Sejarah dan Asal Usul Nama Sampang, Komunitas Masyarakat Terbentuk Sebelum Kerajaan di Madura
loading...
A
A
A
SAMPANG merupakan sebuah kabupaten di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. Sama seperti wilayah lain pada umumnya, di kabupaten ini pun memiliki sejarah dan asal-usul tersendiri.
Sampang yang terkenal dengan makanan Bebek Songkem ini memang salah satu lokasi yang paling populer di Madura. Namun tidak banyak yang mengetahui tentang sejarah tempat tersebut.
Beberapa hari kemudian, Jokotole pun mengambil arah selatan dan bertemu mata air Nyubenger. Berdasarkan cerita daerah, dari perjalanan Jokotole, ada daerah-daerah yang terlewati dan masyarakat menyebutnya Sampang.
Dari sanalah, nama Sampang mulai familiar di kalangan masyarakat setempat. Terlebih lagi, nama Sampang ini sangat terkenal pada masa kekuasaan Adipati Pramono yang memegang julukan Adipati Pramono Penguasa Sampang.
Komunitas ini masih belum berstruktur dan masih berupa padepokan agama Budha dengan seorang “resi” sebagai titik sentralnya.
Menurut salah seorang ahli sejarah di Sampang, Drs Ali Daud Bey, sejarah ini dapat diketahui lewat temuan Candra Sangkala di situs sumur Daksan, Kelurahan Dalpenang, Sampang oleh para pakar sejarah dan arkeologi dari Mojokerto dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang dibantu oleh para pinisepuh dan ahli sejarah dari Sampang sendiri.
Sayangnya, keberadaan Candra Sangkala yang menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Sampang tersebut, tidak didukung oleh adanya temuan prasasti yang menggambarkan aktivitas masyarakat saat itu, sehingga prasasti itu tidak banyak memberikan informasi.
Namun, berdasarkan tulisan-tulisan para ahli sejarah dan kepurbakalaan Belanda, yang sampai saat ini masih dijadikan referensi oleh para pakar sejarah dan arkeologi Indonesia, terungkap beberapa aktivitas masyarakat pada masa kurun waktu yang terdapat pada Candra Sangkala tersebut.
Candra Sangkala yang ditemukan di situs bujuk Nandi ini menunjukkan paduan kelompok masyarakat yang menganut agama Syiwa.
Mereka biasanya membangun pusat peribadatannya berbentuk candi, dengan lambang ‘nandi’ atau lembu sebagai kendaraan raja Syiwa yang diagungkan. Sedangkan resinya, bernama Durga Mahishasura Mardhini
Komunitas masyarakat seperti ini, menurut para pakar sejarah, terjadi pada masa pemerintahan Daha dan Kediri abad 12 M.
Pada waktu itu, komunitas masyarakatnya sudah berstruktur namun tidak jelas, karena tidak ditemukan referensi pendukung secara tertulis seperti prasasti.
Tetapi, yang berhasil ditemukan hanya Sengkala Memet yang menunjukkan adanya padepokan agama Syiwa dan Budha, sekitar tahun 1379 M sampai 1383 M.
Sampang yang terkenal dengan makanan Bebek Songkem ini memang salah satu lokasi yang paling populer di Madura. Namun tidak banyak yang mengetahui tentang sejarah tempat tersebut.
Asal Usul Nama Sampang Madura
Dahulu, seorang pria bernama Jokotole dengan istrinya melakukan perjalanan pulang dari Majapahit ke Sumenep. Mereka berjalan kaki menuju Pantai Madura kemudian melalui Socah.Beberapa hari kemudian, Jokotole pun mengambil arah selatan dan bertemu mata air Nyubenger. Berdasarkan cerita daerah, dari perjalanan Jokotole, ada daerah-daerah yang terlewati dan masyarakat menyebutnya Sampang.
Dari sanalah, nama Sampang mulai familiar di kalangan masyarakat setempat. Terlebih lagi, nama Sampang ini sangat terkenal pada masa kekuasaan Adipati Pramono yang memegang julukan Adipati Pramono Penguasa Sampang.
Sejarah Sampang Madura
Dilansir dari laman Pemerintah Kabupaten Sampang, jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan ke daratan Madura, sekitar abad ke 7 M atau tepatnya pada tahun 835 M, di wilayah Kabupaten Sampang sudah ditemukan adanya komunitas masyarakat.Komunitas ini masih belum berstruktur dan masih berupa padepokan agama Budha dengan seorang “resi” sebagai titik sentralnya.
Menurut salah seorang ahli sejarah di Sampang, Drs Ali Daud Bey, sejarah ini dapat diketahui lewat temuan Candra Sangkala di situs sumur Daksan, Kelurahan Dalpenang, Sampang oleh para pakar sejarah dan arkeologi dari Mojokerto dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang dibantu oleh para pinisepuh dan ahli sejarah dari Sampang sendiri.
Sayangnya, keberadaan Candra Sangkala yang menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Sampang tersebut, tidak didukung oleh adanya temuan prasasti yang menggambarkan aktivitas masyarakat saat itu, sehingga prasasti itu tidak banyak memberikan informasi.
Namun, berdasarkan tulisan-tulisan para ahli sejarah dan kepurbakalaan Belanda, yang sampai saat ini masih dijadikan referensi oleh para pakar sejarah dan arkeologi Indonesia, terungkap beberapa aktivitas masyarakat pada masa kurun waktu yang terdapat pada Candra Sangkala tersebut.
Candra Sangkala yang ditemukan di situs bujuk Nandi ini menunjukkan paduan kelompok masyarakat yang menganut agama Syiwa.
Mereka biasanya membangun pusat peribadatannya berbentuk candi, dengan lambang ‘nandi’ atau lembu sebagai kendaraan raja Syiwa yang diagungkan. Sedangkan resinya, bernama Durga Mahishasura Mardhini
Komunitas masyarakat seperti ini, menurut para pakar sejarah, terjadi pada masa pemerintahan Daha dan Kediri abad 12 M.
Pada waktu itu, komunitas masyarakatnya sudah berstruktur namun tidak jelas, karena tidak ditemukan referensi pendukung secara tertulis seperti prasasti.
Tetapi, yang berhasil ditemukan hanya Sengkala Memet yang menunjukkan adanya padepokan agama Syiwa dan Budha, sekitar tahun 1379 M sampai 1383 M.
(shf)