Kisah Kromo Setan dan Huru Hara Laskar Minyak Cepu-Bojonegoro

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 05:00 WIB
Ladang minyak peninggalan Belanda di kawasan Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Foto-foto/SINDOnews/Solichan Arif)
SEPAK TERJANG Kromo Setan dan gerakan laskar minyaknya nyaris menjadi cerita legenda perlawanan masyarakat di kawasan ladang minyak peninggalan Belanda di Wonocolo, Kecamatan Kedewan (dulu Kecamatan Kasiman) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Tidak hanya diingat sebagai gembong laskar minyak yang sulit dibunuh karena terkenal kebal senjata. Dalam memori kolektifnya yang tidak lagi utuh, masyarakat juga masih ingat bagaimana perlawanan laskar minyak tersebut kemudian berakhir dengan penumpasan.



"Nama aslinya tidak ada yang tahu. Dari cerita orang orang tua, tahunya hanya Kromo Setan," tutur Teguh warga setempat yang sehari hari bekerja sebagai buruh tambang minyak. Istilah Kromo umumnya merujuk pada kelas sosial rakyat jelata. Kaum kromo. Mereka yang tidak memiliki alat produksi.

(Baca juga: Biadab! 5 Tahun Gadis di Sampit Dijadikan Budak Seks Ayah Kandungnya )



Yakni para buruh pabrik, buruh tani, termasuk petani kecil yang tidak memiliki tanah luas. Dalam terminologi politik kaum nasionalis, kaum Kromo sering dipersamakan dengan kaum marhaen atau proletar. Lawannya adalah kelas sosial priyayi atau kaum borjuis, pemilik alat produksi.

"Kenapa ada tambahan setan, juga tidak ada yang tahu soal itu," tambah Teguh. Huru hara itu terjadi paska Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meski Soekarno- Hatta sudah mengumandangkan kemerdekaan di Pegangsaan Timur Jakarta, namun situasi politik di republik masih tidak menentu.



Tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya. Situasi panas juga menjalar ke sejumlah daerah. Terutama di wilayah Jawa dan Sumatera. Kekisruhan itu dipicu sikap sekutu paska memenangkan Perang Dunia II. Sekutu dengan Belanda yang tergabung di dalamnya, ingin kembali menguasai semua negara jajahan yang sebelumnya dikuasai Jepang.

Dengan membonceng tentara Inggris, Belanda berharap bisa secepatnya kembali menancapkan kuku kekuasaannya di Indonesia. Belanda berkepentingan besar terhadap sumber daya alam, terutama ladang ladang minyak. "Tambang minyak di Wonocolo sendiri sudah ada sejak jaman Belanda," kata Teguh.

(Baca juga:Biadab! 5 Tahun Gadis di Sampit Dijadikan Budak Seks Ayah Kandungnya)

Dalam buku Pertamina, Perusahaan Minyak Nasional, terbitan 1986, disebutkan, Indonesia merupakan salah satu pangkalan minyak pertama dan tertua Royal Dutch atau grup Shell. "Pencarian minyak di Indonesia dimulai pada tahun 1871, hanya dua belas tahun setelah sumur minyak dunia yang pertama dibor di Pensylvania".

Pengomersialan minyak Indonesia (Saat itu masih Hindia Belanda) pertama kali dilakukan pada tahun 1885. Produksi berlangsung di kilang minyak di Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan. "Wonocolo itu masuk Jawa Timur. Namun pengolahan atau kilang minyaknya ada di Cepu, Jawa Tengah," tambah Teguh.

Jarak Wonocolo-Cepu hanya sekitar 15 kilometer. Kilang minyak Cepu dibangun pada tahun 1894. Pembangunan dilakukan oleh Adrian Stoop, bekas pegawai Aeilko Ziljker yang pada 16 Juni 1890 mendirikan perusahaan minyak Royal Dutch (Grup Shell). Umur kilang Cepu lebih muda empat tahun dari kilang minyak Wonokromo Surabaya, yang dibangun lebih dulu pada tahun 1890.

Tidak hanya grup Shell yang bernafsu besar memburu energi fosil Indonesia. Perusahaan minyak Standar Oil of New Jersey juga ikut masuk. Mereka mulai melempar jangkar bisnis di Indonesia pada tahun 1912, lalu menggabungkan kepentingan mereka di Timur Jauh dengan Mobil untuk membentuk Stanvac.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More