Kisah Bung Hatta Hentikan Kebiasaan Tentara Jepang Tempeleng Kepala Orang Indonesia

Jum'at, 05 Agustus 2022 - 14:00 WIB
Sebagai penasihat militer pemerintah Jepang di Jakarta, Hatta memperoleh tempat tinggal sendiri di Jalan Diponegoro No 57. Kantor Penasihat Umum tempatnya bekerja menyandang tugas sebagai penghubung antara pihak Jepang dengan para pemimpin Indonesia.

Hatta diberi keleluasaan berkantor sendiri dengan staf yang dipilihnya sendiri. Umumnya, mereka semua berasal dari orang-orang pergerakan.

“Termasuk A. Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkusumo, Supomo dan Margono Djojohadikusumo,” seperti dikutip dari Memoir Mohammad Hatta (1979).

Dengan sarannya kepada Jepang untuk menghentikan kebiasaan menempeleng kepala, kantor Hatta tidak hanya menjadi penghubung. Kantor Penasihat Umum itu juga menjadi tempat rakyat menyampaikan keluh kesah atas perlakuan kasar orang-orang Jepang.

Selain penghentian kebiasaan menempeleng kepala, perhatian Bung Hatta juga tertuju pada tradisi saikeirei Jepang. Saikeirei merupakan tradisi orang Jepang menghormati kaisarnya yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Setiap pagi badan dibungkukkan 90 derajat dengan ke arah Tokyo.

Pemerintah Jepang mewajibkan tradisi saikerei kepada pegawai pemerintah, murid sekolah dan masyarakat dalam upacara rutin dan setiap upacara resmi. Saat membungkukkan badan, mereka juga diharuskan mengucap sumpah yang intinya bertekad bulat dan taat berjuang bersama Jepang.

Hatta menjelaskan jika ritual saikeirei menyerupai rukuk dalam ibadah Islam. Menghormat dengan cara saikeirei sama halnya melebih tinggikan Tenno Heiko daripada Allah.

Hatta secara tidak langsung menyampaikan aspirasi aktifis Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yakni cikal bakal Masyumi yang menolak saikeirei.

“Hatta mengemukakan bahwa cara saikeirei ini menusuk hati umat Islam, karena dihubungkan dengan rukuk tadi,” tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta Biografi Politik.

Dalam praktiknya, penjajah Jepang tetap memberlakukan saikeirei. Mereka yang menolak, seringkali diperlakukan kasar. Dalam catatan sejarah, Haji Abdul Karim Amrullah (1879- 1945), yakni ayah Hamka menolak saikeirei. Demikian pula Hadratussyaikh Hasyim As’yari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga melakukan sikap sama.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More