Sosok Kiai Ageng Muhammad Besari yang Pernah Ditemui Pakubuwono II Minta Didoakan Jadi Penguasa
loading...
A
A
A
KIAI Ageng Muhammad Besari kerap dihubungkan dengan keturunan Miftah Maulana atau Gus Miftah . Sosok Kiai Ageng Muhammad Besari diklaim oleh Gus Miftah bahwa adalah keturunannya.
Lantas siapa sebenarnya sosok Kiai Ageng Muhammad Besari itu, yang konon pernah ditemui oleh Sunan Pakubuwono II?
Kiai Ageng Muhammad Besari seorang ulama besar semasa Sultan Pakubuwono II bertahta. Saat Kiai Ageng Muhammad Besari hidup Jawa bagian tengah tengah menjadi Medan kekacauan dan pertempuran antara etnis Tionghoa dan Jawa alias Geger Pecinan.
Semua orang saat itu konon angkat senjata, baik di pihak Susuhunan Pakubuwono II maupun di pihak lawan yang baru diproklamasikan sebagai raja Susuhunan Amangkurat V, alias Sunan Kuning.
Sosok Kiai Ageng Muhammad Besari hidup di Ponorogo, di tempat Desa Tegalsari, yang tersohor hingga sekarang. Konon Kiai Ageng Muhammad Besari itu memiliki reputasi besar di antara kaum muslim setempat akan kesalehannya dan religiusnya, hingga membuatnya dikenal dimana-mana.
Sebagaimana dikisahkan dari "Antara Lawu dan Wilis: Arkeologis, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934 -38", Kiai Ageng Muhammad Besari memilih mengisolasi diri di tengah hiruk pikuk pertempuran di mana-mana.
Kiai Ageng membangun gubuk pertapaan di hutan lebat yang membentang dari kaki Pegunungan Wilis sampai ke wilayah dataran Ponorogo. Di sana, jauh dari hiruk dunia, dia hidup menyendiri, terpencil, hanya memakan akar dan tumbuhan, serta mengabdikan diri pada tujuan sepenuhnya untuk bersimpuh di hadapan Tuhan.
Seandainya dia berhasil melarikan diri untuk sementara waktu, baginya hidup dalam keprihatinan itu tidak berlangsung lama, sebab banyak rekan seimannya datang untuk duduk bersamanya guna menikmati kecerahan kekudusannya. Kiai Ageng mengajari mereka ilmu Al-Qur'an serta pelaksanaan perintah Ilahi dan Nabi Muhammad.
Jumlah pengikutnya berangsur-angsur bertambah dan dengan segera berkembang. Daerah tidak penting yang diolah oleh pertapa (Kiai Muhammad Besari) itu kemudian menjadi desa yang berkembang pesat dan kemudian diberi nama "Tegalsari", berasal dari kata "tegal" yang artinya "ladang" (bentuk desa pada mulanya) dan "sari" yang berarti "bunga", merujuk pada kondisi desa yang berkembang setelahnya.
Karena kebesaran namanya itulah membuat Raja Pakubuwono II menemuinya di tempat pertapaannya. Pakubuwono II ini seperti terlihat seseorang penebus dosa, dengan hanya ditemani dua orang pengawal setianya, Hohendorff dan Hoogwits.
Kiai Ageng menerima raja dengan penuh hormat sesuai martabatnya, sebagai seorang raja. Namun, dalam pertemuan itu, Pakubuwono II merendahkan diri dan memohon pada Kiai Ageng untuk menjadi perantara, antara dirinya dan Allah, serta agar berdoa demi bantuan Allah supaya dia dapat memperoleh kembali mahkota kerajaan warisan leluhur.
Raja juga bersumpah bahwa seumpamanya dia dipulihkan dalam martabatnya sebagai raja, dia akan menjadikan Tegalsari sebagai tempat rujukan belajar Islam di kerajaannya, dan menganugerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya, serta mengangkat desa itu sebagai sebuah desa perdikan, yaitu desa tersebut akan dibebaskan untuk selama-lamanya dari pajak, pengiriman upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan.
Lantas siapa sebenarnya sosok Kiai Ageng Muhammad Besari itu, yang konon pernah ditemui oleh Sunan Pakubuwono II?
Kiai Ageng Muhammad Besari seorang ulama besar semasa Sultan Pakubuwono II bertahta. Saat Kiai Ageng Muhammad Besari hidup Jawa bagian tengah tengah menjadi Medan kekacauan dan pertempuran antara etnis Tionghoa dan Jawa alias Geger Pecinan.
Semua orang saat itu konon angkat senjata, baik di pihak Susuhunan Pakubuwono II maupun di pihak lawan yang baru diproklamasikan sebagai raja Susuhunan Amangkurat V, alias Sunan Kuning.
Sosok Kiai Ageng Muhammad Besari hidup di Ponorogo, di tempat Desa Tegalsari, yang tersohor hingga sekarang. Konon Kiai Ageng Muhammad Besari itu memiliki reputasi besar di antara kaum muslim setempat akan kesalehannya dan religiusnya, hingga membuatnya dikenal dimana-mana.
Sebagaimana dikisahkan dari "Antara Lawu dan Wilis: Arkeologis, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934 -38", Kiai Ageng Muhammad Besari memilih mengisolasi diri di tengah hiruk pikuk pertempuran di mana-mana.
Kiai Ageng membangun gubuk pertapaan di hutan lebat yang membentang dari kaki Pegunungan Wilis sampai ke wilayah dataran Ponorogo. Di sana, jauh dari hiruk dunia, dia hidup menyendiri, terpencil, hanya memakan akar dan tumbuhan, serta mengabdikan diri pada tujuan sepenuhnya untuk bersimpuh di hadapan Tuhan.
Seandainya dia berhasil melarikan diri untuk sementara waktu, baginya hidup dalam keprihatinan itu tidak berlangsung lama, sebab banyak rekan seimannya datang untuk duduk bersamanya guna menikmati kecerahan kekudusannya. Kiai Ageng mengajari mereka ilmu Al-Qur'an serta pelaksanaan perintah Ilahi dan Nabi Muhammad.
Jumlah pengikutnya berangsur-angsur bertambah dan dengan segera berkembang. Daerah tidak penting yang diolah oleh pertapa (Kiai Muhammad Besari) itu kemudian menjadi desa yang berkembang pesat dan kemudian diberi nama "Tegalsari", berasal dari kata "tegal" yang artinya "ladang" (bentuk desa pada mulanya) dan "sari" yang berarti "bunga", merujuk pada kondisi desa yang berkembang setelahnya.
Karena kebesaran namanya itulah membuat Raja Pakubuwono II menemuinya di tempat pertapaannya. Pakubuwono II ini seperti terlihat seseorang penebus dosa, dengan hanya ditemani dua orang pengawal setianya, Hohendorff dan Hoogwits.
Kiai Ageng menerima raja dengan penuh hormat sesuai martabatnya, sebagai seorang raja. Namun, dalam pertemuan itu, Pakubuwono II merendahkan diri dan memohon pada Kiai Ageng untuk menjadi perantara, antara dirinya dan Allah, serta agar berdoa demi bantuan Allah supaya dia dapat memperoleh kembali mahkota kerajaan warisan leluhur.
Raja juga bersumpah bahwa seumpamanya dia dipulihkan dalam martabatnya sebagai raja, dia akan menjadikan Tegalsari sebagai tempat rujukan belajar Islam di kerajaannya, dan menganugerahkan pengaturan desa kepada Kiai Ageng dan keturunannya, serta mengangkat desa itu sebagai sebuah desa perdikan, yaitu desa tersebut akan dibebaskan untuk selama-lamanya dari pajak, pengiriman upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan.
(rca)