Malam Senyap Tanpa Kunang-kunang di Blitar Sepanjang 1965
Rabu, 30 September 2020 - 17:02 WIB
Perintah yang membonceng kabar penculikan Jenderal itu muncul dalam sebuah rembug (rapat) khusus pimpinan Ansor. Rapat yang merumuskan perlawanan terhadap aksi sepihak orang-orang PKI. Perlawanan itu bermunculan dalam setiap mimpi yang dibungkus di antara harapan.
Chudlori ada di sana bersama para teman seperjuangan. Menyimpan asa untuk menjadi lebih baik dari sebuah zaman yang begitu gelap. Karena dia memang termasuk salah satu pimpinan. Ia masih ingat perintah itu diutarakan secara lisan, panggung pidatonya menjadi pelecut dan semangat nasionalisme. (Baca juga: Mahfud MD Ngaku Selalu Nonton Film G30S PKI, Ini Alasannya)
Tanpa banyak berdebat, instruksi langsung disepakati dan disebar cepat ke anggota Ansor Banser anak cabang dan ranting. Bergerak cepat seperti angin dalam dekapan malam, mengumpulkan banyak dukungan. "Isinya (perintah) setiap kader Ansor dan Banser untuk menyiapkan senjata tajam dalam menghadapi PKI," katanya.
Gerakan senyap melawan PKI ini melaju setelah kabar huru-hara penculikan tujuh Jenderal terkait G 30S PKI diterima terlambat di daerah-daerah. Akses komunikasi yang terbatas menjadi salah satu alasannya. "Kita memang terlambat menerima kabar adanya Gerakan 30 September 1965. Memang saat itu tidak banyak saluran informasi seperti sekarang, " ungkapnya.
Di usianya yang sudah senja, Chudlori tak terlihat ringkih. Demikian juga dengan ingatannya. Pria jangkung dengan perawakan besar itu tetap bersemangat. Nada bicaranya lantang. Setiap kalimat yang terucap penuh dengan tekanan. Berbagai candaan kerap dilontarkan, memecah sedikit ketegangan ketika diajak berbicara tentang sejarah pajang perjuangan di negeri ini.
Ayah empat anak dan kakek enam cucu itu adalah salah satu penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU. Buih pikirannya tetap mempesona dengan rangkaian sisa semangat dalam menaklukan kehidupan.
Sebuah tongkat penyangga menopang kaki kirinya kini. Namun tak membuatnya surut dalam keterpurukan. Tongkat alumunium dengan bagian atas sebagai penumpu ketiak itu yang menemani Chudlori kemana pun ia pergi.
Langkahnya tampak tertatih. Begitu juga saat keluar dari kamar menuju ruang tamu. Suatu ruang yang bersih dan tertata. Figura bergambar bumi bertuliskan tinta emas Nahdlatul Ulama (NU) menghias dinding ruangan. Di sebelahnya tampak jam tembok dan sejumlah foto keluarga.
Chudlori juga mengenakan alat bantu pendengaran. Piranti digital berwarna putih itu terpasang di daun telinga kanannya. Keterbatasan secara fisik tak pernah mengurangi keyakinnya dalam berjuang.
Chudlori ada di sana bersama para teman seperjuangan. Menyimpan asa untuk menjadi lebih baik dari sebuah zaman yang begitu gelap. Karena dia memang termasuk salah satu pimpinan. Ia masih ingat perintah itu diutarakan secara lisan, panggung pidatonya menjadi pelecut dan semangat nasionalisme. (Baca juga: Mahfud MD Ngaku Selalu Nonton Film G30S PKI, Ini Alasannya)
Tanpa banyak berdebat, instruksi langsung disepakati dan disebar cepat ke anggota Ansor Banser anak cabang dan ranting. Bergerak cepat seperti angin dalam dekapan malam, mengumpulkan banyak dukungan. "Isinya (perintah) setiap kader Ansor dan Banser untuk menyiapkan senjata tajam dalam menghadapi PKI," katanya.
Gerakan senyap melawan PKI ini melaju setelah kabar huru-hara penculikan tujuh Jenderal terkait G 30S PKI diterima terlambat di daerah-daerah. Akses komunikasi yang terbatas menjadi salah satu alasannya. "Kita memang terlambat menerima kabar adanya Gerakan 30 September 1965. Memang saat itu tidak banyak saluran informasi seperti sekarang, " ungkapnya.
Di usianya yang sudah senja, Chudlori tak terlihat ringkih. Demikian juga dengan ingatannya. Pria jangkung dengan perawakan besar itu tetap bersemangat. Nada bicaranya lantang. Setiap kalimat yang terucap penuh dengan tekanan. Berbagai candaan kerap dilontarkan, memecah sedikit ketegangan ketika diajak berbicara tentang sejarah pajang perjuangan di negeri ini.
Ayah empat anak dan kakek enam cucu itu adalah salah satu penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU. Buih pikirannya tetap mempesona dengan rangkaian sisa semangat dalam menaklukan kehidupan.
Sebuah tongkat penyangga menopang kaki kirinya kini. Namun tak membuatnya surut dalam keterpurukan. Tongkat alumunium dengan bagian atas sebagai penumpu ketiak itu yang menemani Chudlori kemana pun ia pergi.
Langkahnya tampak tertatih. Begitu juga saat keluar dari kamar menuju ruang tamu. Suatu ruang yang bersih dan tertata. Figura bergambar bumi bertuliskan tinta emas Nahdlatul Ulama (NU) menghias dinding ruangan. Di sebelahnya tampak jam tembok dan sejumlah foto keluarga.
Chudlori juga mengenakan alat bantu pendengaran. Piranti digital berwarna putih itu terpasang di daun telinga kanannya. Keterbatasan secara fisik tak pernah mengurangi keyakinnya dalam berjuang.
tulis komentar anda