Jejak Pelacuran di Masa Kolonial Belanda Selalu Hidup Berdampingan dengan Pabrik Gula

Selasa, 07 Maret 2023 - 17:20 WIB
loading...
Jejak Pelacuran di Masa Kolonial Belanda Selalu Hidup Berdampingan dengan Pabrik Gula
Penampakan bangunan pabrik gula di Tulungagung, Jawa Timur peninggalan Kolonial Belanda, di sekitar lokasi jejak pelacuran masa kolonial Belanda masih terlihat. Foto: Istimewa
A A A
TULUNGAGUNG - Jejak prostitusi atau pelacuran dengan pabrik gula dan perkebunan (onderneming) di Jawa pada masa kolonial Belanda , ternyata selalu hidup berdampingan.

Jejak itu masih bisa terlacak hingga kini. Di wilayah Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur misalnya. Sebuah lokalisasi berdiri tidak jauh dari bekas pabrik gula peninggalan kolonial Belanda.

Namanya pabrik gula Kunir Wungu. Dibangun pada 16 April 1928, pabrik yang menyatu dengan perkebunan tebu itu, mulai dilaunching 14 Mei 1930. Sebulan kemudian, yakni tepatnya 1 Juni 1930, pabrik memulai giling pertamanya.



Pada masa pasca kemerdekaan, pabrik gula Kunir Wungu menjadi bagian PTPN X. Sebuah komplek pelacuran bertahan tidak jauh dari kawasan pabrik gula yang sebagian besar bangunannya tinggal puing-puing itu.

Lokalisasi yang bernama Kaliwungu itu sempat ditutup paksa pada awal pemerintahan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, namun kini telah beroperasi kembali.



Dari berbagai sumber yang dihimpun, munculnya jejak pelacuran di sekitar kawasan perkebunan dan pabrik gula di Jawa, khususnya di wilayah Jawa Timur terlacak mulai tahun 1890.

Praktik pelacuran banyak dipengaruhi gaya hidup para pekerja perkebunan, termasuk pabrik gula. Terutama pria Eropa yang merasa kesepian karena harus patuh dengan aturan perusahaan yang melarang membawa istri atau keluarga ke wilayah kerja.

Untuk memenuhi kebutuhan seksual, sebagian besar dari mereka kemudian mengambil perempuan lokal (pribumi) atau Jepang sebagai gundik atau nyai. Para perempuan itu tidak sedikit yang berstatus kuli kontrak perkebunan.



Kehadiran gundik tidak hanya untuk memuaskan kebutuhan ranjang, tapi juga mengatur urusan rumah tangga.

“Di antara mereka memang benar-benar berfungsi sebagai pengurus rumah tangga, sementara yang lainnya berfungsi rangkap,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).

Praktik pergundikan orang-orang Eropa di lingkungan perkebunan dan pabrik gula itu bukan tanpa penentangan. Sejumlah orang Eropa baik-baik (bermoral) yang tidak menyukai praktik amoral itu melontarkan protesnya.

Apalagi di beberapa tempat perkebunan ditemukan kasus penyiksaan, terutama terhadap gundik yang ketahuan serong dan sekaligus mencoba melarikan diri.

Pada tahun 1902, Mr J Van. Van Den Brand menuliskan penyiksaan kejam yang terjadi. Seorang pekerja perempuan yang menjadi gundik, diceritakan telah disiksa dengan cara diolesi bagian intimnya dengan sambal cabai.



Protes keras membuat keinginan para pria Eropa memelihara gundik menjadi menurun. Namun dampaknya, muncul praktik prostitusi. Para kuli perempuan yang kekurangan uang mulai menjajakan diri.

Siang hari bekerja dengan tangannya, dan malam hari berkeringat dengan tubuhnya. Pelanggan mereka bukan hanya golongan majikan, yakni mandor atau asisten ondernemer, melainkan juga para kuli atau pekerja biasa.

“Dengan kata lain, para tuan kebun kulit putih itu bersaing dengan para kuli lelaki dalam memuaskan nafsu mereka dengan para pelacur”.

Keberadaan para kuli perempuan dan pelacur secara tidak langsung berfungsi untuk mengikat para kuli pria perkebunan untuk terus memperpanjang kontrak kerja.

Belum lagi soal lilitan hutang akibat kalah taruhan di atas meja judi. Pelacuran dan judi yang muncul di kawasan perkebunan dan pabrik gula, telah menjadi ruang hiburan tersendiri bagi para pekerja kasar.

Pada awal abad ke-20, para perempuan kuli perkebunan telah menjadi komoditas seksual yang menguntungkan. Mereka diperdagangkan oleh para manajer, mandor dan pekerja pria pribumi.

Persaingan untuk mendapatkan perempuan tak jarang sampai merenggut nyawa. Jejak praktik pelacuran di kawasan perkebunan dan pabrik gula peninggalan kolonial Belanda itu hingga kini masih bisa dijumpai.
(nic)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2493 seconds (0.1#10.140)