Asal Usul Ponorogo, Dicetuskan Utusan Demak saat Penyebaran Islam
loading...
A
A
A
PONOROGO - Kabupaten Ponorogo merupakan sebuah wilayahnya berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Konon daerah ini ada karena adanya pengaruh dari utusan Kesultanan Demak bernama Bathara Katong yang menyebarkan agama islam.
Sebagaimana dikisahkan dari "Kisah Brang Wetan : Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan", terjemahan Karsono Hardjoseputro, Bathara Katong berhasil mengalahkan seorang kerabat dekat Raja Majapahit Prabu Brawijaya V bernama Ki Ageng Kutu yang menganut agama Buddha.
Konon Bathara Katong membawahi sejumlah wilayah di sekitar Gunung Lawu dan memerintah dengan sangat tentram. Banyak orang yang menyukai dan benar-benar tunduk pada Bathara Katong. Ia memerintah hingga tua yang selanjutnya diserahkan ke anaknya yang bernama Panembahan Agung.
Baca juga: 4 Tahun Kepemimpinan Khofifah-Emil, Sejumlah Sektor Butuh Perhatian
Panembahan Agung inilah yang akhrinya dinobatkan sebagai adipati atau bupati kedua Ponorogo. Namun dari sini konon nama Ponorogo belum ada, yang ada hanyalah wilayah negara Batoro Katong, yang kemudian diubah menjadi nama Ponorogo.
Perubahan nama itu dilakukan ketika cucu Bathara Katong memerintah secara turun temurun dari warisan Panembahan Agung. Sang cucu konon pindah tempat tinggal, keluar dari pagar halaman Bathara Katong. Dia mem- bangun rumah di sebelah selatan kediaman Bathara Katong, sejauh setengah pal atau berjarak sekitar 1,5 kilometer.
Ketika membangun rumah tersebut, dia mengumpulkan para mukmin dan para kiai yang sudah jumhur atas agama Islam. Ketika itu para petinggi sudah "pana" atas "raga"-nya. Para penggawa tinggi sepakat negara Bathara Katong dinamakan "Panaraga [Ponorogo]", karena orang-orang sudah pana atas raga-nya. Pana berarti "paham" dan raga berarti "badan". Mereka memahami badannya, memahami asal muasal raganya, dan tahu pada akhir perjalanannya artinya, tahu kemuliaan sangkan paran yang berarti asal dan tujuan hidup.
Ketika itu juga, pangeran cucu Bathara Katong ditetapkan oleh Sultan Trenggono sebagai adipati, dan seluruhnya sudah sepakat dengan para mukmin dan petinggi bahwa rumah selesai dibangun, sehingga dilakukanlah boyongan dan jumenengan (pengangkatan) menjadi adipati.
Sejak saat itulah, tahun-tahun pemerintahan Adipati Ponorogo III termasuk tenteram. Orang-orang Ponorogo yang maju dalam hal mempelajari agama Islam bahkan kian bertambah, hingga terkenal ke seluruh Pulau Jawa bahwa orang-orang Ponorogo pintar mengaji kitab.
Setelah meninggal, Bathara Katong dimakamkan di dalam pagar Katongan, yang namanya kemudian diganti dengan Astana Bathara Katong. Di dalam, pagar rumah menjadi makam priayi yang lain dan empat saudaranya dimakamkan di Katongan tersebut.
Sebagaimana dikisahkan dari "Kisah Brang Wetan : Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan", terjemahan Karsono Hardjoseputro, Bathara Katong berhasil mengalahkan seorang kerabat dekat Raja Majapahit Prabu Brawijaya V bernama Ki Ageng Kutu yang menganut agama Buddha.
Konon Bathara Katong membawahi sejumlah wilayah di sekitar Gunung Lawu dan memerintah dengan sangat tentram. Banyak orang yang menyukai dan benar-benar tunduk pada Bathara Katong. Ia memerintah hingga tua yang selanjutnya diserahkan ke anaknya yang bernama Panembahan Agung.
Baca juga: 4 Tahun Kepemimpinan Khofifah-Emil, Sejumlah Sektor Butuh Perhatian
Panembahan Agung inilah yang akhrinya dinobatkan sebagai adipati atau bupati kedua Ponorogo. Namun dari sini konon nama Ponorogo belum ada, yang ada hanyalah wilayah negara Batoro Katong, yang kemudian diubah menjadi nama Ponorogo.
Perubahan nama itu dilakukan ketika cucu Bathara Katong memerintah secara turun temurun dari warisan Panembahan Agung. Sang cucu konon pindah tempat tinggal, keluar dari pagar halaman Bathara Katong. Dia mem- bangun rumah di sebelah selatan kediaman Bathara Katong, sejauh setengah pal atau berjarak sekitar 1,5 kilometer.
Ketika membangun rumah tersebut, dia mengumpulkan para mukmin dan para kiai yang sudah jumhur atas agama Islam. Ketika itu para petinggi sudah "pana" atas "raga"-nya. Para penggawa tinggi sepakat negara Bathara Katong dinamakan "Panaraga [Ponorogo]", karena orang-orang sudah pana atas raga-nya. Pana berarti "paham" dan raga berarti "badan". Mereka memahami badannya, memahami asal muasal raganya, dan tahu pada akhir perjalanannya artinya, tahu kemuliaan sangkan paran yang berarti asal dan tujuan hidup.
Ketika itu juga, pangeran cucu Bathara Katong ditetapkan oleh Sultan Trenggono sebagai adipati, dan seluruhnya sudah sepakat dengan para mukmin dan petinggi bahwa rumah selesai dibangun, sehingga dilakukanlah boyongan dan jumenengan (pengangkatan) menjadi adipati.
Sejak saat itulah, tahun-tahun pemerintahan Adipati Ponorogo III termasuk tenteram. Orang-orang Ponorogo yang maju dalam hal mempelajari agama Islam bahkan kian bertambah, hingga terkenal ke seluruh Pulau Jawa bahwa orang-orang Ponorogo pintar mengaji kitab.
Setelah meninggal, Bathara Katong dimakamkan di dalam pagar Katongan, yang namanya kemudian diganti dengan Astana Bathara Katong. Di dalam, pagar rumah menjadi makam priayi yang lain dan empat saudaranya dimakamkan di Katongan tersebut.
(msd)