Saat Kenangan Lebih Penting dari Keselamatan Bangsa
Jum'at, 15 Mei 2020 - 05:32 WIB
Jika selama ini seakan ada stigma bahwa agama menjadi alasan yang paling sulit untuk menerapkan protokol distancing (penjarakan), peristiwa kerumunan di sebuah rumah makan itu menyadarkan kita bahwa kedunguan itu bisa terjadi pada siapa saja. Ini bukan persoalan agama, pun bukan tentang seberapa tinggi pendidikan seseorang. Ini tentang seberapa bijak orang memutuskan sebuah tindakan.
Apakah mereka yang berkerumun itu tidak sadar bahwa kesehatan lebih utama dari sebuah kenangan? Mereka pasti menyadari bahwa kenangan akan sia-sia jika pada akhirnya esok harinya mereka akan berkalang tanah. Apakah mereka tahu bahwa di masa pandemi seperti ini mereka dilarang keras terlibat dalam kerumunan? Suara-suara mereka mengindikasikan dengan kuat bahwa mereka tahu telah melanggar aturan. Tapi berapa banyak orang yang melanggar peraturan sekalipun mereka menyadari adanya sebuah larangan?
Jika ada orang yang melanggar protokol penjarakan karena alasan untuk menyambung hidupnya, kita sepenuhnya bisa memahami. Bagi kelompok ini, pilihannya bukan tentang hidup atau mati, tapi di mana mereka akan mati. Tinggal di dalam rumah tanpa kerja mereka akan mati, atau mereka bekerja keluar rumah dengan kemungkinan mati.
Tapi bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan, bagaimana kita bisa memahami. Adakah alasan yang diterima oleh akal sehat bahwa kenangan lebih utama dari keselamatan? Adakah dalil yang menjelaskan bahwa kenangan di sebuh rumah makan lebih mulia dari menjaga keselamatan bangsa?
Jika kepada orang-orang beragama bisa dipahamkan dengan dalil dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalil (menghindari kerusakan/keburukan lebih diutamakan/didahulukan dari meraih kebaikan), lalu dalil apa yang bisa diajukan bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan? Mari nikmati pandemi lebih lama karena kenangan dinilai lebih utama dari keselamatan anak bangsa!
Apakah mereka yang berkerumun itu tidak sadar bahwa kesehatan lebih utama dari sebuah kenangan? Mereka pasti menyadari bahwa kenangan akan sia-sia jika pada akhirnya esok harinya mereka akan berkalang tanah. Apakah mereka tahu bahwa di masa pandemi seperti ini mereka dilarang keras terlibat dalam kerumunan? Suara-suara mereka mengindikasikan dengan kuat bahwa mereka tahu telah melanggar aturan. Tapi berapa banyak orang yang melanggar peraturan sekalipun mereka menyadari adanya sebuah larangan?
Jika ada orang yang melanggar protokol penjarakan karena alasan untuk menyambung hidupnya, kita sepenuhnya bisa memahami. Bagi kelompok ini, pilihannya bukan tentang hidup atau mati, tapi di mana mereka akan mati. Tinggal di dalam rumah tanpa kerja mereka akan mati, atau mereka bekerja keluar rumah dengan kemungkinan mati.
Tapi bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan, bagaimana kita bisa memahami. Adakah alasan yang diterima oleh akal sehat bahwa kenangan lebih utama dari keselamatan? Adakah dalil yang menjelaskan bahwa kenangan di sebuh rumah makan lebih mulia dari menjaga keselamatan bangsa?
Jika kepada orang-orang beragama bisa dipahamkan dengan dalil dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalil (menghindari kerusakan/keburukan lebih diutamakan/didahulukan dari meraih kebaikan), lalu dalil apa yang bisa diajukan bagi mereka yang berkerumun untuk sebuah kenangan? Mari nikmati pandemi lebih lama karena kenangan dinilai lebih utama dari keselamatan anak bangsa!
(msd)
tulis komentar anda