Rampogan Macan-Sima Maesa, Cara Orang Jawa Membunuh Kolonial Belanda
Minggu, 27 Juni 2021 - 05:00 WIB
Disisi lain jumlah manusia yang mati dibunuh harimau pada tahun 1860-an sebanyak 120 orang per tahun dan 30 orang sekitar tahun 1900. Mulai tahun 1923 tradisi Rampogan Macan menghilang dari wilayah Jawa Timur. Baik di alun-alun Blitar maupun Kediri, tidak ada lagi gelanggang pembantaian harimau. Tradisi gladiator Jawa tersebut punah. Sebelum lenyap, nilai perlawanan terhadap kolonial Belanda yang diusung tradisi Rampogan Macan, lebih dulu bergeser. Baca: Menelisik Bungker Misterius di Tepian Waduk Saguling Bandung Barat.
Simbolisasi harimau sebagai Belanda yang kejam, penindas dan karenanya harus dilawan sampai tumpas, tidak lagi dikenal rakyat. Pertarungan hidup mati antara seekor harimau melawan para gandek dengan tombak terhunus hanya menjadi pertunjukan hiburan sekaligus pengiring upacara keagamaan. Harimau ditafsirkan ulang menjadi simbol baru. Tidak lagi dipandang sebagai entitas negatif yang harus dimusnahkan selamanya.
Hal ini terkait erat dengan pelaksanaan Rampog Macan yang selalu digelar jelang lebaran. Harimau dapat diartikan sebagai sifat-sifat buruk manusiawi yang meskipun dilawan, tetapi hal tersebut akan tetap ada dalam lingkup kehidupan dunia. "Oleh karena itu setiap tahun setidaknya sekali, Rampog Macan diibaratkan sebagai proses untuk mensucikan keburukan-keburukan manusia," kata Dihan Amiluhur dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19". Baca Juga: Tumpes Kelor, Cara Keji Belanda Menghabisi Keturunan Untung Surapati di Jawa Timur.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
Simbolisasi harimau sebagai Belanda yang kejam, penindas dan karenanya harus dilawan sampai tumpas, tidak lagi dikenal rakyat. Pertarungan hidup mati antara seekor harimau melawan para gandek dengan tombak terhunus hanya menjadi pertunjukan hiburan sekaligus pengiring upacara keagamaan. Harimau ditafsirkan ulang menjadi simbol baru. Tidak lagi dipandang sebagai entitas negatif yang harus dimusnahkan selamanya.
Hal ini terkait erat dengan pelaksanaan Rampog Macan yang selalu digelar jelang lebaran. Harimau dapat diartikan sebagai sifat-sifat buruk manusiawi yang meskipun dilawan, tetapi hal tersebut akan tetap ada dalam lingkup kehidupan dunia. "Oleh karena itu setiap tahun setidaknya sekali, Rampog Macan diibaratkan sebagai proses untuk mensucikan keburukan-keburukan manusia," kata Dihan Amiluhur dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19". Baca Juga: Tumpes Kelor, Cara Keji Belanda Menghabisi Keturunan Untung Surapati di Jawa Timur.
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
(nag)
tulis komentar anda