Laskar Hizbullah dan Sejarah Perang di Kota Pahlawan
Senin, 09 November 2020 - 05:00 WIB
Ketika Resolusi Jihad dikeluarkan, termasuk penguatan atas fatwa yang pada 17 September 1945 telah disampaikan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Para santri semakin banyak datang ke Surabaya.
Sejarahwan Universitas Airlangga RN Bayu Aji menuturkan, Laskar Hizbullah merupakan pejuang yang terdiri dari pemuda-pemuda Islam dan para santri pondok pesantren. “Kiprah para ulama dan kiai menjadi penting atas lahirnya pejuang militan Hisbullah,” kata Rojil, panggilan akrabnya. (Baca: Karomah KR Sumomihardho Isi Kekuatan Magis TKR di Pertempuran Surabaya).
Ia melanjutkan, Laskah Hizbullah sendiri tersebar di beberapa daerah di Jawa Timur yang menjadi kantong para santri. Salah satunya di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri dan Jombang. “Kiai Wahid Hasyim merupakan ketuanya saat itu,” ucapnya.
Arek-arek Surabaya pun protes pada sekutu. Mereka berkerumun di halaman Hotel Yamato yang saat ini berubah nama menjadi Hotel Majapahit. Arek-arek Surabaya bersama Laskar Hizbullah dan pejuang lainnya meminta bendera Belanda diturunkan lalu dikibarkan bendera Indonesia.
Gerakan arek-arek Suroboyo membuat sekutu keder. Mereka pun membalasnya dan mengeluarkan ultimatum yang berisi tuntutan agar warga Surabaya mau menyerahkan senjatanya kepada tentara sekutu sebelum pukul 06.00 pagi pada hari berikutnya, yakni 10 November 1945.
Arek-arek Surabaya bersama Laskar Hizbullah dan para pejuang lainnya menolak untuk menyerahkan senjatanya. Battle of Surabaya pun terjadi dengan sengit, tanpa jeda dan pertempuran berlangsung selama kurang lebih tiga minggu tersebut menelan hingga ribuan jiwa di pihak Indonesia (Baca: Kampung Adat Praijing, Museum Adat Sumba Barat).
Rojil mengatakan, peristiwa 10 Nopember 1945 begitu solid dengan adanya persatuan. Ada peran ulama, santri serta Hizbullah yang ketika dirunut melalui Resolusi Jihad fi Sabilillah NU 22 Oktober 1945.
Resolusi itu menyerukan yang dilandasi bahwa mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam. “Termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam,” katanya.
Sehari sebelum pecah pertempuran puncak di Surabaya, KH Hasyim Asy’ari selaku komando tertinggi Hizbullah memerintahkan segenap kekuatan bersenjata dari kalangan santri untuk memasuki Surabaya. Baginya, tidak akan menyerah dalam mempertahankan kemerderkaan Indonesia. (Baca: Segudang Filosofi Rumah Limas di Lembaran Uang Rp 10 Ribu).
Sejarahwan Universitas Airlangga RN Bayu Aji menuturkan, Laskar Hizbullah merupakan pejuang yang terdiri dari pemuda-pemuda Islam dan para santri pondok pesantren. “Kiprah para ulama dan kiai menjadi penting atas lahirnya pejuang militan Hisbullah,” kata Rojil, panggilan akrabnya. (Baca: Karomah KR Sumomihardho Isi Kekuatan Magis TKR di Pertempuran Surabaya).
Ia melanjutkan, Laskah Hizbullah sendiri tersebar di beberapa daerah di Jawa Timur yang menjadi kantong para santri. Salah satunya di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri dan Jombang. “Kiai Wahid Hasyim merupakan ketuanya saat itu,” ucapnya.
Arek-arek Surabaya pun protes pada sekutu. Mereka berkerumun di halaman Hotel Yamato yang saat ini berubah nama menjadi Hotel Majapahit. Arek-arek Surabaya bersama Laskar Hizbullah dan pejuang lainnya meminta bendera Belanda diturunkan lalu dikibarkan bendera Indonesia.
Gerakan arek-arek Suroboyo membuat sekutu keder. Mereka pun membalasnya dan mengeluarkan ultimatum yang berisi tuntutan agar warga Surabaya mau menyerahkan senjatanya kepada tentara sekutu sebelum pukul 06.00 pagi pada hari berikutnya, yakni 10 November 1945.
Arek-arek Surabaya bersama Laskar Hizbullah dan para pejuang lainnya menolak untuk menyerahkan senjatanya. Battle of Surabaya pun terjadi dengan sengit, tanpa jeda dan pertempuran berlangsung selama kurang lebih tiga minggu tersebut menelan hingga ribuan jiwa di pihak Indonesia (Baca: Kampung Adat Praijing, Museum Adat Sumba Barat).
Rojil mengatakan, peristiwa 10 Nopember 1945 begitu solid dengan adanya persatuan. Ada peran ulama, santri serta Hizbullah yang ketika dirunut melalui Resolusi Jihad fi Sabilillah NU 22 Oktober 1945.
Resolusi itu menyerukan yang dilandasi bahwa mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam. “Termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam,” katanya.
Sehari sebelum pecah pertempuran puncak di Surabaya, KH Hasyim Asy’ari selaku komando tertinggi Hizbullah memerintahkan segenap kekuatan bersenjata dari kalangan santri untuk memasuki Surabaya. Baginya, tidak akan menyerah dalam mempertahankan kemerderkaan Indonesia. (Baca: Segudang Filosofi Rumah Limas di Lembaran Uang Rp 10 Ribu).
tulis komentar anda