Pidato KH Hasyim Asya'ari Bangkitkan Kekuatan NU saat PKI Mulai Menebar Teror di Madiun
loading...
A
A
A
Agresi militer kedua baru saja dilancarkan tentara Belanda, di seluruh wilayah Indonesia. Pasukan pemenang perang dunia dua tersebut, menebar maut di seluruh penjuru Nusantara.
Saat desing peluru agresi militer Belanda, mengancam nyawa setiap rakyat Indonesia. Langkah berbeda dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Musso atau Munawar Muso dan Amir Sjarifuddin.
Tepat pada 75 tahun silam, yakni tanggal 18 September 1948, saat kemerdekaan Indonesia baru seumur jagung, Muso dengan barisan merah PKI melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia.
Sebelum meletus pemberontakan yang kemudian dikenal dengan Madiun Affair, orang-orang PKI atau FDR (Front Demokrasi Rakyat), telah menyebar teror yang membuat masyarakat tercekam ketakutan.
Terutama di wilayah Madiun dan sekitarnya, aksi pencurian, penganiayaan, perampokan dan pembunuhan merajalela. Aksi kejahatan yang terjadi lebih banyak menyasar tokoh agama, tokoh NU, tokoh Masyumi, dan orang-orang kaya yang berstatus haji.
Seiring itu, beredar seruan gelap di tengah masyarakat yang tengah kalut. Seruan itu berbunyi: "Jika ingin selamat, jauhi tokoh agama, Masyumi, dan NU, serta bergabunglah kepada PKI,".
NU tidak tinggal diam. Untuk menghentikan keresahan masyarakat yang semakin meluas, pada 24 Mei 1947, NU memutuskan menggelar Muktamar NU ke-17 di Madiun, yang merupakan pusat kegiatan PKI nasional.
"Karena itu sebagai tandingannya, NU juga menyelenggarakan kegiatan nasional di kota itu (Madiun)," demikian dikutip dari buku yang berjudul "Benturan NU PKI 1948-1965". NU sengaja mengambil lokasi muktamar di Madiun, yang sekaligus untuk memperlihatkan kekuatan umat Islam.
Muktamar NU ke-17 Madiun dihadiri hampir seluruh pengurus besar NU. Seluruh elemen Syuriah dan Tanfidziah, hadir. Begitu juga pimpinan konsul atau wilayah dan cabang dari seluruh Indonesia. Acara dibuka oleh khutbah iftitah (pidato pembukaan) Rais Akbar NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari.
Mbah Hasyim Asy'ari yang juga kakek Gus Dur itu, mengingatkan akan bahaya ajaran materialisme historis, atau historis materialisme yang menjadi filsafat ideologi komunisme (PKI).
Yakni, ajaran yang berpandangan tiada realitas di dunia ini kecuali benda, tidak ada roh dan tidak ada alam gaib. Ajaran yang tidak mempercayai adanya kehidupan sesudah mati. Tidak hanya tercela, Mbah Hasyim juga menilai berbahaya. Sebab dapat mempengaruhi penganutnya ke arah kekufuran dan penyimpangan.
"Bahaya besar ini, tidak akan terelakkan bila sudah tertanam dalam hati serta jiwa pemuda kita, dan yang demikian itu akan mengubah keyakinan dasar mereka terhadap agama Islam yang kita anut," kata Mbah Hasyim seperti dikutip dari Khutbah Iftitah yang disampaikan dalam Muktamar ke-17 NU di Madiun 24 Mei 1947.
Dalam khutbah iftitahnya di acara pembukaan Muktamar ke-17 NU di Madiun tersebut, Mbah Hasyim juga berseru kepada seluruh umat Islam untuk bergerak, menyatukan kekuatan, dan merapatkan barisan.
"Bergerak dan bangkitlah wahai saudaraku para ulama, kuatkan barisanmu, satukan seluruh kekuatanmu, tetaplah tegar dan percayalah bahwa tidak sedikit golongan yang kecil mampu mengalahkan golongan besar hanya karena kehendak Allah, karena Allah selalu bersama orang yang sabar".
Seruan Kiai Hasyim Asy'ari dalam Muktamar NU di Madiun tersebut, sontak mendorong NU mengonsolidasikan seluruh kekuatan NU dan pesantren. Konsolidasi kekuatan termasuk melibatkan pasukan Hizbullah dan Sabilillah di daerah yang baru pulang dari medan perang melawan Sekutu di Surabaya dan Ambarawa.
Konsolidasi kekuatan NU bertujuan meningkatkan keamanan warganya, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi berbagai ancaman yang kemungkinan terjadi. Kalangan muda NU yang tergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah memikul tugas baru. "Yaitu melindungi masyarakat dan aparat negara dari ancaman kelompok komunis (PKI atau FDR)".
Pemberontakan PKI Madiun meletus pada 18 September 1948, namun dalam waktu cepat berhasil dipadamkan. Muso sebagai pimpinan tertinggi PKI tewas dalam kontak tembak dengan pasukan TNI di wilayah Ponorogo.
Sementara Amir Sjarifuddin yang juga turut memimpin pemberontakan berdarah di Madiun tersebut, berhasil ditangkap dan kemudian dieksekusi. Mantan Perdana Menteri Indonesia di era pemerintahan Soekarno atau Bung Karno itu ditembak mati.
Saat desing peluru agresi militer Belanda, mengancam nyawa setiap rakyat Indonesia. Langkah berbeda dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Musso atau Munawar Muso dan Amir Sjarifuddin.
Tepat pada 75 tahun silam, yakni tanggal 18 September 1948, saat kemerdekaan Indonesia baru seumur jagung, Muso dengan barisan merah PKI melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia.
Sebelum meletus pemberontakan yang kemudian dikenal dengan Madiun Affair, orang-orang PKI atau FDR (Front Demokrasi Rakyat), telah menyebar teror yang membuat masyarakat tercekam ketakutan.
Terutama di wilayah Madiun dan sekitarnya, aksi pencurian, penganiayaan, perampokan dan pembunuhan merajalela. Aksi kejahatan yang terjadi lebih banyak menyasar tokoh agama, tokoh NU, tokoh Masyumi, dan orang-orang kaya yang berstatus haji.
Seiring itu, beredar seruan gelap di tengah masyarakat yang tengah kalut. Seruan itu berbunyi: "Jika ingin selamat, jauhi tokoh agama, Masyumi, dan NU, serta bergabunglah kepada PKI,".
NU tidak tinggal diam. Untuk menghentikan keresahan masyarakat yang semakin meluas, pada 24 Mei 1947, NU memutuskan menggelar Muktamar NU ke-17 di Madiun, yang merupakan pusat kegiatan PKI nasional.
"Karena itu sebagai tandingannya, NU juga menyelenggarakan kegiatan nasional di kota itu (Madiun)," demikian dikutip dari buku yang berjudul "Benturan NU PKI 1948-1965". NU sengaja mengambil lokasi muktamar di Madiun, yang sekaligus untuk memperlihatkan kekuatan umat Islam.
Muktamar NU ke-17 Madiun dihadiri hampir seluruh pengurus besar NU. Seluruh elemen Syuriah dan Tanfidziah, hadir. Begitu juga pimpinan konsul atau wilayah dan cabang dari seluruh Indonesia. Acara dibuka oleh khutbah iftitah (pidato pembukaan) Rais Akbar NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari.
Mbah Hasyim Asy'ari yang juga kakek Gus Dur itu, mengingatkan akan bahaya ajaran materialisme historis, atau historis materialisme yang menjadi filsafat ideologi komunisme (PKI).
Yakni, ajaran yang berpandangan tiada realitas di dunia ini kecuali benda, tidak ada roh dan tidak ada alam gaib. Ajaran yang tidak mempercayai adanya kehidupan sesudah mati. Tidak hanya tercela, Mbah Hasyim juga menilai berbahaya. Sebab dapat mempengaruhi penganutnya ke arah kekufuran dan penyimpangan.
"Bahaya besar ini, tidak akan terelakkan bila sudah tertanam dalam hati serta jiwa pemuda kita, dan yang demikian itu akan mengubah keyakinan dasar mereka terhadap agama Islam yang kita anut," kata Mbah Hasyim seperti dikutip dari Khutbah Iftitah yang disampaikan dalam Muktamar ke-17 NU di Madiun 24 Mei 1947.
Dalam khutbah iftitahnya di acara pembukaan Muktamar ke-17 NU di Madiun tersebut, Mbah Hasyim juga berseru kepada seluruh umat Islam untuk bergerak, menyatukan kekuatan, dan merapatkan barisan.
Baca Juga
"Bergerak dan bangkitlah wahai saudaraku para ulama, kuatkan barisanmu, satukan seluruh kekuatanmu, tetaplah tegar dan percayalah bahwa tidak sedikit golongan yang kecil mampu mengalahkan golongan besar hanya karena kehendak Allah, karena Allah selalu bersama orang yang sabar".
Seruan Kiai Hasyim Asy'ari dalam Muktamar NU di Madiun tersebut, sontak mendorong NU mengonsolidasikan seluruh kekuatan NU dan pesantren. Konsolidasi kekuatan termasuk melibatkan pasukan Hizbullah dan Sabilillah di daerah yang baru pulang dari medan perang melawan Sekutu di Surabaya dan Ambarawa.
Konsolidasi kekuatan NU bertujuan meningkatkan keamanan warganya, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi berbagai ancaman yang kemungkinan terjadi. Kalangan muda NU yang tergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah memikul tugas baru. "Yaitu melindungi masyarakat dan aparat negara dari ancaman kelompok komunis (PKI atau FDR)".
Pemberontakan PKI Madiun meletus pada 18 September 1948, namun dalam waktu cepat berhasil dipadamkan. Muso sebagai pimpinan tertinggi PKI tewas dalam kontak tembak dengan pasukan TNI di wilayah Ponorogo.
Sementara Amir Sjarifuddin yang juga turut memimpin pemberontakan berdarah di Madiun tersebut, berhasil ditangkap dan kemudian dieksekusi. Mantan Perdana Menteri Indonesia di era pemerintahan Soekarno atau Bung Karno itu ditembak mati.
(eyt)