Kisah Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Pernah Ditempeleng Perwira Jepang
Kamis, 27 Januari 2022 - 20:02 WIB
Penaklukan Jakarta, lalu pulau Jawa oleh Jepang (1942-1945) mengakibatkan hilangnya orang Belanda dari pemandangan di tempat-tempat umum. "Pada pihak lain, rakyat Indonesia mulanya tidaklah takut terhadap Jepang," kata Hoegeng dalam “Hoegeng, Polisi : Idaman dan Kenyataan”.
Sejak Jepang menduduki Jakarta, kampus RHS tutup. Namun suatu hari, yakni di hari Sabtu, muncul kabar Jepang akan mengumpulkan seluruh mahasiswa di kampus, tidak terkecuali Hoegeng.
Ia mendapat kabar itu dari seorang petugas yang diduga sebagai kurir Jepang. "Ia bilang kuliah akan dibuka kembal". Kabar itu benar adanya. Esok harinya, seluruh mahasiswa termasuk Hoegeng berkumpul di kampus.
Kampus RHS berada di sebelah Gedung Museum Gajah. Di gedung tempat pertemuan itu, tidak terlihat satu pun professor atau dosen kampus. Selain mahasiswa, terlihat seorang perwira Kenpetai (polisi rahasia Jepang) bersama sejumlah bawahannya.
Perwira Jepang itu memberi pengumuman, di hari itu para mahasiswa ditugasi memindahkan semua buku-buku ke museum.
Hoegeng yang sempat berbicara langsung ditugasi memindahkan buku Prof Van Den Berg. Meski Hoegeng akan hendak melakukan tugasnya, namun perwira Jepang itu mengatakan : Tunggu jam 01.00, mulai jam 01.00!.
Saat itu arloji Hoegeng menunjukkan pukul 09.00 lebih. Menjelang pukul 01.00, Hoegeng kembali ke tempat, menemui perwira muda Jepang untuk menyatakan siap memindahkan buku Prof Van Den Berg.
Sang perwira menengok jam tangannya, dan wajahnya berubah tak senang. Tangannya tiba-tiba terayun, menempeleng pipi Hoegeng. "Hari sudah pukul setengah tiga!," katanya seperti tertulis dalam “Hoegeng, Polisi : Idaman dan Kenyataan”.
Ia tidak jadi diperintah memindahkan buku Prof Van Den Berg. Hoegeng awalnya tak mengerti. Baru kemudian ia sadar, semuanya karena salah paham.
Perwira Jepang memakai jam tangan dengan waktu Tokyo. Sedangkan arloji yang dipakai Hoegeng menggunakan waktu Indonesia atau Jakarta. "Meskipun dapat tempeleng, anehnya saya tidak takut karena memang merasa tak bersalah," kata Hoegeng.
Sejak Jepang menduduki Jakarta, kampus RHS tutup. Namun suatu hari, yakni di hari Sabtu, muncul kabar Jepang akan mengumpulkan seluruh mahasiswa di kampus, tidak terkecuali Hoegeng.
Ia mendapat kabar itu dari seorang petugas yang diduga sebagai kurir Jepang. "Ia bilang kuliah akan dibuka kembal". Kabar itu benar adanya. Esok harinya, seluruh mahasiswa termasuk Hoegeng berkumpul di kampus.
Kampus RHS berada di sebelah Gedung Museum Gajah. Di gedung tempat pertemuan itu, tidak terlihat satu pun professor atau dosen kampus. Selain mahasiswa, terlihat seorang perwira Kenpetai (polisi rahasia Jepang) bersama sejumlah bawahannya.
Perwira Jepang itu memberi pengumuman, di hari itu para mahasiswa ditugasi memindahkan semua buku-buku ke museum.
Hoegeng yang sempat berbicara langsung ditugasi memindahkan buku Prof Van Den Berg. Meski Hoegeng akan hendak melakukan tugasnya, namun perwira Jepang itu mengatakan : Tunggu jam 01.00, mulai jam 01.00!.
Saat itu arloji Hoegeng menunjukkan pukul 09.00 lebih. Menjelang pukul 01.00, Hoegeng kembali ke tempat, menemui perwira muda Jepang untuk menyatakan siap memindahkan buku Prof Van Den Berg.
Sang perwira menengok jam tangannya, dan wajahnya berubah tak senang. Tangannya tiba-tiba terayun, menempeleng pipi Hoegeng. "Hari sudah pukul setengah tiga!," katanya seperti tertulis dalam “Hoegeng, Polisi : Idaman dan Kenyataan”.
Ia tidak jadi diperintah memindahkan buku Prof Van Den Berg. Hoegeng awalnya tak mengerti. Baru kemudian ia sadar, semuanya karena salah paham.
Perwira Jepang memakai jam tangan dengan waktu Tokyo. Sedangkan arloji yang dipakai Hoegeng menggunakan waktu Indonesia atau Jakarta. "Meskipun dapat tempeleng, anehnya saya tidak takut karena memang merasa tak bersalah," kata Hoegeng.
tulis komentar anda