Sejarah Kesultanan Mataram: Pendiri, Kejayaan, Keruntuhan, dan Peninggalan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kesultanan Mataram atau Kerajaan Mataram Islam berkuasa di tanah Jawa antara abad ke-16 hingga ke-18 M. Kerajaan yang berpusat di wilayah Jawa Tengah ini memiliki sejarah yang panjang dan kompleks.
Pada awalnya, Kesultanan Mataram merupakan sebuah kadipaten yang diberikan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang pada tahun 1575 kepada seorang bangsawan Jawa yang bernama Panembahan Senopati.
Pemberian itu disebut sebagai "tanah Mataram" dan menjadi cikal bakal Kesultanan Mataram. Panembahan Senopati, yang juga dikenal sebagai Senapati, adalah tokoh penting dalam pembentukan Kesultanan Mataram. Dia memerintah tanah Mataram dan secara bertahap memperluas wilayah kekuasaannya.
Untuk mengetahuinya lebih lanjut, berikut sejarah Kesultanan Mataram dari berdiri hingga mengalami keruntuhan.
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya selama masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Salah satu pencapaian terbesar Sultan Agung adalah ekspansi wilayah kesultanan.
Sultan Agung berhasil menguasai banyak wilayah di Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Ekspansi wilayah ini membuat Kesultanan Mataram menjadi salah satu kekuatan dominan di Nusantara pada masanya.
Pada masa itu juga terjadi pemindahan ibu kota Kesultanan Mataram dari Kota Gede ke Kartasura, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan yang penting.
Selain itu, Sultan Agung yang dikenal sebagai pemimpin militer yang ulung sempat beberapa kali menaklukkan pasukan Belanda, seperti Pertempuran Gresik (1619) dan Pertempuran Plered (1625).
Pemerintahan Sultan Agung juga berhasil membuat Kesultanan Mataram juga mencapai kejayaan dalam bidang seni dan budaya dengan mendukung pengembangan seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang.
Meskipun Sultan Agung adalah salah satu penguasa paling kuat dalam sejarah Kesultanan Mataram, kejayaan ini tidak berlangsung lama.
Setelah kematiannya, Kerajaan Mataram Islam mengalami periode konflik internal dan perpecahan yang mengakibatkan pembagian wilayah antara Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta sesuai dengan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Keruntuhan Kesultanan Mataram yang terjadi di sekitar abad ke-18 ini terpicu akan beberapa faktor. Salah satunya adalah perselisihan mengenai pewarisan takhta.
Setelah kematian Sultan Agung, ada perselisihan di antara pewaris yang potensial, yang mengakibatkan perpecahan dan konflik internal dalam keluarga kerajaan.
Dari konflik tersebut Belanda mengambil keuntungan dengan mendukung pihak yang berseteru, sehingga memperburuk situasi.
Perjanjian Giyanti adalah perjanjian yang dihasilkan dari konflik di Kesultanan Mataram. Perjanjian ini, yang ditandatangani pada tahun 1755, membagi wilayah Mataram menjadi dua. Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Pemimpin dari masing-masing kesultanan ini diangkat oleh Belanda, yang secara efektif menjadikan mereka penguasa boneka di bawah kendali kolonial Belanda.
Pembagian wilayah antara Surakarta dan Yogyakarta mengurangi kekuasaan Kesultanan Mataram secara keseluruhan.
Terdapat beberapa peninggalan yang membuktikan keberadaan dan keberjayaan Kesultanan Mataram, mulai dari masjid, makam hingga karya sastra.
Masjid Agung Kotagede yang dikenal sebagai Masjid tertua di Yogyakarta itu dibangun oleh Panembahan Senopati pada tahun 1575.
Makam Imogiri yang berada di Bantul dibangun oleh Sultan Agung pada tahun 1632. Kemudian ada Taman Sari yang dibangun Sunan Pakubuwana I pada tahun 1758.
Terdapat pula Serat Centhini yang merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang ditulis oleh Sunan Pakubuwana V pada tahun 1814.
Pada awalnya, Kesultanan Mataram merupakan sebuah kadipaten yang diberikan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang pada tahun 1575 kepada seorang bangsawan Jawa yang bernama Panembahan Senopati.
Pemberian itu disebut sebagai "tanah Mataram" dan menjadi cikal bakal Kesultanan Mataram. Panembahan Senopati, yang juga dikenal sebagai Senapati, adalah tokoh penting dalam pembentukan Kesultanan Mataram. Dia memerintah tanah Mataram dan secara bertahap memperluas wilayah kekuasaannya.
Untuk mengetahuinya lebih lanjut, berikut sejarah Kesultanan Mataram dari berdiri hingga mengalami keruntuhan.
Kejayaan Kesultanan Mataram
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya selama masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Salah satu pencapaian terbesar Sultan Agung adalah ekspansi wilayah kesultanan.
Sultan Agung berhasil menguasai banyak wilayah di Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Ekspansi wilayah ini membuat Kesultanan Mataram menjadi salah satu kekuatan dominan di Nusantara pada masanya.
Pada masa itu juga terjadi pemindahan ibu kota Kesultanan Mataram dari Kota Gede ke Kartasura, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan yang penting.
Selain itu, Sultan Agung yang dikenal sebagai pemimpin militer yang ulung sempat beberapa kali menaklukkan pasukan Belanda, seperti Pertempuran Gresik (1619) dan Pertempuran Plered (1625).
Pemerintahan Sultan Agung juga berhasil membuat Kesultanan Mataram juga mencapai kejayaan dalam bidang seni dan budaya dengan mendukung pengembangan seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang.
Keruntuhan Kesultanan Mataram
Meskipun Sultan Agung adalah salah satu penguasa paling kuat dalam sejarah Kesultanan Mataram, kejayaan ini tidak berlangsung lama.
Setelah kematiannya, Kerajaan Mataram Islam mengalami periode konflik internal dan perpecahan yang mengakibatkan pembagian wilayah antara Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta sesuai dengan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Keruntuhan Kesultanan Mataram yang terjadi di sekitar abad ke-18 ini terpicu akan beberapa faktor. Salah satunya adalah perselisihan mengenai pewarisan takhta.
Setelah kematian Sultan Agung, ada perselisihan di antara pewaris yang potensial, yang mengakibatkan perpecahan dan konflik internal dalam keluarga kerajaan.
Dari konflik tersebut Belanda mengambil keuntungan dengan mendukung pihak yang berseteru, sehingga memperburuk situasi.
Perjanjian Giyanti adalah perjanjian yang dihasilkan dari konflik di Kesultanan Mataram. Perjanjian ini, yang ditandatangani pada tahun 1755, membagi wilayah Mataram menjadi dua. Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Pemimpin dari masing-masing kesultanan ini diangkat oleh Belanda, yang secara efektif menjadikan mereka penguasa boneka di bawah kendali kolonial Belanda.
Pembagian wilayah antara Surakarta dan Yogyakarta mengurangi kekuasaan Kesultanan Mataram secara keseluruhan.
Peninggalan Kesultanan Mataram
Terdapat beberapa peninggalan yang membuktikan keberadaan dan keberjayaan Kesultanan Mataram, mulai dari masjid, makam hingga karya sastra.
Masjid Agung Kotagede yang dikenal sebagai Masjid tertua di Yogyakarta itu dibangun oleh Panembahan Senopati pada tahun 1575.
Makam Imogiri yang berada di Bantul dibangun oleh Sultan Agung pada tahun 1632. Kemudian ada Taman Sari yang dibangun Sunan Pakubuwana I pada tahun 1758.
Terdapat pula Serat Centhini yang merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang ditulis oleh Sunan Pakubuwana V pada tahun 1814.
(okt)