pada 2030 mendatang. Akan tetapi kita mampu memanfaatkannya untuk menekan emisi karbon. Artinya ini sangat bagus, di tengah penggunaan teknologi ini oleh negara maju," ujar Rachmat yang juga sebagai Manajer Pusat Pemanfaatan Karbondioksida dan Gas Suar.

Menurut dia, penggunaan teknologi CCS/CCUS di Indonesia akan lebih murah dari negara lain. Alasannya, di Indonesia memiliki banyak industri migas dengan Pertamina sebagai operator utama. Tak hanya itu, lapangan migas di Indonesia juga sudah memiliki perangkat pemisah CO2.

"Proses memisahkan CO2 (carbon capture) dari hidrogen itu mahal sekali dan selama ini C02 yang sudah dipisah itu dibuang. Nah, jika kita menggunakan CCS/CCUS, maka CO2 disalurkan melalui pipa atau ditampung untuk kemudian di injeksi ke lapangan migas," kata dia.

Pilot project Pertamina melakukan injeksi CO2 di Jatibarang juga telah terbukti mampu menaikkan produksi migas hingga tiga kali lipat di kawasan tersebut. Oleh karenanya, Pertamina saat ini terus berusaha mendorong penerapan fasilitas CCS/CCUS di beberapa wilayah di Indonesia.

Riset awal penggunaan teknologi CCS/CCUS di Lapangan Tangguh, Papua Barat, juga diperkirakan mampu menaikkan produksi migas hingga 2 persen. Jumlah tersebut bahkan mampu untuk membayar belanja modal (capex). Kawasan tersebut diperkirakan mampu menyerap CO2 antara 25 hingga 35 juta ton dalam kurun waktu 10 tahun.

"Potensi dari sisi ekonomi ke depan akan sangat besar dari penggunaan CCS/CCUS. Makanya, mayoritas perusahaan migas sangat mendukung teknologi ini. Tak hanya meningkatkan keekonomian, tetapi juga akan memperpanjang umur perusahaan migas" katanya.

Kedepan, lanjut dia, Pertamina bisa menjadi operator injeksi CO2 jika pada saatnya nanti cadangan minyak di Indonesia turun drastis. Potensi ini karena posisi Pertamina adalah operator migas yang mengoperasikan lapangan terbanyak di Indonesia.

"Kedepan Pertamina bisa menjadi operator injeksi CO2 dari industri lainnya seperti PLTU atau bahkan menampung CO2 dari luar negeri," beber dia.

Kendati begitu, ada beberapa tantangan yang mesti segera diselesaikan oleh pemerintah untuk mendukung dekarboksilasi menggunakan teknologi CCS/CCUS ini. Salah satunya terkait regulasi untuk diterapkan di industri. Pemerintah juga bisa mendesain pajak karbon yang sesuai.

"Saat ini, kolaborasi dan kerja sama semua pihak untuk dekarboksilasi ini sudah berjalan baik antara Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kemenko Marves, dan lainnya. Artinya, komitmen Indonesia menuju NZE 2060 bukan omong kosong belaka," pungkasnya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2785 seconds (0.1#10.140)