Kemenkumham Jawa Timur Segera Deportasi Warga Singapura yang Jadi Dosen di Tulungagung

Rabu, 21 Juni 2023 - 08:28 WIB
loading...
A A A
Pada 2011, MB mendapatkan dokumen kependudukan. Tidak hanya KTP dan kartu keluarga, namun juga lengkap dengan akta lahir. “KTP menggunakan nama Y (inisial), lahir di Pacitan, 1973. Ini sudah bergeser dari identitas awal dari identitas yang di paspor Singapura,” katanya.

Padahal sebenarnya, sambung Arief, yang bersangkutan lahir pada tahun 1956. Di paspor Singapura itu juga dituliskan wilayah kelahiran, yakni Pacitan. “Jadi di Singapura juga ada wilayah dengan nama mirip Pacitan juga, yaitu Kampong Pachitan off Changi Rd S'pore,” jelas dia.

Yang bersangkutan juga sempat menikah dengan warga lokal Blitar dan menekuni profesi sebagai tenaga pendidik. Yakni dosen salah satu kampus di Kabupaten Tulungagung. “Ketika kami amankan kemarin, beliaunya juga masih mengajar atau menjadi dosen,” terangnya.

Keberdaan warga asing asal singapura ini cukup lama tidak terendus aparat. Arief mengungkapkan, pendataan dokumen keimigrasian kala itu masih menggunakan metode konvensional. Sehingga, warga asing ini bisa beraktivitas tanpa dilengkapi dengan dokumen resmi.

“Kami sudah konfirmasi ke Kedutaan Singapura. Dari sana terkonfirmasi yang bersangkutan masih tercatat sebagai warga Singapura. Kami cek juga ke Ditjen AHU, ternyata MB juga tidak pernah mengajukan perpindahan menjadi Warga Negara Indonesia,” ucapnya.

Selain warga Singapura, ada kasus pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh orang asing. Mereka adalah IM dan MW, warga Pakistan. Keduanya masuk Indonesia melalui jalur yang tidak resmi. Keduanya masuk lewat Malaysia dan tidak melalui petugas imigrasi.

Kanwil Kemenkumham Jatim rencananya akan dilakukan penegakan hukum keimigrasian (pro justitia) terhadap IM dan MW. Keduanya disangkakan telah melanggar pasal 119 Ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Sebab, keduanya masuk dan atau berada di wilayah Indonesia dan tidak mengantongi dokumen perjalanan dan visa yang sah dan masih berlaku. Ancaman pidananya penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp500 juta rupiah.

"Kami akan menaikkan statusnya dari pra penyidikan ke penyidikan, karena kami juga sudah memegang dua alat bukti yang cukup," jelas Hendro
(msd)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2191 seconds (0.1#10.140)