Bangunan Proyek Pengendalian Banjir Sungai Walannae Hanya Gunakan Batu Gunung Kecil
Kamis, 14 Mei 2020 - 08:36 WIB
WAJO - Proyek pembangunan pengendalian banjir sungai Walannae, di Kelurahan Sompe, Kecamatan Sabangparu, Kabupaten Wajo, tahun 2020, menuai sorotan warga. Proyek milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), satuan kerja (Satker) SNVT pelaksana jaringan sumberdaya air Pompengan Jeneberang Sulawesi Selatan, dinilai tidak sesuai spesifikasi.
Salah seorang warga Kecamatan Sabangparu, Ambo Mai mengungkapkan, batu penahan tebing hanya menggunakan batu gunung dengan ukuran kecil. Batu tersebut dinilai mudah terbawa arus air dan rusak, sehingga sangat memungkinkan bangunan proyek tidak akan bertahan lama.
"Mana bisa batu yang beratnya hanya 20 kilogram menahan arus, saya pesimis tanggul itu bisa bertahan, padahal aggaran yang digelontorkan cukup besar," tukas Ambo Mai kepada SINDOnews, Kamis (14/05/2020).
Baca : Pakai Anggaran Miliaran, Penggunaan Gedung DPRD Bulukumba Tak Maksimal
Ambo Mai menjelaskan, berkaca pada pembangunan beronjong yang ada di Desa Sappa, Kecamatan Belawa, proyek pengendalian banjir dan perkuatan tebing Sungai Bila, yang dibangun pada akhir 2019, saat ini sudah mengalami penyusutan
Hal tersebut disebabkan, spesifikasi material yang digunakan, di indikasi tidak sesuai apa yang tercantum dalam Rencana Anggaran Bangunan (RAB). Sehingga proyek yang menggunakan APBN 2019, dengan nilai anggaran Rp9.900.000.000, menyusut dan terancam ambruk tergerus arus Sungai Bila.
"Saya memprediksi proyek pengendalian banjir sungai Walannae akan bernasib sama dengan proyek bronjong yang ada di Belawa yang saat ini sudah mengalami penyusutan," tandasnya.
Sementara, Salah seorang konsultan tehnik Kabupaten Wajo, Irawan menjelaskan, proyek pembangunan pengendalian banjir sungai Walannae, seharusnya menggunakan batu gajah sebagai penahan tebing, agar tanggul tersebut tidak mudah terbawa arus atau mengalami penyusutan.
Selain itu, spesifikasi batu yang digunakan harus batu gunung yang berwarna hitam, sebab kekuatannya, jauh lebih kokoh dibanding batu gunung yang kemerah-merahan seperti yang saat ini digunakan dalam proyek tersebut.
Salah seorang warga Kecamatan Sabangparu, Ambo Mai mengungkapkan, batu penahan tebing hanya menggunakan batu gunung dengan ukuran kecil. Batu tersebut dinilai mudah terbawa arus air dan rusak, sehingga sangat memungkinkan bangunan proyek tidak akan bertahan lama.
"Mana bisa batu yang beratnya hanya 20 kilogram menahan arus, saya pesimis tanggul itu bisa bertahan, padahal aggaran yang digelontorkan cukup besar," tukas Ambo Mai kepada SINDOnews, Kamis (14/05/2020).
Baca : Pakai Anggaran Miliaran, Penggunaan Gedung DPRD Bulukumba Tak Maksimal
Ambo Mai menjelaskan, berkaca pada pembangunan beronjong yang ada di Desa Sappa, Kecamatan Belawa, proyek pengendalian banjir dan perkuatan tebing Sungai Bila, yang dibangun pada akhir 2019, saat ini sudah mengalami penyusutan
Hal tersebut disebabkan, spesifikasi material yang digunakan, di indikasi tidak sesuai apa yang tercantum dalam Rencana Anggaran Bangunan (RAB). Sehingga proyek yang menggunakan APBN 2019, dengan nilai anggaran Rp9.900.000.000, menyusut dan terancam ambruk tergerus arus Sungai Bila.
"Saya memprediksi proyek pengendalian banjir sungai Walannae akan bernasib sama dengan proyek bronjong yang ada di Belawa yang saat ini sudah mengalami penyusutan," tandasnya.
Sementara, Salah seorang konsultan tehnik Kabupaten Wajo, Irawan menjelaskan, proyek pembangunan pengendalian banjir sungai Walannae, seharusnya menggunakan batu gajah sebagai penahan tebing, agar tanggul tersebut tidak mudah terbawa arus atau mengalami penyusutan.
Selain itu, spesifikasi batu yang digunakan harus batu gunung yang berwarna hitam, sebab kekuatannya, jauh lebih kokoh dibanding batu gunung yang kemerah-merahan seperti yang saat ini digunakan dalam proyek tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda