Kisah Buaya Kuning Penjaga dan Suku Dayak Tunjung
Jum'at, 23 Juli 2021 - 05:00 WIB
Di setiap upaya penyerangan, sambungnya, buaya ini tak bisa ditembus dan dikalahkan. Para penyerang kemudian putus asa dan hingga kini Desa Enggelam tetap aman.
Lokasi buaya kuning berada di salah satu sudut sungai. Lokasinya seolah menjadi gerbang masuk ke desa.
Uniknya, di tepi sungai tempat buaya kuning berada tanahnya berupa pasir. Sementara sedikit naik ke darat, ada batu besar yang sangat mencolok.
Dahulu, beberapa warga sempat melihat kemunculan buaya ini. Meski demikian, banyak juga yang percaya, hewan tersebut merupakan makhluk gaib yang memang menjadi penghuni desa tersebut.
“Warga menamakan tempat ini sebagai Batu Berhala yang kemudian dijadikan simbol untuk memohon sesuatu,” papar Mong.
Karena sudah menolong dan melindungi desa dari ancaman penyerangan, warga kemudian menjadikan lokasi buaya kuning sebagai ritual untuk meminta dan memohon sesuatu.
“Kalau mau membangun usaha, seperti membuka ladang, penduduk desa ke sini dengan membawa sesuatu seperti makanan kemudian memohon sesuatu. Permohonan harus disertai dengan nazar, jika berhasil atau sukses, harus kembali dengan memberikan sesuatu,” kata Mong di lokasi Batu Berhala.
Di lokasi buaya kuning banyak terlihat tongkat kayu ulin dengan ukiran khas Suku Dayak Tunjung. Rata-rata tingginya satu meter.
Mong menjelaskan, dahulu setiap permohonan, selain membawa sesuatu sebagai niat tulus meminta, juga harus menancapkan kayu ulin di batu. Ulin tersebut kini menumpuk ke tengah, berdiri saling menumpuk.
Penggunaan tongkat ulin sekarang sudah kurang dipilih sebagai syarat permohonan. Warga hanya membawa makanan atau sesuatu yang dijadikan persembahan dan ditaruh di sebuah meja kayu di atas batu tersebut.
Lokasi buaya kuning berada di salah satu sudut sungai. Lokasinya seolah menjadi gerbang masuk ke desa.
Uniknya, di tepi sungai tempat buaya kuning berada tanahnya berupa pasir. Sementara sedikit naik ke darat, ada batu besar yang sangat mencolok.
Dahulu, beberapa warga sempat melihat kemunculan buaya ini. Meski demikian, banyak juga yang percaya, hewan tersebut merupakan makhluk gaib yang memang menjadi penghuni desa tersebut.
“Warga menamakan tempat ini sebagai Batu Berhala yang kemudian dijadikan simbol untuk memohon sesuatu,” papar Mong.
Karena sudah menolong dan melindungi desa dari ancaman penyerangan, warga kemudian menjadikan lokasi buaya kuning sebagai ritual untuk meminta dan memohon sesuatu.
“Kalau mau membangun usaha, seperti membuka ladang, penduduk desa ke sini dengan membawa sesuatu seperti makanan kemudian memohon sesuatu. Permohonan harus disertai dengan nazar, jika berhasil atau sukses, harus kembali dengan memberikan sesuatu,” kata Mong di lokasi Batu Berhala.
Di lokasi buaya kuning banyak terlihat tongkat kayu ulin dengan ukiran khas Suku Dayak Tunjung. Rata-rata tingginya satu meter.
Mong menjelaskan, dahulu setiap permohonan, selain membawa sesuatu sebagai niat tulus meminta, juga harus menancapkan kayu ulin di batu. Ulin tersebut kini menumpuk ke tengah, berdiri saling menumpuk.
Penggunaan tongkat ulin sekarang sudah kurang dipilih sebagai syarat permohonan. Warga hanya membawa makanan atau sesuatu yang dijadikan persembahan dan ditaruh di sebuah meja kayu di atas batu tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda