Buruh Tolak Surat Edaran Menaker Izinkan Pengusaha Tak Bayar THR Penuh
Jum'at, 08 Mei 2020 - 06:57 WIB
JAKARTA - Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah Nomor M/6/HI.00.01/v/2020 menuai polemik.
Di dalam surat itu disebutkan memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak membayar tunjangan hari raya (THR) sebesar 100% dan bisa mencicil atau menunda pembayarannya dengan cara mendorong perundingan buruh dan pengusaha di perusahaan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal tegas menolak sikap Menaker dalam surat edaran tersebut. Sebab, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 dan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, setiap pengusaha wajib membayar THR 100% bagi pekerja yang memiliki masa kerja di atas 1 tahun.
Tanpa terlebih dahulu melalui perundingan. Kemudian, bagi yang masa kerjanya di bawah satu tahun, maka upahnya dibayarkan proporsional sesuai masa kerjanya.
“KSPI berpendapat, THR harus dibayar 100 persen bagi buruh yang masuk bekerja, buruh yang diliburkan sementara karena COVID-19, buruh yang dirumahkan karena COVID-19, maupun buruh yang di PHK dalam rentang waktu H-30 dari Lebaran,” ujar Said Iqbal kepada SINDOnews, Kamis (7/5/2020).
Oleh karena itu, ia menyerukan kepada para buruh untuk menolak pengusaha yang ingin membayar THR dengan menggunakan dasar surat edaran Menaker tersebut. Said menilai, di tengah pandemi Corona ini, daya beli buruh harus tetap dijaga.
Jika THR dibayar di bawah 100% atau dibayar dengan cara mencicil atau menunda pembayaran atau bahkan tidak dibayar sama sekali, maka akan memukul daya beli buruh di saat Lebaran. Hal itu berdampak pada konsumsi akan turun drastis yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi makin hancur.
“Jadi isi dari surat edaran Menaker tersebut harus ditolak, dan pengusaha tetap diwajibkan membayar 100 persen. Tidak membuka ruang untuk dibayar dengan cara dicicil, ditunda, dan dibayar di bawah itu,” tegasnya.
Namun, ia mendukung adanya pengecualian pada perusahaan dengan kategori perusahaan menengah kecil seperti hotel melati, restoran non waralaba internasional, UMK, ritel berskala menengah ke bawah dan lainnya.
Hal itu tidak berlaku bagi pengusaha hotel berbintang, restoran besar atau waralaba internasional, ritel besar, industri manufaktur. Said menilai, mereka wajib membayar THR secara penuh dan tidak dicicil atau ditunda pembayarannya.
Bilamana itu dilakukan, menurut Iqbal, Menaker seperti ‘menjilat ludahnya sendiri’ karena kebijakan ini bertentangan dengan peraturan pemerintah. Untuk itu, KSPI menyerukan kepada pemerintah, selamatkan daya beli buruh dan rakyat Indonsia di waktu lebaran dengan memastikan setiap buruh mendapatkan THR.
Di dalam surat itu disebutkan memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak membayar tunjangan hari raya (THR) sebesar 100% dan bisa mencicil atau menunda pembayarannya dengan cara mendorong perundingan buruh dan pengusaha di perusahaan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal tegas menolak sikap Menaker dalam surat edaran tersebut. Sebab, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 dan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, setiap pengusaha wajib membayar THR 100% bagi pekerja yang memiliki masa kerja di atas 1 tahun.
Tanpa terlebih dahulu melalui perundingan. Kemudian, bagi yang masa kerjanya di bawah satu tahun, maka upahnya dibayarkan proporsional sesuai masa kerjanya.
“KSPI berpendapat, THR harus dibayar 100 persen bagi buruh yang masuk bekerja, buruh yang diliburkan sementara karena COVID-19, buruh yang dirumahkan karena COVID-19, maupun buruh yang di PHK dalam rentang waktu H-30 dari Lebaran,” ujar Said Iqbal kepada SINDOnews, Kamis (7/5/2020).
Oleh karena itu, ia menyerukan kepada para buruh untuk menolak pengusaha yang ingin membayar THR dengan menggunakan dasar surat edaran Menaker tersebut. Said menilai, di tengah pandemi Corona ini, daya beli buruh harus tetap dijaga.
Jika THR dibayar di bawah 100% atau dibayar dengan cara mencicil atau menunda pembayaran atau bahkan tidak dibayar sama sekali, maka akan memukul daya beli buruh di saat Lebaran. Hal itu berdampak pada konsumsi akan turun drastis yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi makin hancur.
“Jadi isi dari surat edaran Menaker tersebut harus ditolak, dan pengusaha tetap diwajibkan membayar 100 persen. Tidak membuka ruang untuk dibayar dengan cara dicicil, ditunda, dan dibayar di bawah itu,” tegasnya.
Namun, ia mendukung adanya pengecualian pada perusahaan dengan kategori perusahaan menengah kecil seperti hotel melati, restoran non waralaba internasional, UMK, ritel berskala menengah ke bawah dan lainnya.
Hal itu tidak berlaku bagi pengusaha hotel berbintang, restoran besar atau waralaba internasional, ritel besar, industri manufaktur. Said menilai, mereka wajib membayar THR secara penuh dan tidak dicicil atau ditunda pembayarannya.
Bilamana itu dilakukan, menurut Iqbal, Menaker seperti ‘menjilat ludahnya sendiri’ karena kebijakan ini bertentangan dengan peraturan pemerintah. Untuk itu, KSPI menyerukan kepada pemerintah, selamatkan daya beli buruh dan rakyat Indonsia di waktu lebaran dengan memastikan setiap buruh mendapatkan THR.
(vit)
tulis komentar anda