Mencetak Santri Jadi Pemimpin yang Amanah Dunia Akhirat

Rabu, 06 Mei 2020 - 05:55 WIB
loading...
Mencetak Santri Jadi Pemimpin yang Amanah Dunia Akhirat
Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal di Desa Kunir, Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar. Foto/Koran Sindo/Solichan Arif
A A A
BLITAR - "Campur tangan" KH Tohir Wijaya, menantu KH Mansyur, telah mengubah sistematika pendidikan Pondok Pesantren Al Kamal Desa Kunir, Kabupaten Blitar, yang semula bergaya klasikal, menjadi modern terpadu.

Saat itu tahun 1950-an. Dalam menimba ilmu, para santri KH Mansyur, baik yang mukim (menetap), maupun kalong (pulang), tidak lagi terbatas pada ngaji kitab dengan metodologi sorogan dan bandongan.

"Mbah Tohir lah (KH Tohir Wijaya) yang pertama kali membawa konsep madrasah dengan sistem pesantren terpadu," kata pengasuh Ponpes Al Kamal Blitar, Aminudin Fahruda yang akrab disapa Gus Udin.

Sejak itu, semuanya berubah. Santri, kata Gus Udin, tidak lagi hanya mengaji Alquran, Hadis dan mendaras kitab kitab klasik. Dengan modernisasi, mereka bisa meraup pengetahuan lebih luas, dengan kurikulum lebih tertata.

Santri berkesempatan belajar Ulumul Quran, mulai Tarikh Quran hingga Muqarranatut Tafsir. Ulumul Hadis, mulai Hadis Dirayah sampai Wal Muhaddisin, mendalami Fikih, Ushul Fikih, Nahwu, Sharaf, Balaghah sampai Mantik.

"Dan jumlah santri yang mukim menjadi semakin besar. Tidak hanya dari Kunir," kata Gus Udin bercerita.

Di luar ilmu agama, santri juga mengenyam pengetahuan umum. Memiliki dua "identitas", yakni sebagai santri sekaligus siswa di sekolah formal, mulai MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTS (Madrasah Tsanawiyah), sampai MA (Madrasah Aliyah), yang itu semua manifestasi konsep terpadu.

Setiap santri wajib bersekolah formal yang semua lembaganya dibawah naungan yayasan Ponpes Al Kamal. Juga sebaliknya. Setiap siswa juga harus hidup di lingkungan pesantren mengaji, menyantri, mendalami ilmu agama.

"Bisa dikatakan Ponpes Al Kamal dengan konsep terpadu itu sebagai yang pertama di Kabupaten Blitar, bahkan mungkin eks Karsidenan Kediri," tambah Gus Udin yang juga Ketua Ansor NU Kabupaten Blitar.

Ponpes Al Kamal dirintis oleh KH Mansyur, sekitar tahun 1937. Angka tahun itu (1937) mengacu pada waktu pendirian musala yang dalam perjalanannya bersalin menjadi masjid Ponpes Al Kamal.

"Sepengetahuan keluarga berdiri sekitar tahun 1937, sesuai tahun yang ditandakan pada bangunan masjid yang dulunya musala," kata Gus Udin.

Mbah Mansyur merupakan seorang pendatang. Pada kisaran tahun 1920an ia mulai bermukim di Desa Kunir. Kunir kala itu, kata Gus Udin, belum semaju sekarang.

Desa Kunir yang oleh sebagian orang tua di Blitar dijuluki "Acehnya" Blitar. Yakni karena faktor pesantren dan banyaknya sekolah keagamaan, saat itu masih berlandskap hutan, tegalan dan sawah.

Tepat di sebelah selatan desa adalah Kali Brantas yang sekaligus menjadi pembatas dengan wilayah Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung.

Jarak Kunir-Ngunut kurang dari satu kilometer. Selain pabrik gula Kunirwungu (Kunir-Kaliwungu) yang berdiri sejak era Kolonial Belanda, di Ngunut juga bercokol lokalisasi (pelacuran) cukup besar.

Komplek pelacuran tersebut sampai hari ini masih berdiri tegak. "Saat itu penduduk Kunir juga masih jarang. Rata rata yang terbanyak masyarakat abangan," jelas Gus Udin.

Menurut Gus Udin, Mbah Mansyur berasal dari Ponpes Mangunsari, Kabupaten Tulungagung. Bila ditelusur lebih jauh ke belakang, leluhurnya itu berdzuriyat (keturunan) pada Kiai Kasan Besari, Tegalsari, Ponorogo.

"Soal dzuriyat secara detil, keluarga Ponpes Mangunsari yang lebih tahu," kata Gus Udin yang tidak ingin keliru.

Sebagai keluarga besar ponpes Mangunsari Tulungagung, Mansyur muda dikenal sebagai sosok intelektual yang sekaligus alim. Gelar haji dia sandang sejak muda. Kemudian, nyantri kemana mana, termasuk selama lima tahun memperdalam ilmu agama di tanah suci.

"Ada cerita saat berangkat haji dengan kapal laut itu, kapal yang dinaiki Mbah Mansyur sempat terdampar di Madura. Sambil menunggu waktu, selama di Madura digunakan untuk nyantri," terang Gus Udin.

Dalam rangka syiar agama, sepulang dari Mekah, Mansyur diminta KH Abdul Fatah, pamannya, hijrah ke Desa Kunir. Di Kunir, Kiai Abdul Fatah memiliki aset tanah yang tergolong luas.

Kelak aset tanah berupa pekarangan dan sawah yang luas tersebut, menjadi komplek ponpes Al Kamal. Tidak hanya aset. Di Kunir, Kiai Fatah yang namanya di Kota Tulungagung diabadikan sebagai nama jalan, juga mempunyai seorang sahabat karib.

"Nama sahabat karib itu Haji Dullah, seorang pendatang dari Yogyakarta yang menetap di Kunir," sambung Gus Udin.

Selain tokoh agama, Haji Dullah yang biasa dipanggil Mbah Raden itu juga seorang saudagar kaya raya. Mansyur menyunting Maemunah, putri Mbah Raden.

Dari perkawinannya dengan Maemunah, Mansyur dikaruniai tiga orang putri, yakni Siti Malikah, Mutinah dan Munawaroh atau Wiji. Tidak sedikit anak lelaki Mansyur yang meninggal dunia saat masih kecil.

"Tidak tahu pasti sih. Katanya setiap lahir anak laki laki, si anak kemudian selalu meninggal dunia," ungkap Gus Udin.

Sekitar tahun 1945, putrinya, Mutinah dinikahi Imam Muhayat atau Haji Thobib, putra Kiai Haji Ali Imron dari Dusun Langkapan, Desa Maron, Kecamatan Srengat.

Mbah Ali Imron dan Mbah Mansyur adalah dua sahabat yang sama sama menjadi khatib Masjid Srengat. "Saat itu di Kunir belum ada masjid. Kalau Jumatan masih di masjid Srengat," kata Gus Udin menjelaskan.

Dengan hadirnya seorang menantu (Imam Muhayat) yang juga mumpuni dalam ilmu agama, kepengasuhan ponpes (Al Kamal) yang biasanya dipikul sendiri, menjadi lebih ringan.

Imam Muhayat, menantu Mbah Mansyur merupakan tokoh NU sekaligus santri tarekat Qodiriyah generasi pertama Kiai Romli, Peterongan, Jombang. Selain dikenal sebagai kiai yang memiliki kemampuan kanuragan, ia juga dikenal sebagai saudagar sukses.

Dari pernikahannya dengan Mutinah, Imam Muhayat dikaruniai tujuh anak, yang salah satunya adalah ibunda Gus Udin. "Sejak itu ponpes Al Kamal sebelumnya ditangani sendirian, diurus berdua," kata Gus Udin.

Pad periode awal berdirinya Ponpes Al Kamal, tempat mengaji santri masih menyatu dengan tempat tinggal Kiai Mansyur, Termasuk musala yang ia dirikan. Sebagian besar santri masih warga Kunir. Ada yang menginap atau bermukim yang kemudian disebut santri mukim.

Tidak sedikit yang usai ngaji langsung pulang atau santri kalong. "Paling banyak warga Kunir. Namun ada juga dari Tulungagung yang rata rata masih kerabat sendiri," kata Gus Udin.

Sebagaimana ciri pesantren klasik, sistematika pendidikan di Al Kamal periode awal masih sebatas sorogan, yakni santri secara individu mendengar dawuh kiai. Juga bandongan dimana santri mendapat pendidikan bersama sama atau kelompok.

Penekanan pendidikan masih seputar ngaji Al Quran dan Hadis. Kemudian juga taklim mutakalim, adab santri kepada kiai. Kendati demikian nilai nilai kebangsaan dan kemasyarakatan, seperti hubbul watan minal iman, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wataniyah dan ukhuwah basyariyyah juga diajarkan. "Namanya juga klasikal, salafiyah," kata Gus Udin.

Ponpes Al Kamal berubah drastis setelah Munawaroh atau Wiji, putri bungsu Mbah Mansyur dinikahi KH Tohir Wijaya yang berasal dari Udanawu, tetangga Desa Kunir. Tangan dingin Tohir Wijaya mereformasi Al Kamal yang semula bertipikal pesantren salafiyah (klasik) berubah modern dengan mengusung konsep terpadu.

Kelas belajar (madrasah) didirikan. Kurikulum disusun. Sistem aturan santri dibuat. Santri mukim tidak lagi terpusat di rumah kiai. Melainkan menempati asrama yang disediakan. Tidak hanya lembaga pendidikan formal. Ponpes juga memiliki badan usaha ekonomi (koperasi).

Memiliki panti asuhan serta KBIH. Secara organisatoris, di Yayasan Al Kamal yang sebelumnya bernama Al Mansyuriah tersebut, kata Gus Udin muncul struktur kepengurusan. Mulai yang paling tinggi Kiai, kemudian berurutan dibawahnya Ustaz dan Pengurus.

"Singkat kata, terobosan Mbah Tohir (Tohir Wijaya) dengan konsep terpadunya, membawa Al Kamal menjadi modern," ujar dia. Kiai Tohir Wijaya merupakan alumni Ponpes Lirboyo Kediri.

Tohir muda juga pernah nyantri di Ponpes Tebuireng Jombang, Rejoso Jombang, Peterongan Jombang, serta Pesantren Tremas, Pacitan. Selain dikenal sebagai dai atau mubaligh, Tohir juga seorang politisi.

Pada tahun 1946-1949, Tohir yang kelahiran 9 September 1927 tersebut, menjadi anggota DPRD Masyumi di Blitar. Sudah menjadi menantu Kiai Mansyur, Tohir yang juga Dosen IAIN Yogyakarta (1969), masuk Golkar di tahun sama (1969) dan terpilih sebagai anggota DPR RI Fraksi Golkar tahun 1977.

Saat itu dia pertama kali sekaligus satu satunya anggota DPR RI Golkar dari wilayah Blitar. "Mbah Tohir itu seorang negosiator ulung. Masuknya beliau di Partai Golkar tidak lepas dari strategi kalangan pesantren untuk tujuan Orba tidak terus menerus memusuhi NU," kata Gus Udin.

Aktif sebagai anggota Dewan Pembina Golkar Pusat, dan bertempat tinggal di Jakarta, karir Tohir Wijaya terus meroket. Dalam waktu yang sama Tohir Wijaya juga menjabat Ketua Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI), Ketua Umum Majelis Dakwah Islam (MDI) mulai tahun 1978 selama dua periode berturut turut.

Kemudian juga menjadi Ketua Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang berdiri tahun 1983, dengan Presiden Suharto dan Ibu Tien sebagai salah satu anggota pengurusnya. Karir politik Kiai Tohir Wijaya membuat pesantren Al Kamal ikut terimbas.

Pada era itu (Orde baru), seingat Gus Udin banyak pejabat penting selevel menteri, bahkan Wakil Presiden, datang ke Blitar untuk mengunjungi Ponpes Al Kamal. Nama-nama yang masih dia ingat, mulai Adam Malik, Sudharmono, Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Harmoko, dan Cosmas Batubara.

Gus Udin juga ingat, disaat listrik di wilayah barat Kabupaten Blitar belum ada, pada tahun 1982 Desa Kunir lebih dulu terpasang listrik. Begitu juga dengan jaringan telpon. Saat itu Ponpes Al Kamal satu satunya di Blitar.

"Pengaruhnya, pesantren semakin bertambah besar. Meskipun tidak sedikit yang memandang Al Kamal terkooptasi Golkar," jelas Gus Udin.

Tidak hanya jumlah santri yang melambung. Yakni dari dulu hingga saat ini berada di kisaran angka 3.000 lebih dan berasal dari mana-mana, termasuk luar Jawa.

Kiprah Kiai Tohir Wijaya di dunia politik juga mempengaruhi spirit pendidikan Al Kamal. Apalagi di Jakarta, yakni di kawasan Kebon Jeruk, Kiai Tohir Wijaya yang berkongsi dengan Sudharmono dan sejumlah elit Orba, juga mendirikan Ponpes Terpadu Al Kamal.

Al Kamal Jakarta secara struktur organisasi lebih besar dari pendahulunya di Blitar. Bahkan sampai memiliki kampus dan rumah sakit.

Pengaruh "kiprah politik" Kiai Tohir Wijaya mendorong santri di Al Kamal tidak hanya bersemangat mempelajari ilmu agama, khususnya pengetahuan ukhrawi, serta ilmu umum yang bersifat duniawi.

Santri juga dikenalkan berbagai materi teori kepemimpinan. Mendalami diskusi, pidato, serta penguasaan ilmu retorika. Kepemimpinan bukan sekedar pengetahuan ekstra. Melainkan memang disiapkan untuk santri Al Kamal ketika nanti terjun di masyarakat.

Tak heran, Pesantren Al Kamal menjunjung tinggi platform "Siap Memimpin dan bersedia dipimpin". Nilai kepemimpinan menjadi bekal santri dalam bermuamalah (bermasyarakat). "Karena jiwa leader ship atau kepemimpinan harus dimiliki seorang santri," jelas Gus Udin

Penguatan jiwa kepemimpinan itu membuat di setiap generasi selalu ada alumni santri (Al Kamal) yang menjadi pemimpin di lingkungannya. Baik pemimpin mulai tingkat RT, desa hingga legislatif.

Sebut saja yang paling populer Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Terlepas dari persoalan yang menderanya, Anas merupakan alumni santri Al Kamal.

Saat masih duduk di bangku MTs Al Kamal Kunir, ia tiga tahun hidup di lingkungan pesantren Al Kamal. "Mas Anas (Anas Urbaingrum) memang alumni Al Kamal," kata Gus Udin.

Sepeninggal generasi awal, seperti Mbah Mansyur, Mbah Imam Muhayat, Mbah Tohir serta beberapa orang tua, satu generasi dibawah ketiganya, pesantren Al Kamal, kata Gus Udin diakui banyak mengalami perubahan. Kendati demikian, pendidikan kepemimpinan dalam rangka mencetak pemimpin santri di masyarakat, tetap berjalan.

"Dan karena pesantren ini merupakan amanah, sudah menjadi kewajiban para dzuriyat untuk senantiasa menjaga dan mempertahankan apa yang sudah dimulai pada pendahulu," ungkap Gus Udin yang menambahkan sejak terjadi pandemi COVID-19, seluruh santri untuk sementara telah dipulangkan.
(nth)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.9065 seconds (0.1#10.140)