Gedung Lawang Sewu Semarang, Saksi Bisu Pertempuran 5 Hari AMKA Melawan Tentara Jepang
Jum'at, 01 April 2022 - 10:15 WIB
SEMARANG - Gedung Lawang Sewu di Jalan Pemuda Semarang merupakan bangunan benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi. Semula Lawang Sewu merupakan kantor administrasi ereta api Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Gedung yang dibangun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1900 ini, juga menjadi saksi bisu dari peristiwa pertempuran lima hari yang berlangsung pada tahun 1945 antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) dengan tentara Jepang.
Gedung Lawang Sewu dibangun secara bertahap di atas lahan seluas 18.232 meter persegi. Gedung ini dirancang oleh arsitek yang berbeda.
Menurut istilah orang Jawa, lawang berarti pintu dan sewu bermakna seribu atau menjadi kata yang mewakili angka paling banyak di zaman dahulu. Sehingga Lawang Sewu artinya seribu pintu.
Namun, kalau dilihat dari jumlah aslinya, Lawang Sewu ini memiliki 928 pintu. Hanya kurang 72 pintu saja bukan untuk benar-benar disebut angka seribu (sewu).
Menurut keterangan salah seorang tour guide Aris, Lawang Sewu terdiri dari lima bangunan. Proses perancangan awal Lawang Sewu dimulai oleh seorang arsitek asal Belanda Ir. P. de Rieu. Bangunan yang pertama kali dibuat adalah gedung C yang difungsikan sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada tahun 1900.
Setelah Ir. P. de Rieu meninggal dunia, kemudian Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag ditunjuk untuk melanjutkan pembangunan Lawang Sewu. Pengerjaan gedung A sebagai kantor utama NIS pun dimulai pada Februari 1904 dan selesai Juli 1907.
“Kalau kita lihat bentuk bangunannya (bentuk dalam gedung A) seperti gerbong kereta. Jadi semuanya saling berhubungan seperti gerbong kereta api. Ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi orang Belanda kala itu,” kata Aris dalam keterangan tertulis yang dirilis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kamis (31/3/2022).
Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka dibangunlah beberapa gedung pendukung. Yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916-1918. Gedung B masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara untuk gedung D dan E arsiteknya Thomas Karsten. Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.
Gedung yang dibangun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1900 ini, juga menjadi saksi bisu dari peristiwa pertempuran lima hari yang berlangsung pada tahun 1945 antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) dengan tentara Jepang.
Gedung Lawang Sewu dibangun secara bertahap di atas lahan seluas 18.232 meter persegi. Gedung ini dirancang oleh arsitek yang berbeda.
Menurut istilah orang Jawa, lawang berarti pintu dan sewu bermakna seribu atau menjadi kata yang mewakili angka paling banyak di zaman dahulu. Sehingga Lawang Sewu artinya seribu pintu.
Namun, kalau dilihat dari jumlah aslinya, Lawang Sewu ini memiliki 928 pintu. Hanya kurang 72 pintu saja bukan untuk benar-benar disebut angka seribu (sewu).
Menurut keterangan salah seorang tour guide Aris, Lawang Sewu terdiri dari lima bangunan. Proses perancangan awal Lawang Sewu dimulai oleh seorang arsitek asal Belanda Ir. P. de Rieu. Bangunan yang pertama kali dibuat adalah gedung C yang difungsikan sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada tahun 1900.
Setelah Ir. P. de Rieu meninggal dunia, kemudian Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag ditunjuk untuk melanjutkan pembangunan Lawang Sewu. Pengerjaan gedung A sebagai kantor utama NIS pun dimulai pada Februari 1904 dan selesai Juli 1907.
“Kalau kita lihat bentuk bangunannya (bentuk dalam gedung A) seperti gerbong kereta. Jadi semuanya saling berhubungan seperti gerbong kereta api. Ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi orang Belanda kala itu,” kata Aris dalam keterangan tertulis yang dirilis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kamis (31/3/2022).
Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka dibangunlah beberapa gedung pendukung. Yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916-1918. Gedung B masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara untuk gedung D dan E arsiteknya Thomas Karsten. Ia menjadi arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.
tulis komentar anda