Kisah Perempuan Peranakan China yang Membuat Kesaktian Pangeran Diponegoro Hilang
loading...
A
A
A
Apalagi mengacu pada sumber Babad Diponegoro Manado - Makassar Pupuh XXVII Sinom disebut Pandu, sang pangeran menulis “Aneng ing daren punika, pan dalu kinen meteki, kang boyongan nyonya China, Kangjeng Sultan salah kardi,”.
Yang ketika diterjemahkan intinya peristiwa itu saat sang pangeran lelah dan akhirnya meminta pijat oleh perempuan China, yang disebut Nyonya China.
”Perempuan China itu tawanan perang, tapi versi keluarga itu bukan tawanan perang, tapi bisa jadi dia itu pembantu, tukang cuci, bisa-bisa jadi tukang laundry, kalau dihubungkan 1800an ini secara logika banyak merantau orang China ke Jawa juga, selain bekerja juga berdagang, bisnis laundry, jadi pembantu, tapi tidak disebutkan itu asal-usulnya dari mana,” paparnya.
Jika itu tawanan perang, sesuai aturan fikih hukum islam memang hukumnya boleh diperintah apapun. Bahkan jika tawanan perang itu tidak menurut, atau memberontak boleh dibunuh. Tetapi Pangeran Diponegoro tetap memberlakukan tawanan perang itu dengan baik.
”Intinya kejadian (Pangeran Diponegoro dipijat perempuan China) di Kedaren, suatu nama daerah, itu di suatu malam, garis besarnya di suatu malam saat ngatur macam-macam, ngatur perang konsolidasi capek istirahat, meteki itu memijat,” katanya.
Pada kondisi badan yang sangat lelah, konsentrasi yang sudah hilang, membuat Pangeran Diponegoro meminta perempuan China itu untuk memijat badannya. Peristiwa ini digambarkan terjadi di sebuah tenda, ketika malam hari.
”Istilahnya orang kalau capek berat itu fokusnya menurun, nggak sadar kalau nggak nggeh, bukan muhrimnya. Akhirnya merasa bersalah dan mengkhianati istri-istrinya. Jadi istilah meteki itu memijat,” terangnya.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
Yang ketika diterjemahkan intinya peristiwa itu saat sang pangeran lelah dan akhirnya meminta pijat oleh perempuan China, yang disebut Nyonya China.
”Perempuan China itu tawanan perang, tapi versi keluarga itu bukan tawanan perang, tapi bisa jadi dia itu pembantu, tukang cuci, bisa-bisa jadi tukang laundry, kalau dihubungkan 1800an ini secara logika banyak merantau orang China ke Jawa juga, selain bekerja juga berdagang, bisnis laundry, jadi pembantu, tapi tidak disebutkan itu asal-usulnya dari mana,” paparnya.
Jika itu tawanan perang, sesuai aturan fikih hukum islam memang hukumnya boleh diperintah apapun. Bahkan jika tawanan perang itu tidak menurut, atau memberontak boleh dibunuh. Tetapi Pangeran Diponegoro tetap memberlakukan tawanan perang itu dengan baik.
”Intinya kejadian (Pangeran Diponegoro dipijat perempuan China) di Kedaren, suatu nama daerah, itu di suatu malam, garis besarnya di suatu malam saat ngatur macam-macam, ngatur perang konsolidasi capek istirahat, meteki itu memijat,” katanya.
Pada kondisi badan yang sangat lelah, konsentrasi yang sudah hilang, membuat Pangeran Diponegoro meminta perempuan China itu untuk memijat badannya. Peristiwa ini digambarkan terjadi di sebuah tenda, ketika malam hari.
”Istilahnya orang kalau capek berat itu fokusnya menurun, nggak sadar kalau nggak nggeh, bukan muhrimnya. Akhirnya merasa bersalah dan mengkhianati istri-istrinya. Jadi istilah meteki itu memijat,” terangnya.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
(ams)