Mencetak Santri Jadi Pemimpin yang Amanah Dunia Akhirat
Rabu, 06 Mei 2020 - 05:55 WIB
"Ada cerita saat berangkat haji dengan kapal laut itu, kapal yang dinaiki Mbah Mansyur sempat terdampar di Madura. Sambil menunggu waktu, selama di Madura digunakan untuk nyantri," terang Gus Udin.
Dalam rangka syiar agama, sepulang dari Mekah, Mansyur diminta KH Abdul Fatah, pamannya, hijrah ke Desa Kunir. Di Kunir, Kiai Abdul Fatah memiliki aset tanah yang tergolong luas.
Kelak aset tanah berupa pekarangan dan sawah yang luas tersebut, menjadi komplek ponpes Al Kamal. Tidak hanya aset. Di Kunir, Kiai Fatah yang namanya di Kota Tulungagung diabadikan sebagai nama jalan, juga mempunyai seorang sahabat karib.
"Nama sahabat karib itu Haji Dullah, seorang pendatang dari Yogyakarta yang menetap di Kunir," sambung Gus Udin.
Selain tokoh agama, Haji Dullah yang biasa dipanggil Mbah Raden itu juga seorang saudagar kaya raya. Mansyur menyunting Maemunah, putri Mbah Raden.
Dari perkawinannya dengan Maemunah, Mansyur dikaruniai tiga orang putri, yakni Siti Malikah, Mutinah dan Munawaroh atau Wiji. Tidak sedikit anak lelaki Mansyur yang meninggal dunia saat masih kecil.
"Tidak tahu pasti sih. Katanya setiap lahir anak laki laki, si anak kemudian selalu meninggal dunia," ungkap Gus Udin.
Sekitar tahun 1945, putrinya, Mutinah dinikahi Imam Muhayat atau Haji Thobib, putra Kiai Haji Ali Imron dari Dusun Langkapan, Desa Maron, Kecamatan Srengat.
Mbah Ali Imron dan Mbah Mansyur adalah dua sahabat yang sama sama menjadi khatib Masjid Srengat. "Saat itu di Kunir belum ada masjid. Kalau Jumatan masih di masjid Srengat," kata Gus Udin menjelaskan.
Dengan hadirnya seorang menantu (Imam Muhayat) yang juga mumpuni dalam ilmu agama, kepengasuhan ponpes (Al Kamal) yang biasanya dipikul sendiri, menjadi lebih ringan.
Dalam rangka syiar agama, sepulang dari Mekah, Mansyur diminta KH Abdul Fatah, pamannya, hijrah ke Desa Kunir. Di Kunir, Kiai Abdul Fatah memiliki aset tanah yang tergolong luas.
Kelak aset tanah berupa pekarangan dan sawah yang luas tersebut, menjadi komplek ponpes Al Kamal. Tidak hanya aset. Di Kunir, Kiai Fatah yang namanya di Kota Tulungagung diabadikan sebagai nama jalan, juga mempunyai seorang sahabat karib.
"Nama sahabat karib itu Haji Dullah, seorang pendatang dari Yogyakarta yang menetap di Kunir," sambung Gus Udin.
Selain tokoh agama, Haji Dullah yang biasa dipanggil Mbah Raden itu juga seorang saudagar kaya raya. Mansyur menyunting Maemunah, putri Mbah Raden.
Dari perkawinannya dengan Maemunah, Mansyur dikaruniai tiga orang putri, yakni Siti Malikah, Mutinah dan Munawaroh atau Wiji. Tidak sedikit anak lelaki Mansyur yang meninggal dunia saat masih kecil.
"Tidak tahu pasti sih. Katanya setiap lahir anak laki laki, si anak kemudian selalu meninggal dunia," ungkap Gus Udin.
Sekitar tahun 1945, putrinya, Mutinah dinikahi Imam Muhayat atau Haji Thobib, putra Kiai Haji Ali Imron dari Dusun Langkapan, Desa Maron, Kecamatan Srengat.
Mbah Ali Imron dan Mbah Mansyur adalah dua sahabat yang sama sama menjadi khatib Masjid Srengat. "Saat itu di Kunir belum ada masjid. Kalau Jumatan masih di masjid Srengat," kata Gus Udin menjelaskan.
Dengan hadirnya seorang menantu (Imam Muhayat) yang juga mumpuni dalam ilmu agama, kepengasuhan ponpes (Al Kamal) yang biasanya dipikul sendiri, menjadi lebih ringan.
tulis komentar anda