Rampogan Macan-Sima Maesa, Cara Orang Jawa Membunuh Kolonial Belanda
Minggu, 27 Juni 2021 - 05:00 WIB
Sementara rakyat jelata, kaum kromo berdiri menonton di atas rumput alun-alun dengan jarak 36 kaki dari arena dengan pembatas seutas tali. Diiringi tabuhan gamelan serta tiupan terompet yang memekakkan telinga. Macan dikeluarkan dari sekapan kotak kayu jati. Harimau yang menolak keluar, dipaksa dengan sundutan api serta siraman air mendidih.
Di tengah alun-alun. Macan yang usai bertarung melawan kerbau dalam tradisi Sima Maesa (Harimau Kerbau) tersebut, dihabisi. "Rampog Macan umumnya dilakukan setelah pertarungan Sima Maesa," tulis Dihan Amiluhur dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19".
Di Jawa, tradisi mengadu binatang sudah ada sejak era kerajaan Mataram Islam. Tahun 1792. Saat Gubernur Jendral Belanda Pieter Van Overstraten mengunjungi Yogyakarta, ia menyaksikan acara tradisi Sima Maesa yang dilanjut Rampogan Macan. Saat itu bertepatan meninggalnya Sultan Hamengkuwono I.
Richard von Carlowitz, seorang berkebangsaan Jerman saat bertandang ke Jawa juga menyaksikan pertarungan kerbau melawan harimau yang digelar sultan. Saat itu tahun 1846. Richard menuliskan catatan perjalanannya dalam artikel yang dimuat di Koran Belanda "Arnhemsche Courant".
Di Susuhunan Surakarta. Aturan tata tertib menonton tradisi Sima Maesa bahkan diatur khusus dalam surat perintah 18 Juli 1877. Mereka yang melanggar bisa ditangkap aparat kepolisian. Sima Maesa adalah tradisi mempertarungkan seekor harimau dengan kerbau.
Untuk kerbau-kerbau yang ditarungkan, orang Jawa suka memilih jenis kerbau air (Bubalus Bubalis) sebagai gacoannya. Seekor kerbau jantan bertanduk panjang sekaligus tajam. "Kerbau dipersiapkan sembari menunggu harimau, tanduknya diasah dan diberi warna putih serta terdapat karangan bunga yang dikalungkan di lehernya," kata Robert Wessing dalam artikel "A Tiger in the Heart : The Javanese Rampog Macan".
Harimau yang berlaga dalam tradisi Sima Maesa seringkali diambil dari jenis macan loreng. Namun bukan berarti harimau kumbang dan tutul, tidak pernah digladiatorkan. Seluruh harimau yang dibawa ke gelanggang Sima Maesa maupun Rampogan Macan, hasil perburuan sekelompok orang yang berprofesi khusus sebagai pemburu harimau.
Di Jawa, mereka dikenal dengan nama Tuwa Buru. Yakni Tetua Pemburu yang menggantungkan hidup sebagai pemburu macan. Sejarawan Peter Carey dalam buku "Kuasa Ramalan" menyebut mereka sebagai manusia yang pemberani. "Mereka para pemburu harimau menguasai mantra khusus serta keberanian batin yang luar biasa," kata Carey.
Saat itu Gubernur Jendral Hindia Belanda dijabat Herman Willem Daendels. Dengan kerja paksa (Rodi) yang mengorbankan banyak nyawa pribumi, jalan Anyer-Panarukan dibangun. Sistem pemerintahan diubah dengan menempatkan kerajaan Jawa di bawah pengawasan Belanda.
Sebagai reaksinya, tradisi Sima Maesa serta Rampogan Macan bukan lagi sekedar tontonan kebudayaan massa. Terutama di era Hamengkubuwono II yang sangat benci kolonialisme Eropa. Sima Maesa dan Rampogan Macan dijadikan ajang perlawanan kebudayaan.
Di tengah alun-alun. Macan yang usai bertarung melawan kerbau dalam tradisi Sima Maesa (Harimau Kerbau) tersebut, dihabisi. "Rampog Macan umumnya dilakukan setelah pertarungan Sima Maesa," tulis Dihan Amiluhur dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19".
Di Jawa, tradisi mengadu binatang sudah ada sejak era kerajaan Mataram Islam. Tahun 1792. Saat Gubernur Jendral Belanda Pieter Van Overstraten mengunjungi Yogyakarta, ia menyaksikan acara tradisi Sima Maesa yang dilanjut Rampogan Macan. Saat itu bertepatan meninggalnya Sultan Hamengkuwono I.
Richard von Carlowitz, seorang berkebangsaan Jerman saat bertandang ke Jawa juga menyaksikan pertarungan kerbau melawan harimau yang digelar sultan. Saat itu tahun 1846. Richard menuliskan catatan perjalanannya dalam artikel yang dimuat di Koran Belanda "Arnhemsche Courant".
Di Susuhunan Surakarta. Aturan tata tertib menonton tradisi Sima Maesa bahkan diatur khusus dalam surat perintah 18 Juli 1877. Mereka yang melanggar bisa ditangkap aparat kepolisian. Sima Maesa adalah tradisi mempertarungkan seekor harimau dengan kerbau.
Untuk kerbau-kerbau yang ditarungkan, orang Jawa suka memilih jenis kerbau air (Bubalus Bubalis) sebagai gacoannya. Seekor kerbau jantan bertanduk panjang sekaligus tajam. "Kerbau dipersiapkan sembari menunggu harimau, tanduknya diasah dan diberi warna putih serta terdapat karangan bunga yang dikalungkan di lehernya," kata Robert Wessing dalam artikel "A Tiger in the Heart : The Javanese Rampog Macan".
Harimau yang berlaga dalam tradisi Sima Maesa seringkali diambil dari jenis macan loreng. Namun bukan berarti harimau kumbang dan tutul, tidak pernah digladiatorkan. Seluruh harimau yang dibawa ke gelanggang Sima Maesa maupun Rampogan Macan, hasil perburuan sekelompok orang yang berprofesi khusus sebagai pemburu harimau.
Di Jawa, mereka dikenal dengan nama Tuwa Buru. Yakni Tetua Pemburu yang menggantungkan hidup sebagai pemburu macan. Sejarawan Peter Carey dalam buku "Kuasa Ramalan" menyebut mereka sebagai manusia yang pemberani. "Mereka para pemburu harimau menguasai mantra khusus serta keberanian batin yang luar biasa," kata Carey.
Saat itu Gubernur Jendral Hindia Belanda dijabat Herman Willem Daendels. Dengan kerja paksa (Rodi) yang mengorbankan banyak nyawa pribumi, jalan Anyer-Panarukan dibangun. Sistem pemerintahan diubah dengan menempatkan kerajaan Jawa di bawah pengawasan Belanda.
Sebagai reaksinya, tradisi Sima Maesa serta Rampogan Macan bukan lagi sekedar tontonan kebudayaan massa. Terutama di era Hamengkubuwono II yang sangat benci kolonialisme Eropa. Sima Maesa dan Rampogan Macan dijadikan ajang perlawanan kebudayaan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda