Katib ‘Aam PBNU Bekali Mahasiswa PTKI Genealogi Ekstremisme Radikalisme
Kamis, 24 Desember 2020 - 11:49 WIB
Diklatpimnas diselengarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam bekerjasama dengan Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Walisongo. Kegiatan berlangsung selama 10 hari, yakni pada 20-26 Desember 2020 berlangsung secara online dan 28-30 Desember secara offline.
Untuk mengatasi gerakan ektrimisme dan radikalisme, Gus Yahya memandang perlunya mengidentifikasi dan mengakui masalah agama dan radikalisme secara jujur dan diikuti dengan membangun wacana baru tentang Islam.
Terkait wacana baru, Gus Yahya mencatat Muhammadiyah telah menelorkan konsep darul ahdi wa syahadah dan NU melalui Munas di Banjar 2019 telah merumuskan lima hal penting. Pertama, katagori kafir tidak relevan dalam negara modern. Kedua, mendirikan khilafah bukan kewajiban agama. Ketiga, syariat tidak boleh dipertentangkan dengan hukum positif artinya setiap muslim mempunyai kewajiban syari terhadap hukum negara. Keempat, konflik yang melibatkan antar muslim, tidak boleh terlibat atas nama muslim tetapi harus atas nama perdamaian.
Kelima, pentingnya resolusi konflik dan reformasi pendidikan keagamaan, karena masih ada kurikulum pendidikan keagamaan yang kuirang menampilkan wajah keagamaan yang moderat dan damai.
KH Yahya Cholil Tsaquf dipandu oleh Kasubdit Sarpras dan Kemahasiswaan UIN Walisongo Semarang Ruchman Basori. Nara sumber lain di hari ketiga Diklatpimnas adalah peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Walisongo Semarang M Mukhsin Jamil.
Untuk mengatasi gerakan ektrimisme dan radikalisme, Gus Yahya memandang perlunya mengidentifikasi dan mengakui masalah agama dan radikalisme secara jujur dan diikuti dengan membangun wacana baru tentang Islam.
Terkait wacana baru, Gus Yahya mencatat Muhammadiyah telah menelorkan konsep darul ahdi wa syahadah dan NU melalui Munas di Banjar 2019 telah merumuskan lima hal penting. Pertama, katagori kafir tidak relevan dalam negara modern. Kedua, mendirikan khilafah bukan kewajiban agama. Ketiga, syariat tidak boleh dipertentangkan dengan hukum positif artinya setiap muslim mempunyai kewajiban syari terhadap hukum negara. Keempat, konflik yang melibatkan antar muslim, tidak boleh terlibat atas nama muslim tetapi harus atas nama perdamaian.
Kelima, pentingnya resolusi konflik dan reformasi pendidikan keagamaan, karena masih ada kurikulum pendidikan keagamaan yang kuirang menampilkan wajah keagamaan yang moderat dan damai.
KH Yahya Cholil Tsaquf dipandu oleh Kasubdit Sarpras dan Kemahasiswaan UIN Walisongo Semarang Ruchman Basori. Nara sumber lain di hari ketiga Diklatpimnas adalah peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Walisongo Semarang M Mukhsin Jamil.
(shf)
tulis komentar anda