Haji di Zaman Belanda, Jamaah Dikarantina Sebulan Sebelum Berangkat
Jum'at, 05 Juni 2020 - 05:00 WIB
PEMERINTAHRepublik Indonesia telah memutuskan membatalkan pemberangkatan jamaah haji tahun ini ke Tanah Suci. Pandemi COVID-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dinilai dapat mengancam keselamatan jamaah. Apalagi hingga kini Arab Saudi, sebagai penjaga dua kota suci, Mekkah dan Madinah, juga belum membuka akses bagi negara lain untuk masuk ke wilayahnya.
Pembatalan ini membuat sebagian asrama haji yang biasanya ramai sejak sebulan sebelum Hari Raya Idul Adha menjadi sepi. Namun sebagian lain tetap ada aktivitas lantaran dimanfaatkan sebagai tempat isolasi pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19. Seperti Asrama Haji DIY, berlokasi di Sinduadi, Mlati, Sleman yang digunakan untuk meng karantina orang-orang yang reaktif corona.
Situasi seperti ini mengingatkan kembali pada fungsi awal asrama haji, yakni untuk meng karantina jamaah haji. Pada 1970, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Indonesia sebagai negara endemik penyakit kolera. Setiap WNI yang akan ke luar negeri wajib dikarantina sebelum berangkat. Atas dasar ini, Pemerintah Arab Saudi kemudian mengeluarkan aturan agar jamaah haji Indonesia dikarantina selama lima hari sebelum terbang ke Tanah Suci dan lima hari setelah kembali ke Tanah Air. ( )
Aturan ini berlangsung hingga 1972. Setahun kemudian masa karantina jamaah haji dikurangi, yakni hanya 3 hari sebelum berangkat dan tiga hari setelah pulang dari Arab Saudi.
Kewajiban karantina bagi jamaah haji sebenarnya juga telah dilakukan di masa Hindia Belanda. Bahkan masa karantinanya lebih lama, sebulan sebelum berangkat ke Tanah Suci dan sebulan setelah tiba di Tanah Air.
Ada dua lokasi yang digunakan untuk karantina haji pada masa itu, yaitu Pulau Rubiah, Sabang, Aceh dan Pulau Onrust, Kepulauan Seribu yang saat itu masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta. Bagi jamaah haji dari Aceh dan daerah lain di Sumatera akan dikarantina di Pulau Rubiah, sedangkan jamaah haji di Jawa ditempatkan di Pulau Onrust.
Meski hampir berbarengan, tapi Pulau Rubiah adalah tempat pertama yang ditetapkan sebagai lokasi karantina haji. Pada 1920, dibangun beberapa gedung di atas lahan seluas 10 hektare untuk menampung jamaah haji. Kini ada dua bangunan yang masih berdiri meski tidak terawat, sementara bangunan lain sudah lapuk dimakan usia.
Salah satu keturunan pemilik sebagian tanah di Pulau Rubiah, Teuku Yahya menuturkan bahwa pada zaman kolonial Belanda, bangunan karantina haji memiliki berbagai fasilitas seperti penginapan, rumah sakit, laundri, kamar mandi, dan sumber listrik. Jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci dari jalur laut transit terlebih dahulu di Pulau Rubiah. Setelah masa karantina selesai, mereka baru diantarkan dengan kapal menuju kapal besar.
Selama proses karantina, kegiatan yang dilakukan jamaah adalah belajar manasik haji dan menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Pembatalan ini membuat sebagian asrama haji yang biasanya ramai sejak sebulan sebelum Hari Raya Idul Adha menjadi sepi. Namun sebagian lain tetap ada aktivitas lantaran dimanfaatkan sebagai tempat isolasi pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19. Seperti Asrama Haji DIY, berlokasi di Sinduadi, Mlati, Sleman yang digunakan untuk meng karantina orang-orang yang reaktif corona.
Situasi seperti ini mengingatkan kembali pada fungsi awal asrama haji, yakni untuk meng karantina jamaah haji. Pada 1970, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Indonesia sebagai negara endemik penyakit kolera. Setiap WNI yang akan ke luar negeri wajib dikarantina sebelum berangkat. Atas dasar ini, Pemerintah Arab Saudi kemudian mengeluarkan aturan agar jamaah haji Indonesia dikarantina selama lima hari sebelum terbang ke Tanah Suci dan lima hari setelah kembali ke Tanah Air. ( )
Aturan ini berlangsung hingga 1972. Setahun kemudian masa karantina jamaah haji dikurangi, yakni hanya 3 hari sebelum berangkat dan tiga hari setelah pulang dari Arab Saudi.
Kewajiban karantina bagi jamaah haji sebenarnya juga telah dilakukan di masa Hindia Belanda. Bahkan masa karantinanya lebih lama, sebulan sebelum berangkat ke Tanah Suci dan sebulan setelah tiba di Tanah Air.
Ada dua lokasi yang digunakan untuk karantina haji pada masa itu, yaitu Pulau Rubiah, Sabang, Aceh dan Pulau Onrust, Kepulauan Seribu yang saat itu masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta. Bagi jamaah haji dari Aceh dan daerah lain di Sumatera akan dikarantina di Pulau Rubiah, sedangkan jamaah haji di Jawa ditempatkan di Pulau Onrust.
Meski hampir berbarengan, tapi Pulau Rubiah adalah tempat pertama yang ditetapkan sebagai lokasi karantina haji. Pada 1920, dibangun beberapa gedung di atas lahan seluas 10 hektare untuk menampung jamaah haji. Kini ada dua bangunan yang masih berdiri meski tidak terawat, sementara bangunan lain sudah lapuk dimakan usia.
Salah satu keturunan pemilik sebagian tanah di Pulau Rubiah, Teuku Yahya menuturkan bahwa pada zaman kolonial Belanda, bangunan karantina haji memiliki berbagai fasilitas seperti penginapan, rumah sakit, laundri, kamar mandi, dan sumber listrik. Jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci dari jalur laut transit terlebih dahulu di Pulau Rubiah. Setelah masa karantina selesai, mereka baru diantarkan dengan kapal menuju kapal besar.
Selama proses karantina, kegiatan yang dilakukan jamaah adalah belajar manasik haji dan menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala.
tulis komentar anda