Riwayat Penari Taledek dan Hobi Priyayi Jawa Mengumbar Birahi
loading...
A
A
A
BLITAR - Panggilan Taledek, Ronggeng atau Tandak disebagian masyarakat Jawa, terutama di wilayah eks Karsidenan Kediri dan sekitarnya, memiliki konotasi negatif. Sebutan taledek selalu merujuk pada tabiat perempuan gampangan.
Tudingan terhadap para wanita yang mudah berganti-ganti pasangan. Padahal dalam historisnya taledek merupakan sebutan untuk perempuan penari dalam sebuah kesenian tradisional tayub atau ludruk.
Di Betawi, taledek sama halnya dengan penari kesenian cokek. Serupa juga dengan penari wanita dalam pertunjukan dombret atu dongbret di Karawang, Jawa Barat.
Munculnya framing negatif terhadap taledek pertama kali dilakukan oleh kolonial Belanda. Taledek disamakan dengan perempuan yang bermoral longgar.
“Dalam ensiklopedi resmi yang diterbitkan pemerintah (kolonial Belanda), disebutkan bahwa ronggeng dan taledek adalah bagian istimewa dari prostitusi (pelacuran),” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu di Nusantara (2018).
Penilaian negatif kolonial Belanda terhadap perempuan taledek mengacu pada gerak tubuh si penari saat berpentas. Gerakan perempuan yang tengah menari dinilai erotis.
Pinggul yang bergoyang ke kiri dan kanan serta muka dan belakang dianggap sebagai sebuah gerakan seronok yang disengaja untuk membangkitkan birahi laki-laki.
Gerakan itu biasanya menempel dan sekaligus seolah menantang para penonton yang sebagian besar kaum pria.
Tudingan terhadap para wanita yang mudah berganti-ganti pasangan. Padahal dalam historisnya taledek merupakan sebutan untuk perempuan penari dalam sebuah kesenian tradisional tayub atau ludruk.
Di Betawi, taledek sama halnya dengan penari kesenian cokek. Serupa juga dengan penari wanita dalam pertunjukan dombret atu dongbret di Karawang, Jawa Barat.
Munculnya framing negatif terhadap taledek pertama kali dilakukan oleh kolonial Belanda. Taledek disamakan dengan perempuan yang bermoral longgar.
“Dalam ensiklopedi resmi yang diterbitkan pemerintah (kolonial Belanda), disebutkan bahwa ronggeng dan taledek adalah bagian istimewa dari prostitusi (pelacuran),” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu di Nusantara (2018).
Penilaian negatif kolonial Belanda terhadap perempuan taledek mengacu pada gerak tubuh si penari saat berpentas. Gerakan perempuan yang tengah menari dinilai erotis.
Pinggul yang bergoyang ke kiri dan kanan serta muka dan belakang dianggap sebagai sebuah gerakan seronok yang disengaja untuk membangkitkan birahi laki-laki.
Gerakan itu biasanya menempel dan sekaligus seolah menantang para penonton yang sebagian besar kaum pria.