Sekjen KAGAMA: Perubahan Kebiasaan Baru Butuh Paham Sosial-Budaya Masyarakat
Minggu, 12 Juli 2020 - 21:06 WIB
SEMARANG - Terdapat kesalahan persepsi di masyarakat dalan menangkap diksi normal baru (new normal) di masa pandemi Covid-19. Karena yang lebih diingat menjadi memori kolektif masyarakat justru adalah diksi normal dibandingkan pada diksi new (baru) dalam new normal. Jika persepsi itu terbentuk maka hal itu akan bisa kontra produktif bagi upaya bersama untuk pengendalian penyebaran Covid-19.
Karena itu diperlukan metode sosialisasi dan juga edukasi publik yang lebih memahami karakteristik masyarakat dari sisi psikologis, sosiologis maupun juga budaya. Itu artinya dalam adaptasi budaya baru memerlukan pelibatan kolaborasi pendekatan multi disiplin keilmuan.
Bukan hanya epidemolog, ahli kesehatan masayarakakat tapi antropolog, sejarawan, ahli bahasa, sosiolog, pakar budaya dan sebagainya. Dengan cara itu protokol kesehatan akan bisa lebih efektif menimbulkan perubahan perilaku dan membentuk tatanan budaya baru dalam masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana, dalam seminar UGM Talks, Sinergi KAGAMA dan UGM: Membangun Budaya Tatanan Baru Melalui Pengelolaan Perilaku, pada Minggu (12/07/2020) secara daring.
Dalam memberi pengantar diskusi ini, kata Ari, menekankan pentingnya interdisipliner. Artinya melibatkan banyak pakar atau ahli dari berbagai ilmu. Dengan demikian, pengelolaan perilaku memiliki basis yang kuat secara akademik maupun praktik.
"Jika kita bicara tentang pengelolaan perilaku, berarti kita juga bicara soal sejarah wabah, pandemi, dan bencana alam. Ini sebetulnya memuat ingatan kolektif kita terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu dan inilah yang dibangkitkan kembali," ujar Ari.
Termasuk berbagai pandangan dari para antropolog dan sosiolog, menurutnya sangat penting dalam mempersiapkan masyarakat untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru.
"Jangankan dalam jangka pendek, dalam jangka panjang pun perubahan perilaku membutuhkan suatu kolaborasi antar berbagai disiplin keilmuan. Saya yakin UGM bisa memfasilitasi pembahasan ini," ungkap alumnus Departemen Politik dan Pemerintahan UGM itu.
Pendekatan Multi Jalur
Karena itu diperlukan metode sosialisasi dan juga edukasi publik yang lebih memahami karakteristik masyarakat dari sisi psikologis, sosiologis maupun juga budaya. Itu artinya dalam adaptasi budaya baru memerlukan pelibatan kolaborasi pendekatan multi disiplin keilmuan.
Bukan hanya epidemolog, ahli kesehatan masayarakakat tapi antropolog, sejarawan, ahli bahasa, sosiolog, pakar budaya dan sebagainya. Dengan cara itu protokol kesehatan akan bisa lebih efektif menimbulkan perubahan perilaku dan membentuk tatanan budaya baru dalam masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana, dalam seminar UGM Talks, Sinergi KAGAMA dan UGM: Membangun Budaya Tatanan Baru Melalui Pengelolaan Perilaku, pada Minggu (12/07/2020) secara daring.
Dalam memberi pengantar diskusi ini, kata Ari, menekankan pentingnya interdisipliner. Artinya melibatkan banyak pakar atau ahli dari berbagai ilmu. Dengan demikian, pengelolaan perilaku memiliki basis yang kuat secara akademik maupun praktik.
"Jika kita bicara tentang pengelolaan perilaku, berarti kita juga bicara soal sejarah wabah, pandemi, dan bencana alam. Ini sebetulnya memuat ingatan kolektif kita terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu dan inilah yang dibangkitkan kembali," ujar Ari.
Termasuk berbagai pandangan dari para antropolog dan sosiolog, menurutnya sangat penting dalam mempersiapkan masyarakat untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru.
"Jangankan dalam jangka pendek, dalam jangka panjang pun perubahan perilaku membutuhkan suatu kolaborasi antar berbagai disiplin keilmuan. Saya yakin UGM bisa memfasilitasi pembahasan ini," ungkap alumnus Departemen Politik dan Pemerintahan UGM itu.
Pendekatan Multi Jalur
tulis komentar anda