Riwayat Penari Taledek dan Hobi Priyayi Jawa Mengumbar Birahi
loading...
A
A
A
Seorang bupati diimbau menyawer hanya 5-10 gulden. Kemudian jaksa hanya 2,5 gulden dan priyayi rendahan bergaji 15 gulden diharap menyawer taledek tidak lebih dari 1 gulden.
Kritik itu muncul dalam laporan surat kabar Darmo Kanda, pada 12 Juni dan 25 Agustus 1905.
Kritikan tajam kembali muncul pada 25 Februari 1909. Para priyayi yang menikmati tarian seronok penari taledek dalam sebuah pesta diimbau untuk tidak terlalu banyak menenggak alkohol.
Alkohol dianggap membuat priyayi kerap kehilangan diri sekaligus memalukan diri sendiri. Mereka diimbau tidak memanfaatkan acara tayuban untuk melampiaskan nafsu terhadap perempuan.
“Jika berbuat demikian, dia harus melakukannya di luar pesta, bukan di muka para wanita dan bangsawan," jelasnya.
Kritik terhadap priyayi Jawa terkait hobi berjoget dengan penari taledek terus bermunculan. Pada tahun 1913 terbit buku yang terang-terangan menyerang mentalitas priyayi Jawa.
Buku yang ditulis oleh Suwara, seorang nama samaran. Dalam bab berjudul Alaki Rabi: Wayuh Kaliyan Boten atau Mengenai Perkawinan: Poligami atau Monogami, mentalitas priyayi Jawa dikupas habis.
Dikatakan, kelakuan priyayi sudah tidak terkendali, dan hanya menjadi budak nafsu. Main perempuan, yakni di utamanya dengan penari taledek dianggap sebagai bagian dari budaya priyayi Jawa.
Kritik itu muncul dalam laporan surat kabar Darmo Kanda, pada 12 Juni dan 25 Agustus 1905.
Kritikan tajam kembali muncul pada 25 Februari 1909. Para priyayi yang menikmati tarian seronok penari taledek dalam sebuah pesta diimbau untuk tidak terlalu banyak menenggak alkohol.
Alkohol dianggap membuat priyayi kerap kehilangan diri sekaligus memalukan diri sendiri. Mereka diimbau tidak memanfaatkan acara tayuban untuk melampiaskan nafsu terhadap perempuan.
“Jika berbuat demikian, dia harus melakukannya di luar pesta, bukan di muka para wanita dan bangsawan," jelasnya.
Kritik terhadap priyayi Jawa terkait hobi berjoget dengan penari taledek terus bermunculan. Pada tahun 1913 terbit buku yang terang-terangan menyerang mentalitas priyayi Jawa.
Buku yang ditulis oleh Suwara, seorang nama samaran. Dalam bab berjudul Alaki Rabi: Wayuh Kaliyan Boten atau Mengenai Perkawinan: Poligami atau Monogami, mentalitas priyayi Jawa dikupas habis.
Dikatakan, kelakuan priyayi sudah tidak terkendali, dan hanya menjadi budak nafsu. Main perempuan, yakni di utamanya dengan penari taledek dianggap sebagai bagian dari budaya priyayi Jawa.